https://mgmpsejarahsmadki.wordpress.com/
Rabu, 30 Desember 2015
Soetardjo Kartohadikusumo
Soetardjo
Kartohadikusumo
Nama Lengkap : Soetardjo Kartohadikusumo
Profesi : -
Agama : Islam
Tempat Lahir : Kunduran, Blora, Jawa Tengah
Tanggal Lahir : Rabu, 22 Oktober 1890
Zodiac : Balance
Warga Negara : Indonesia
BIOGRAFI
Soetardjo Kartohadikoesoemo
adalah putra seorang Assistant-Wedono di onder-distrik Kunduran, Ngawi, yaitu
Kiai Ngabehi Kartoredjo. Sedangkan Ibunda Soetardjo, Mas Ajoe Kartoredjo,
adalah keturunan keluarga pemerintahan dari Banten.Keluarga Soetardjo adalah keluarga pamong praja. Semua saudara laki-lakinya menjadi pegawai negeri, sedangkan yang perempuan menjadi istri pegawai negeri.
Walaupun berasal dari keluarga pegawai pemerintahan yang terpandang, masa kecil Soetardjo banyak dilalui bersama masyarakat desa. Hal itu mengilhaminya di kemudian hari untuk menulis buku tentang desa.
Di akhir masa sekolahnya, Soetardjo mengikuti dan lulus ujian menjadi pegawai rendah (kleinambtenaarsexamen) pada 1906. Tetapi Soetardjo tidak memilih menjadi pegawai rendah, melainkan melanjutkan pendidikan di OSVIA. Disinilah Soetardjo mulai bersentuhan dengan organisasi pergerakan.
Pada 1919, Soetardjo yang saat itu berusia 19 tahun telah terpilih sebagai Ketua Cabang Boedi Oetomo hingga 1911 saat meninggalkan sekolah dan “magang” kerja pada kantor Assisten Resident di Blora. Saat itu yang menjadi Ketua Boedi Oetomo adalah R.T.A. Tirtokoesoemo, Bupati Karanganyar.
Tidak sampai 1 tahun magang, pada 19 Oktober 1911 Soetardjo diangkat sebagai pembantu juru tulis (hulpschrijver) pada kantor Resident Rembang. Dua bulan kemudian, yaitu pada 23 Desember 1911, diangkat sebagai juru tulis jaksa, serta lima bulan kemudian diangkat sebagai Mantri Kabupaten. Setelah menduduki jabatan tersebut selama 19 bulan, Soetardjo diangkat sebagai Assistant-Wedono.
Jabatan-jabatan tersebut membuat Soetardjo banyak belajar melakukan pekerjaan-pekerjaan pemerintahan hingga membuat berita acara pemeriksaan serta berkas tuntutan jaksa dalam bahasa Indonesia dan Belanda.
Walaupun dibesarkan dalam keluarga birokrat jawa, namun Soetardjo memiliki pandangan yang menentang feodalisme, terutama yang merendahkan masyarakat pribumi dihadapan orang Belanda.
Saat menjabat sebagai Mantri, Soetardjo mengajukan protes terhadap tata cara konferensi yang menempatkan pamong praja dengan pakaian hitam memakai keris dan duduk silo di atas tikar, sedangkan pegawai Belanda duduk di atas kursi. Pada konferensi bulan berikutnya, semua pamong praja dibolehkan memakai sikepan putih dan duduk di atas kursi.
Pada 1913, Soetardjo mendapatkan kenaikan pangkat sebagai Assisten Wedono onderdistrik Bogorejo di daerah Blora. Saat menjabat sebagai Assistent Wedono Bogorejo, Soetardjo menggagas dan memelopori berdirinya koperasi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa yang terpuruk karena praktik tengkulak.
Karena kerja kerasnya karirnya pun semakin meningkat dan saat terbentuknya PPBB, is ditunjuk sebagai wakil ketua dan dicalonkan kemudian terpilih menjadi anggota Volksraad. Selama menjadi anggota Volksraad, Soetardjo berhubungan erat dengan para mahasiswa Bestuuracademi.
Soetardjo melontarkan gagasan-gagasannya tentang perlunya mengubah hubungan dan tata kerja pamong praja yang feodal menjadi lebih modern. Selain itu juga didirikan Soetardjo Bank melalui kongres PPBB.
Soetardjo juga memperjuangkan dikeluarkannya pamong praja dari Peraturan Gaji Regional (Regionale Bezoldingingsregeling) yang merugikan dan dimasukkan ke dalam Peraturan Gaji Pegawai (Bezoldingings-regeling Burgerlijke Landsdienaren) sehingga lebih pantas.
Selama menjadi anggota Volksraad, selain petisi Soetardjo yang telah dikemukakan di awal bagian tulisan ini, Soetardjo juga mengajukan banyak mosi yang bersifat strategis demi kemajuan rakyat. Mosi tersebut diantaranya adalah:
1. Mosi kepada pemerintah Belanda untuk memberikan
sumbangan 25 juta Gulden untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat desa. Mosi
ini diterima, dan diantaranya digunakan untuk pembangunan waduk di Cipanas
sebesar 2 juta Gulden.
2. Mosi untuk memajukan ekonomi rakyat dengan
membentuk welvaartsfonds dan welvaartscommissie dengan tugas merancang
upaya memberantas kemiskinan.
3. Mosi berupa tuntutan mengubah sebutan inlander
dalam semua undang-undang menjadi Indonesia
4. Mosi membuat peraturan milisi bagi penduduk
Indonesia dan memberi kesempatan yang lebih besar kepada bangsa Indonesia untuk
menjadi anggota militer.
5. Mosi berupa permohonan untuk memperbanyak
sekolah Inlandsche Mulo, mengadakan sekolah kejuruan menengah (middelbare
vakschool), menyelenggarakan wajib belajar setempat (locale leerplicht)
mengingat terbatasnya biasa untuk melaksanakan wajib belajar nasional
(leerplicht).
Selain itu, Soetardjo juga
berperan aktif dalam pembuatan kebijakan-kebijakan, diantaranya adalah
pembuatan DesaOrdonnantie 1941, serta pembentukan Comite voor onderwijsbelangen,
pembentukan Hof van Islamitische Zaken, serta petisi yang dikenal dengan Petisi
Soetardjo.Setelah penjajahan Belanda berakhir dan digantikan oleh pemerintahan Jepang dengan kemampuan dan pengalaman pemerintahan yang dimiliki, Soetardjo diangkat sebagai pemimpin Departemen Dalam Negeri (Sanyoo Naimubu).
Pada 17 Agustus 1945, Soetardjo menghadiri upacara pembacaan proklamasi. Proklamasi tersebut kemudian diberitahukan kepada pemerintah militer Jepang. Untuk melakukan hal tersebut Soetardjo ditunjuk sebagai utusan dengan didampingi oleh Mr. Kasman Singodimedjo.
Pada rapat PPKI 18 Agustus 1945, selain disahkan UUD 1945, juga dibentuk provinsi dan kementerian kabinet. Soetardjo dipilih sebagai Gubernur Jawa Barat yang pertama. Menurut UU No. 1 Tahun 1945, daerah Jawa Barat saat itu menjadi daerah otonom provinsi.
Sekalipun ia adalah Gubernur Jawa Barat, namun ia tidak berkantor di Bandung, melainkan di Jakarta. Sutardjo merupakan tokoh nasional yaitu anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Ia penggagas Petisi Sutarjo. Petisi ini diajukan pada 15 Juli 1936, kepada Ratu Wilhelmina serta Staten Generaal (parlemen) Belanda. Petisi ini diajukan karena ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan politik Gubernur Jenderal De Jonge. Selain itu ia pernah menjabat juga sebagai Ketua DPA.
Riset dan analisa oleh Somya Samita
PENDIDIKAN
- Sekolah Jawa di Ngawi (1899)
- Sekolah Belanda di Blora (1900)
- Sekolah Menengah Pamong Praja (Opleiding School Voor Inlandse Ambtenaaren atau OSVIA) di Magelang
KARIR
- Ketua Cabang Boedi Oetomo
- Mantri Kabupaten
- Assistant-Wedono
- Pembantu Jaksa Kepala (Adjunct Hoofdjaksa) di Rembang
- Wakil Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Oud Osvianen Bond (OOB)
- Wakil Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumiputra (PPBB)
- Anggota Volksraad mewakili Jawa Timur
- Gubernur Jawa Barat pertama
- Wakil Ketua Dewan Kurator Universitas Gadjah Mada (1948-1967)
- Dosen luar biasa Universitas Padjadjaran (1956-1959)
- Dosen luar biasa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung (1964-1967)
- Ketua Palang Merah Indonesia kedua (1946-1948)
- Ketua Dewan Presidium Persatuan Pensiun Republik Indonesia (1961-1965)
- Wakil Ketua Pimpinan Pusat Partai Persatuan Indonesia Raya (1950-1956).
Mas Sutardjo
Kertohadikusumo (lahir di
Blora, Jawa Tengah, 22 Oktober 1892 – meninggal di Jakarta, 20 Desember 1976 pada umur 84 tahun) adalah gubernur
pertama Jawa Barat. Menurut UU No. 1 Tahun 1945, daerah Jawa
Barat saat itu menjadi daerah otonom provinsi. Sekalipun ia adalah Gubernur Jawa Barat, namun ia tidak
berkantor di Bandung, melainkan di Jakarta. Sutardjo merupakan tokoh nasional yaitu anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Ia penggagas Petisi Sutarjo. Petisi ini diajukan pada 15 Juli 1936, kepada Ratu Wilhelmina serta Staten Generaal (parlemen) Belanda. Petisi ini diajukan karena ketidakpuasan rakyat
terhadap kebijakan politik Gubernur Jenderal De Jonge. Selain itu ia pernah menjabat juga sebagai Ketua DPA.
Petisi
Soetardjo adalah sebutan
untuk petisi yang diajukan oleh Soetardjo Kartohadikoesoemo, pada 15 Juli 1936, kepada Ratu Wilhelmina serta Staten Generaal
(parlemen) di negeri Belanda.
Petisi ini
diajukan karena makin meningkatnya perasaan tidak puas di kalangan rakyat
terhadap pemerintahan akibat kebijaksanaan politik yang dijalankan Gubernur
Jenderal de Jonge. Petisi ini
ditandatangani juga oleh I.J. Kasimo, G.S.S.J. Ratulangi, Datuk Tumenggung, dan Ko Kwat Tiong.
Isi
Isi petisi
adalah permohonan supaya diselenggarakan suatu musyawarah antara wakil-wakil
Indonesia dan negeri Belanda dengan kedudukan dan hak yang sama. Tujuannya
adalah untuk menyusun suatu rencana pemberian kepada Indonesia suatu pemerintahan yang berdiri
sendiri (otonom) dalam batas Undang-undang Dasar Kerajaan
Belanda.
Pelaksanaannya akan berangsur-angsur dijalankan dalam waktu sepuluh tahun atau
dalam waktu yang akan ditetapkan oleh sidang permusyawarahan.
Reaksi
Usul yang
dianggap menyimpang dari cita-cita kalangan pergerakan nasional ini mendapat
reaksi, baik dari pihak Indonesia maupun pihak Belanda.
Pers Belanda,
seperti Preanger Bode, Java Bode, Bataviaasch Nieuwsblad,
menuduh usul petisi sebagai suatu: "permainan yang berbahaya", revolusioner, belum
waktunya dan tidak sesuai dengan keadaan.
Golongan
reaksioner Belanda, seperti Vaderlandsche Club berpendapat Indonesia
belum matang untuk berdiri sendiri. Tetapi ada juga orang-orang Belanda dari
kalangan pemerintah yang menyetujui petisi, dengan mengirim surat kepada
Soetardjo. Pihak pemerintah Hindia Belanda sendiri
menyatakan bahwa pemerintah memang mempunyai maksud untuk selalu meningkatkan
peranan rakyat dalam mengendalikan pemerintahan sampai rakyat Indonesia sanggup
untuk mengurus segala sesuatunya. Dari pihak Indonesia baik di dalam maupun di
luar Volksraad reaksi
terhadap usul petisi juga bermacam-macam.
Beberapa
anggota Volksraad berpendapat bahwa usul petisi kurang jelas, kurang lengkap
dan tidak mempunyai kekuatan. Pers Indonesia seperti surat kabar Pemandangan,
Tjahaja Timoer, Pelita Andalas, Pewarta Deli, Majalah Soeara
Katholiek menyokong usul petisi. Oleh karena itu usul petisi dengari cepat
tersebar luas di kalangan rakyat dan sebelum sidang Volksraad membicarakan
secara khusus, kebanyakan pers Indonesia menyokong usul ini.
Menurut harian Pemandangan
saat usul ini dimajukan sangat terlambat, yaitu saat akan digantikannya
Gubernur Jenderal De Jonge oleh Gubernur Jenderal Tjarda.
Sidang
Kemudian
diputuskan untuk membicarakan usul petisi tersebut dalam sidang khusus tanggal 17 September 1936.
Pada tanggal 29 September 1936 selesai
sidang perdebatan, diadakanlah pemungutan suara dimana petisi disetujui oleh
Volksraad dengan perbandingan suara 26 suara setuju lawan 20 suara menolak.
Dan pada
tanggal 1 Oktober 1936 petisi
yang telah menjadi petisi Volksraad itu dikirim kepada Ratu, Staten-Generaal,
dan Menteri Koloni di negeri Belanda.
Usulan baru
Sementara
menunggu keputusan diterima atau tidak usul petisi tersebut maka untuk
memperkuat dan memperjelas maksud petisi, pada persidangan Volksraad Juli 1937 Soetardjo kembali mengajukan usul
rencana Indonesia menuju "Indonesia berdiri sendiri".
Rencana
tersebut dibagi dalam dua tahap, masing-masing untuk lima tahun. Atas usul
tersebut wakil pemerintah Hindia Belanda dalam sidang Volksraad menjawab bahwa
pemerintah juga mempunyai perhatian ke arah perbaikan pemerintahan Indonesia,
tetapi karena usul itu amat luas sekali maka penyelesaiannya berada di tangan
pemerintah di negeri Belanda dan Staten General.
Petisi ini
kembali banyak menimbulkan tanggapan dari organisasi-organisasi gerakan rakyat
seperti: Perhimpunan Indonesia (PI), Roekoen Peladjar Indonesia (Roepi), Gerakan Rakjat Indonesia (GERINDO), Perkumpulan
Katholik di Indonesia (PPKI), Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), PNI, dan sebagainya.
Petisi ditolak
Pada
persidangan Volksraad bulan Juli 1938, Gubernur Jenderal Tjarda secara samar-samar telah membayangkan
bahwa petisi akan ditolak. Laporan Gubernur Jenderal kepada menteri jajahan
(berdasarkan laporan-laporan antara lain dari Raad van Nederland-Indie, Adviseur
voor Inlahdse Zaken, Directeur van Onderwijs en Eredienst), telah
menyarankan supaya petisi ditolak dengan alasan isi kurang jelas.
Juga mengingat
ketidakpastian akan kejadian-kejadian di masa yang akan datang ini, maka tidak
dapatlah disetujui keinginan untuk mengadakan konfrensi untuk menyusun rencana
bagi masa yang akan datang. Akhirnya ia menyarankan bahwa biar bagaimanapun
petisi harus ditolak sehingga perubahan secara prinsip bagi kadudukan Indonesia
dan mengadakan konfrensi itu tidak perlu diadakan.
Akhirnya dengan
keputusan Kerajaan Belanda No. 40 tanggal 14 November 1938, petisi yang diajukan atas nama
Volksraad ditolak oleh Ratu Wilhelmina. Alasan penolakannya antara lain
ialah: "Bahwa bangsa Indonesia belum matang untuk memikul tanggung jawab
memerintah diri sendiri".
Rabu, 09 Desember 2015
Rabu, 25 November 2015
Senin, 17 Agustus 2015
PEMBERONTAKAN ANDI AZIS
Hanya untuk mempermudah pembelajaran ...
Setelah Andi Azis keluar dari sekolah yang didudukinya, ia meneruskan perjalanannya ke Lyceum sampai tahun 1944. Di dalam hatinya, Andi sebenarnya ingin memasuki sekolah kemiliteran di Belanda untuk menjadi seorang prajurit. Akan tetapi niatnya untuk masuk ke dalam sekolah militer tidak terlaksana karena pecahnya Perang Dunia ke II. Karena niat bulatnya untuk masuk kemiliteran, akhirnya Andi Azis masuk ke Koninklijk Leger dan ia ditugaskan untuk masuk ke dalam tim pasukan bawah tanah untuk melawan Tentara Penduduk Jerman (Nazi).
Di daratan Inggris, Andi Azis mengikuti latihan pasukan komando yang bertempat di sebuah kamp sekitar 70 kilometer di luar London. Setelah sekian lama berlatih di kamp tersebut, akhirnya Andi Azis lulus dari latihan komando tersebut dengan pujian sebagai seorang Prajurit Komando. Seterusnya pada tahun 1945 (tahun di mana Negara Indonesia Merdeka), Andi Azis mengikuti pendidikan Sekolah calon Bintara di Negara Inggris dan akhirnya ia menjadi Sersan Kadet. Pada Bulan Agustus 1945 Andi Azis ditempatkan di dalam sebuah komando Perang Sekutu di India, berpindah-pindah ke Colombo, dan tempat singgah terakhirnya di Calcutta. Sama seperti Halim Perdana Kusuma, Andi Azis juga seorang Warga Negara Indonesia yang turut serta dalam Perang Dunia ke II di front Barat Eropa.
Setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, akhirnya Andi Azis diperbolehkan untuk memilih tugas dan mempertimbangkan apakah ia akan masuk ke dalam satuan sekutu yang akan bertugas di Jepang atau memilih untuk masuk ke dalam kelompok yang akan ditugaskan di gugus selatan Negara Indonesia. Setelah di pikir-pikir bahwa sudah 11 tahun ia tidak jumpa dengan orang tuanya di Sulawesi Selatan, akhirnya dengan tegas ia memutuskan untuk ikut satuan yang akan bertugas di gugus selatan Indonesia, dengan harapan ia bisa bersatu kembali bersama orang tuanya di Makassar.
Pada tanggal 19 Januari 1946 kelompoknya mendarat di daratan pulau Jawa (Jakarta), waktu itu Andi Azis menjabat sebagai komandan regu, dan kemudian di tugaskan di Cilinding. Pada tahun 1947-an ia mendapatkan kesempatan libur/cuti panjang ke Makassar dan mengakhiri dinas militer. Setelah Andi Azis tahu bahwa dia mendapatkan cuti panjang, maka ia segera kembali lagi ke Jakarta dan mengikuti pendidikan kepolisian di Menteng Pulo. Pada pertengahan tahun 1947, ia dipanggil lagi untuk masuk ke dalam satuan KNIL dan diberi jabatan/pangkat Letnan Dua.
Selanjutnya Andi Azis diangkat sebagai Ajudan Senior Sukowati (Presiden NIT), dan setelah hampir satu setengah tahun ia menjabat sebagai Ajudan, kemudian ia ditugaskan menjadi seorang instruktur pasukan SSOP di Bandung-Cimahi pada tahun 1948. Setelah itu, ia dikirim lagi ke Makasar dan diangkat sebagai Komandan kompi dengan pangkat Letnan Satu dan 125 anak buahnya (KNIL) yang sudah berpengalaman dan kemudian masuk ke TNI (Tentara Nasional Indonesia). Di dalam barisan TNI (APRIS) kemudian Andi Azis dinaikkan pangkatnya menjadi seorang kapten dan tetap memegang kendali kompi yang dipimpinnya. Kompi tersebut tidak banyak mengalami perubahan anggotanya.
Anggota kompi yang dipimpinya itu bukanlah anggota sembarangan, mereka memiliki kemampuan tempur di atas standar pasukan regular TNI dan Belanda. Pada saat itu di daerah Bandung-Cimahi terdapat banyak prajurit Belanda yang sedang dilatih untuk persiapan agresi militer Belanda II. Di tempat tersebut ada dua macam pasukan khusus Belanda yang sedang dilatih. Di antara pasukan khusus itu adalah pasukan komando (Baret Hijau) dan pasukan penerjun (Baret Merah). Sesuai dengan pengalamannya di front Eropa, kemungkinana Andi Azis melatih para pasukan Komando tersebut dengan kemampuan yang di milikinya.
1. Lata Belakang Pemberontakan Andi Azis
Pemberontakan di bawah naungan Andi Azis ini terjadi di Makassar yang diawali dengan adanya konflik di Sulawesi Selatan pada bulan April 1950. Kekacauan yang berlangsung di Makassar ini terjadi karena adanya demonstrasi dari kelompok masyarakat yang anti federal, mereka mendesak NIT supaya segera menggabungkan diri dengan RI. Sementara itu di sisi lain terjadi sebuah konflik dari kelompok yang mendukung terbentuknya Negara Federal. Keadaan tersebut menyebabkan terjadinya kegaduhan dan ketegangan di masyarakat.
Untuk menjaga keamanan di lingkungan masyarakat, maka pada tanggal 5 April 1950 pemerintah mengutus pasukan TNI sebanyak satu Batalion dari Jawa untuk mengamankan daerah tersebut. Namun kedatangan TNI ke daerah tersebut dinilai mengancam kedudukan kelompok masyaraat pro-federal. Selanjutnya para kelompok masyarakat pro-federal ini bergabung dan membentuk sebuah pasukan “Pasukan Bebas” di bawah komando kapten Andi Azis. Ia menganggap bahwa masalah keamanan di Sulawesi Selatan menjadi tanggung jawabnya.
Untuk menanggulangi pemberontakan yang di lakukan oleh Andi Azis, pada tanggal 8 April 1950 pemerintah memberikan perintah kepada Andi Azis bahwa setiap 4 x 24 Jam ia harus melaporkan diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang sudah ia lakukan. Untuk pasukan yang terlibat dalam pemberontakan tersebut diperintahkan untuk menyerahkan diri dan melepaskan semua tawanan. Pada waktu yang sama, dikirim pasukan yang dipimpin oleh A.E. Kawilarang untuk melakukan operasi militer di Sulawesi Selatan.
Tanggal 15 April 1950, Andi Azis pergi ke Jakarta setelah didesak oleh Sukawati, Presiden dari Negara NIT. Namun karena keterlambatannya untuk melapor, Andi Azis akhirnya ditangkap dan diadili untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, sedangkan untuk pasukan TNI yang dipimpin oleh Mayor H. V Worang terus melanjutkan pendaratan di Sulawesi Selatan. Pada tanggal 21 April 1950, pasukan ini berhasil menguasai Makassar tanpa adanya perlawanan dari pihak pemberontak.
Pada Tanggal 26 April 1950, anggota ekspedisi yang dipimpin oleh A.E Kawilarang mendarat di daratan Sulawesi Selatan. Keamanan yang tercipta di Sulawesi Selatan-pun tidak berlangsung lama karena keberadaan anggota KL-KNIL yang sedang menunggu peralihan pasukan APRIS keluar dari Makassar. Para anggota KL-KNIL memprovokasi dan memancing emosi yang menimbulkan terjadinya bentrok antara pasukan KL-KNIL dengan pasukan APRIS.
Pertempuran antara pasukan APRIS dengan KL-KNIL berlangsung pada tanggal 5 Agustus 1950. Kota Makassar pada saat itu sedang berada dalam kondisi yang sangat menegangkan karena terjadinya peperangan antara pasukan KL-KNIL dengan APRIS. Pada pertempuran tersebut pasukan APRIS berhasil menaklukan lawan, dan pasukan APRIS-pun melakukan strategi pengepungan terhadap tentara-tentara KNIL tersebut.
Tanggal 8 Agustus 1950, pihak KL-KNIL meminta untuk berunding ketika menyadari bahwa kedudukannya sudah tidak menguntungkan lagi untuk perperang dan melawan serangan dari lawan. Perundingan tersebut akhirnya dilakukan oleh Kolonel A.E Kawilarang dari pihak RI dan Mayor Jendral Scheffelaar dari pihak KL-KNIL. Hasil perundingan kedua belah pihakpun setuju untuk menghentikan baku tembak yang menyebabkan terjadinya kegaduhan di daerah Makassar tersebut, dan dalam waktu dua hari pasukan KNIL harus meninggalkan Makassar.
4. Meninggalnya Kapten Andi Azis
Pada tanggal 30 Januari 1984 seluruh keluarga dari Andi Azis diselimuti oleh duka yang mendalam karena kepergian sang Kapten, Andi Abdoel Azis. Di usianya yang sudah menginjak 61 Tahun, ia meninggal di Rumah Sakit Husada Jakarta karena serangan jantung yang dideritanya. Andi Azis meninggalkan seorang Istri dan jenasahnya diterbangkan dari Jakarta Ke Sulawesi Selatan, lalu dimakamkan di pemakaman keluarga Andi Djuanna Daeng Maliungan yang bertempat di desa Tuwung, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Dalam suasana duka, mantan Presiden RI, BJ. Habibie beserta istrinya Hasri Ainun, mantan Wakil Presiden RI, Try Sutrisno dan para anggota perwira TNI turut berduka cita dan hadir dalam acara pemakaman Andi Azis.
5. Hikmah di Balik Pemberontakan Andi Azis
Kapten Andi Abdoel Azis, ia adalah seorang pemberontak yang tidak pernah menyakiti dan membunuh orang untuk kepentingan pribadinya. Ia hanyalah korban propaganda dari Belanda, karena kebutaannya terhadap dunia politik. Andi Azis adalah seorang militer sejati yang mencoba untuk mempertahankan kesatuan Negara Republik Indonesia pada masa itu, dan dalam kesehariannya, seorang Andi Azis cukup dipandang dan dihargai oleh masyarakat suku Bugis Makassar yang bertempat tinggal di Tanjung Priok, Jakarta. Disanalah Andi Azis diakui sebagai salah satu sesepuh yang selalu dimintai nasehat oleh para penduduk tentang bagaimana cara menjadikan suku Bugis Makassar supaya tetap dalam keadaan rukun dan sejahtera.
Andi Azis dikenal juga sebagai orang yang murah hati dan suka menolong. Ia selalu berpesan kepada anak-anak angkatnya bahwa “Siapapun boleh dibawa masuk ke dalam rumahnya kecuali 3 jenis manusia yaitu pemabuk, penjudi, dan pemain perempuan.
Seorang Andi Azis patut kita jadikan sebagai bahan pembelajaran bahwa kita selama hidup di dunia ini jangan terlalu percaya sama apa yang orang lain katakan, percayalah kepada hati nurani, jangan terlalu percaya sama orang lain karena orang itu belum tentu bisa mengajak kita ke jalan yang benar dan mungkin malah mengajak kita untuk berbuat salah. Maka dari itu, alangkah lebih baiknya kita harus berwaspada dan berhati-hati dalam mempercayai orang lain.
(Disarikan dari berbagai sumber)
PEMBERONTAKAN
ANDI AZIS (1)
Andi Aziz
merupakan seorang mantan perwira KNIL. Pada tanggal 30 Maret 1950, ia bersama
dengan pasukan KNIL di bawah komandonya menggabungkan diri ke dalam APRIS di
hadapan Letnan Kolonel Ahmad Junus Mokoginta, Panglima Tentara dan Teritorium
Indonesia Timur.
Pemberontakan
dibawah pimpinan Andi Aziz ini terjadi di Makassar diawali dengan adanya
kekacauan di Sulawesi Selatan pada bulan April 1950. Kekacauan tersebut terjadi
karena adanya demonstrasi dari kelompok masyarakat yang anti-federal, mereka
mendesak NIT segera menggabungkan diri dengan RI. Sementara itu terjadi
demonstrasi dari golongan yang mendukung terbentuknya Negara federal. Keadaan
ini menyebabkan muncul kekacauan dan ketegangan di masyarakat.
Untuk menjaga
keamanan maka pada tanggal 5 April 1950, pemerintah mengirimkan 1 batalion TNI
dari Jawa. Kedatangan pasukan tersebut dipandang mengancam kedudukan kelompok
masyarakat pro-federal. Selanjutnya kelompok pro-federal ini bergabung dan
membentuk “Pasukan Bebas” di bawah pimpinan Kapten Andi Aziz. Ia menganggap
masalah keamanan di Sulawesi Selatan menjadi tanggung jawabnya.
Pada 5 April 1950,
pasukan Andi Aziz menyerang markas TNI di Makassar dan berhasil menguasainya
bahkan Letkol Mokoginta berhasil ditawan. Bahkan Ir.P.D. Diapari (Perdana
Mentri NIT) mengundurkan diri karena tidak setuju dengan tindakan Andi Aziz dan
diganti Ir. Putuhena yang pro-RI. Tanggal 21 April 1950, Wali Negara NIT, Sukawati
mengumumkan bahwa NIT bersedia bergabung dengan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Untuk mengatasi
pemberontakan tersebut pemerintah pada tanggal 8 April 1950 mengeluarkan
perintah bahwa dalam waktu 4 x 24 Jam Andi Aziz harus melaporkan diri ke
Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kepada pasukan yang terlibat
pemberontakan diperintahkan untuk menyerahkan diri dan semua tawanan
dilepaskan. Pada saat yang sama dikirim pasukan untuk melakukan operasi militer
di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh A.E. Kawilarang.
Pada tanggal 15 April 1950 Andi Aziz berangkat ke Jakarta setelah
didesak oleh Presiden NIT, Sukawati. Tetapi Andi Aziz terlambat melapor
sehingga ia ditangkap dan diadili sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Mayor H.
V Worang terus melakukan pendaratan di Sulawesi Selatan. Pada 21 April 1950
pasukan ini berhasil menduduki Makassar tanpa perlawanan dari pasukan
pemberontak.
Tanggal 26 April
1950, pasukan ekspedisi yang dipimpin A.E. Kawilarang mendarat di Sulawesi
Selatan. Keamanan yang tercipta di Sulawesi Selatan tidak berlangsung lama
karena keberadaan pasukan KL-KNIL yang sedang menunggu peralihan pasukan APRIS
keluar dari Makassar. Mereka melakukan provokasi dan memancing bentrokan dengan
pasukan APRIS.
Pertempuran antara
APRIS dengan KL-KNIL terjadi pada 5 Agustus 1950. Kota Makassar pada waktu itu
berada dalam suasana peperangan. APRIS berhasil memukul mundur pasukan lawan.
Pasukan APRIS melakukan pengepungan terhadap tangsi-tangsi KNIL.
8 Agustus 1950,
pihak KL-KNIL meminta untuk berunding ketika menyadari bahwa kedudukannya sudah
sangat kritis.Perundingan dilakukan oleh Kolonel A.E Kawilarang dari pihak RI
dan Mayor Jendral Scheffelaar dari KL-KNIL. Hasilnya kedua belah pihak setuju
untuk dihentikannya tembak menembak dan dalam waktu dua hari pasukan KL-KNIL
harus meninggalkan Makassar.
PEMBERONTAKAN
ANDI AZIS (2)
Andi Azis
adalah seorang mantan Letnan KNIL dan sudah masuk TNI dengan pangkat Kapten,
dia ikut berontak bahkan memimpinnya. Dia memiliki riwayat yang sama uniknya
dengan petualang KNIL lainnya seperti Westerling. Andi Aziz memiliki cerita
hidupnya sendiri. Cerita hidupnya sebelum berontak jauh berbeda dengan orang –
orang Sulawesi Selatan pada umumnya. Tidak heran bila Andi Azis menjalanani
pekerjaan yang jauh berbeda seperti orang-orang Sulawesi Selatan pada umumnya,
sebagai serdadu KNIL. Bisa dipastikan Andi Azis adalah salah satu dari sedikit
orang Bugis yang menjadi serdadu KNIL. Bukan tidak mungkin bila Andi Azis
adalah orang Bugis dengan pangkat tertinggi dalam KNIL. Pemberontakan Andi Azis
terjadi di Sulawesi Selatan (Makassar) pada tanggal 5 April 1950.
Latar belakang
timbulnya pemberontakan Andi Aziz adalah sebagai berikut :
1. Timbulnya
pertentangan pendapat mengenai peleburan Negara bagian Indonesia Timur (NIT) ke
dalam negara RI. Ada pihak yang tetap menginginkan NIT tetap dipertahankan dan
tetap merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia Serikat (RIS), sedangkan
di satu pihak lagi menginginkan NIT melebur ke negara Republik Indonesia yang
berkedudukan di Yogyakarta.
2. Ada
perasaan curiga di kalangan bekas anggota – anggota KNIL yang disalurkan ke
dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Setikat (APRIS)/TNI. Anggota – anggota
KNIL beranggapan bahwa pemerintah akan menganaktirikannya, sedangkan pada pihak
TNI sendiri ada semacam kecanggungan untuk bekerja sama dengan bekas lawan
mereka selama perang kemerdekaan.
Kedua hal
tersebut mendorong lahirnya pemberontakan bersenjata yang dipimpin oleh bekas
tentara KNIL, Andi Aziz, pada tanggal 5 April 1950. Padahal sebelumnya,
pemerintah telah mengangkat Andi Aziz menjadi Kapten dalam suatu acara
pelantikan penerimaan bekas anggota KNIL ke dalam tubuh APRIS pada tanggal 30
Maret 1950. Namun, karena Kapten Andi Aziz termakan hasutan Mr. Dr. Soumokil
yang menginginkan tetap dipertahankannya Negara Indonesia Timur (NIT), akhirnya
ia mengerahkan anak buahnya untuk menyerag Markas Panglima Territorium. Ia
bersama anak buahnya melucuti senjata TNI yang menjaga daerah tersebut. Di
samping itu, Kapten Andi Abdul Aziz berusaha menghalang – halangi pendaratan
pasukan TNI ke Makassar karena dianggapnya bahwa tanggung jawab Makassar harus
berada di tangan bekas tentara KNIL.
Adapun faktor
yang menyebabkan pemberontakan adalah :
- Menuntut agar pasukan bekas KNIL saja yang bertanggung jawab atas keamanan di Negara Indonesia Timur.
- Menentang masuknya pasukan APRIS dari TNI
- Mempertahankan tetap berdirinya Negara Indonesia Timur.
Dengan anggapan
sudah merasa kuat pada tanggal 5 April 1950, setelah menangkap dan menawan
Letnan kolonel Mokoginta, Panglima Territorium Sulawesi, Kapten Andi Aziz
mengeluarkan pernyataan yang ditujukan kepada pemerintah pusat di Jakarta.
Adapun isi pernyataan itu adalah sebagai berikut :
1. Negara
Indonesia Timur harus tetap dipertahankan agar tetap berdiri menjadi bagian
dari RIS.
2. Tanggung
jawab keselamatan daerah NIT agar diserahkan kepada pasukan KNIL yang telah
masuk menjadi anggota APRIS. TNI yang bukan berasal dari KNIL tidak perlu turut
campur.
3. Presiden
Soekarno dan Perdana Menteri Hatta supaya tidak mengizinkan NIT dibubarkan dan
bersatu dengan Republik Indonesia.
Karena tindakan
Andi Azis tersebut maka pemerintah pusat bertindak tegas. Pada tanggal 8 April
1950 dikeluarkan ultimatum bahwa dalam waktu 4 x 24 jam Andi Azis harus
melaporkan diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya,
pasukannya harus dikonsinyasi, senjata-senjata dikembalikan, dan semua tawanan
harus dilepaskan. Kedatangan pasukan pimpinan Worang kemudian disusul oleh
pasukan ekspedisi yang dipimpin oleh Kolonel A.E Kawilarang pada tanggal 26
April 1950 dengan kekuatan dua brigade dan satu batalion di antaranya adalah
Brigade Mataram yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Suharto. Kapten Andi Azis
dihadapkan ke Pengadilan Militer di Yogyakarta untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.
PEMBERONTAKAN
ANDI AZIS (3)
GANGGUAN demi
gangguan bak jamur di musim hujan buat berdirinya Republik Indonesia yang masih
sangat “muda”. Tidak hanya dirongrong DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia), pemberontakan Andi Azis Affair pun ikut mengusik keamanan dan
keutuhan RI pada 5 April 1950.
Hari ini
65 tahun yang lalu, meletus pemberontakan Kapten Andi Abdoel Azis beserta para
pasukan eks-KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) yang sedianya,
sudah sempat dileburkan ke APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat).
Ya,
sejatinya pada 30 Maret 1950, Kapten Andi Azis beserta anak buahnya sudah
menggabungkan diri ke dalam APRIS yang diterima Panglima Teritorium Indonesia
Timur, Letkol Achmad Junus Mokoginta.
Tapi
situasi di Kota Makassar, Sulawesi Selatan yang masih sarat hasutan Belanda,
membuat keadaan memanas. Masyarakat di Makassar terpecah, antara yang
pro-federal dan yang antifederal (Republik Indonesia Serikat). Kelompok yang
antifederal mendesak Negara Indonesia Timur (NIT) segera melebur dengan RI.
Kekacauan
pun timbul dan untuk mengamankan situasi, pemerintah mengirim satu batalyon TNI
dari Pulau Jawa pimpinan Mayor Hein Victor Worang. Namun kedatangan mereka
dianggap mengancam kelompok masyarakat pro-federal.
Mereka
pun membentuk pasukan liar yang dikomandoi Kapten Andi Azis. 5 April 1950,
mereka menyerang markas TNI di Makassar dan menawan para perwira, termasuk
Letkol A.J. Mokoginta.
Pemerintah
pusat merespons dengan melayangkan ultimatum pada 8 April 1950, di mana Andi
Azis diwajibkan melapor ke Jakarta, sekaligus membebaskan semua tawanan dalam
tenggat waktu 2x24 jam.
Sementara
itu, pemerintah kembali mengirim pasukan ekspedisi pimpinan Kolonel Alexander
Evert Kawilarang (yang kemudian ikut mendirikan gerakan
Permesta pada 1957). Pasukan ekspedisi ini berkekuatan dua
brigade, di mana salah satunya Brigade Mataram yang dibawahi Letkol Soeharto.
Andi
Azis sendiri akhirnya menyerahkan diri setelah didesak Presiden NIT, Tjokorda
Gde Raka Soekawati. Sayangnya penyerahan diri Andi Azis terlambat, akibat
sempat terpengaruh hasutan Christiaan Robbert Steven Soumokil – yang kemudian
jadi pendiri Republik
Maluku Selatan (RMS).
Akibat
keterlambatan Andi Azis melaporkan diri ke Jakarta itulah, akhirnya dia
ditangkap dan dihadapkan ke Pengadilan Militer di Yogyakarta. Dalam
pengakuannya di pengadilan, Andi Azis mengaku buta politik akibat hasutan adu
domba pihak Belanda.
Bagaimanapun
juga, akhirnya Andi Azis dihukum bui selama 14 tahun pada 18 April 1953 dan
mendapat keringanan hukuman jadi delapan tahun, sampai kemudian bebas
bersyarat.
PEMBERONTAKAN
ANDI AZIS (4)
Peristiwa Pemberontakan Andi Azis di Makassar, Latar Belakang,
Tujuan, Dampak - Tokoh utama pada Pemberontakan kali ini adalah Andi Abdoel
Azis. Andi Abdoel Azis atau dikenal dengan sebutan Andi Azis lahir pada tangal
19 September 1924 di Simpangbinal, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Pada
tahun 1930-an Andi Azis dibawa ke Belanda oleh seorang pensiunan Asisten
Residen bangsa Belanda, dan pada tahun 1935 Andi memasuki Leger School dan
lulus dari sekolah tersebut tahun 1938.
Setelah Andi Azis keluar dari sekolah yang didudukinya, ia meneruskan perjalanannya ke Lyceum sampai tahun 1944. Di dalam hatinya, Andi sebenarnya ingin memasuki sekolah kemiliteran di Belanda untuk menjadi seorang prajurit. Akan tetapi niatnya untuk masuk ke dalam sekolah militer tidak terlaksana karena pecahnya Perang Dunia ke II. Karena niat bulatnya untuk masuk kemiliteran, akhirnya Andi Azis masuk ke Koninklijk Leger dan ia ditugaskan untuk masuk ke dalam tim pasukan bawah tanah untuk melawan Tentara Penduduk Jerman (Nazi).
Dari pasukan bawah tanah kemudian ia dipindahkan ke garis
belakang pertahanan Jerman, untuk melumpuhkan pertahanan Jerman dari dalam.
Karena semakin sempitnya kedudukan Sekutu di Eropa, maka secara diam-diam Azis
bersama para kelompoknya menyeberang ke daratan Inggris di mana daerah tersebut
adalah sebuah daerah yang paling aman dari serangan tentara Jerman, meskipun
pada tahun 1944 daerah tersebut sering di bom oleh pasukan udara tentara
Jerman.
Di daratan Inggris, Andi Azis mengikuti latihan pasukan komando yang bertempat di sebuah kamp sekitar 70 kilometer di luar London. Setelah sekian lama berlatih di kamp tersebut, akhirnya Andi Azis lulus dari latihan komando tersebut dengan pujian sebagai seorang Prajurit Komando. Seterusnya pada tahun 1945 (tahun di mana Negara Indonesia Merdeka), Andi Azis mengikuti pendidikan Sekolah calon Bintara di Negara Inggris dan akhirnya ia menjadi Sersan Kadet. Pada Bulan Agustus 1945 Andi Azis ditempatkan di dalam sebuah komando Perang Sekutu di India, berpindah-pindah ke Colombo, dan tempat singgah terakhirnya di Calcutta. Sama seperti Halim Perdana Kusuma, Andi Azis juga seorang Warga Negara Indonesia yang turut serta dalam Perang Dunia ke II di front Barat Eropa.
Setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, akhirnya Andi Azis diperbolehkan untuk memilih tugas dan mempertimbangkan apakah ia akan masuk ke dalam satuan sekutu yang akan bertugas di Jepang atau memilih untuk masuk ke dalam kelompok yang akan ditugaskan di gugus selatan Negara Indonesia. Setelah di pikir-pikir bahwa sudah 11 tahun ia tidak jumpa dengan orang tuanya di Sulawesi Selatan, akhirnya dengan tegas ia memutuskan untuk ikut satuan yang akan bertugas di gugus selatan Indonesia, dengan harapan ia bisa bersatu kembali bersama orang tuanya di Makassar.
Pada tanggal 19 Januari 1946 kelompoknya mendarat di daratan pulau Jawa (Jakarta), waktu itu Andi Azis menjabat sebagai komandan regu, dan kemudian di tugaskan di Cilinding. Pada tahun 1947-an ia mendapatkan kesempatan libur/cuti panjang ke Makassar dan mengakhiri dinas militer. Setelah Andi Azis tahu bahwa dia mendapatkan cuti panjang, maka ia segera kembali lagi ke Jakarta dan mengikuti pendidikan kepolisian di Menteng Pulo. Pada pertengahan tahun 1947, ia dipanggil lagi untuk masuk ke dalam satuan KNIL dan diberi jabatan/pangkat Letnan Dua.
Selanjutnya Andi Azis diangkat sebagai Ajudan Senior Sukowati (Presiden NIT), dan setelah hampir satu setengah tahun ia menjabat sebagai Ajudan, kemudian ia ditugaskan menjadi seorang instruktur pasukan SSOP di Bandung-Cimahi pada tahun 1948. Setelah itu, ia dikirim lagi ke Makasar dan diangkat sebagai Komandan kompi dengan pangkat Letnan Satu dan 125 anak buahnya (KNIL) yang sudah berpengalaman dan kemudian masuk ke TNI (Tentara Nasional Indonesia). Di dalam barisan TNI (APRIS) kemudian Andi Azis dinaikkan pangkatnya menjadi seorang kapten dan tetap memegang kendali kompi yang dipimpinnya. Kompi tersebut tidak banyak mengalami perubahan anggotanya.
Anggota kompi yang dipimpinya itu bukanlah anggota sembarangan, mereka memiliki kemampuan tempur di atas standar pasukan regular TNI dan Belanda. Pada saat itu di daerah Bandung-Cimahi terdapat banyak prajurit Belanda yang sedang dilatih untuk persiapan agresi militer Belanda II. Di tempat tersebut ada dua macam pasukan khusus Belanda yang sedang dilatih. Di antara pasukan khusus itu adalah pasukan komando (Baret Hijau) dan pasukan penerjun (Baret Merah). Sesuai dengan pengalamannya di front Eropa, kemungkinana Andi Azis melatih para pasukan Komando tersebut dengan kemampuan yang di milikinya.
1. Lata Belakang Pemberontakan Andi Azis
Pemberontakan di bawah naungan Andi Azis ini terjadi di Makassar yang diawali dengan adanya konflik di Sulawesi Selatan pada bulan April 1950. Kekacauan yang berlangsung di Makassar ini terjadi karena adanya demonstrasi dari kelompok masyarakat yang anti federal, mereka mendesak NIT supaya segera menggabungkan diri dengan RI. Sementara itu di sisi lain terjadi sebuah konflik dari kelompok yang mendukung terbentuknya Negara Federal. Keadaan tersebut menyebabkan terjadinya kegaduhan dan ketegangan di masyarakat.
Untuk menjaga keamanan di lingkungan masyarakat, maka pada tanggal 5 April 1950 pemerintah mengutus pasukan TNI sebanyak satu Batalion dari Jawa untuk mengamankan daerah tersebut. Namun kedatangan TNI ke daerah tersebut dinilai mengancam kedudukan kelompok masyaraat pro-federal. Selanjutnya para kelompok masyarakat pro-federal ini bergabung dan membentuk sebuah pasukan “Pasukan Bebas” di bawah komando kapten Andi Azis. Ia menganggap bahwa masalah keamanan di Sulawesi Selatan menjadi tanggung jawabnya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa lata belakang pemberontakan
Andi Azis adalah :
- Menuntut bahwa keamanan di Negara Indonesia Timur hanya merupakan tanggung jawab pasukan bekas KNIL saja.
- Menentang campur tangan pasukan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) terhadap konflik di Sulawesi Selatan.
- Mempertahankan berdirinya Negara Indonesia Timur.
2. Dampak Pemberontakan Andi Aziz
Pada tanggal 5 April 1950, anggota pasukan Andi Azis
menyerang markas Tentara Nesional Indonesia (TNI) yang bertempat di Makassar,
dan mereka pun berhasil menguasainya. Bahkan, Letkol Mokoginta berhasil ditawan
oleh pasukan Andi Azis. Akhirnya, Ir.P.D Diapri (Perdana Mentri NIT)
mengundurkan diri karena tidak setuju dengan apa yang sudah dilakukan oleh Andi
Azis dan ia digantikan oleh Ir. Putuhena yang pro-RI. Pada tanggal 21 April
1950, Sukawati yang menjabat sebagai Wali Negara NIT mengumumkan bahwa NIT
bersedia untuk bergabung dengan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
3. Upaya Penumpasan Pemberontakan Andi Aziz
Untuk menanggulangi pemberontakan yang di lakukan oleh Andi Azis, pada tanggal 8 April 1950 pemerintah memberikan perintah kepada Andi Azis bahwa setiap 4 x 24 Jam ia harus melaporkan diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang sudah ia lakukan. Untuk pasukan yang terlibat dalam pemberontakan tersebut diperintahkan untuk menyerahkan diri dan melepaskan semua tawanan. Pada waktu yang sama, dikirim pasukan yang dipimpin oleh A.E. Kawilarang untuk melakukan operasi militer di Sulawesi Selatan.
Tanggal 15 April 1950, Andi Azis pergi ke Jakarta setelah didesak oleh Sukawati, Presiden dari Negara NIT. Namun karena keterlambatannya untuk melapor, Andi Azis akhirnya ditangkap dan diadili untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, sedangkan untuk pasukan TNI yang dipimpin oleh Mayor H. V Worang terus melanjutkan pendaratan di Sulawesi Selatan. Pada tanggal 21 April 1950, pasukan ini berhasil menguasai Makassar tanpa adanya perlawanan dari pihak pemberontak.
Pada Tanggal 26 April 1950, anggota ekspedisi yang dipimpin oleh A.E Kawilarang mendarat di daratan Sulawesi Selatan. Keamanan yang tercipta di Sulawesi Selatan-pun tidak berlangsung lama karena keberadaan anggota KL-KNIL yang sedang menunggu peralihan pasukan APRIS keluar dari Makassar. Para anggota KL-KNIL memprovokasi dan memancing emosi yang menimbulkan terjadinya bentrok antara pasukan KL-KNIL dengan pasukan APRIS.
Pertempuran antara pasukan APRIS dengan KL-KNIL berlangsung pada tanggal 5 Agustus 1950. Kota Makassar pada saat itu sedang berada dalam kondisi yang sangat menegangkan karena terjadinya peperangan antara pasukan KL-KNIL dengan APRIS. Pada pertempuran tersebut pasukan APRIS berhasil menaklukan lawan, dan pasukan APRIS-pun melakukan strategi pengepungan terhadap tentara-tentara KNIL tersebut.
Tanggal 8 Agustus 1950, pihak KL-KNIL meminta untuk berunding ketika menyadari bahwa kedudukannya sudah tidak menguntungkan lagi untuk perperang dan melawan serangan dari lawan. Perundingan tersebut akhirnya dilakukan oleh Kolonel A.E Kawilarang dari pihak RI dan Mayor Jendral Scheffelaar dari pihak KL-KNIL. Hasil perundingan kedua belah pihakpun setuju untuk menghentikan baku tembak yang menyebabkan terjadinya kegaduhan di daerah Makassar tersebut, dan dalam waktu dua hari pasukan KNIL harus meninggalkan Makassar.
4. Meninggalnya Kapten Andi Azis
Pada tanggal 30 Januari 1984 seluruh keluarga dari Andi Azis diselimuti oleh duka yang mendalam karena kepergian sang Kapten, Andi Abdoel Azis. Di usianya yang sudah menginjak 61 Tahun, ia meninggal di Rumah Sakit Husada Jakarta karena serangan jantung yang dideritanya. Andi Azis meninggalkan seorang Istri dan jenasahnya diterbangkan dari Jakarta Ke Sulawesi Selatan, lalu dimakamkan di pemakaman keluarga Andi Djuanna Daeng Maliungan yang bertempat di desa Tuwung, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Dalam suasana duka, mantan Presiden RI, BJ. Habibie beserta istrinya Hasri Ainun, mantan Wakil Presiden RI, Try Sutrisno dan para anggota perwira TNI turut berduka cita dan hadir dalam acara pemakaman Andi Azis.
5. Hikmah di Balik Pemberontakan Andi Azis
Kapten Andi Abdoel Azis, ia adalah seorang pemberontak yang tidak pernah menyakiti dan membunuh orang untuk kepentingan pribadinya. Ia hanyalah korban propaganda dari Belanda, karena kebutaannya terhadap dunia politik. Andi Azis adalah seorang militer sejati yang mencoba untuk mempertahankan kesatuan Negara Republik Indonesia pada masa itu, dan dalam kesehariannya, seorang Andi Azis cukup dipandang dan dihargai oleh masyarakat suku Bugis Makassar yang bertempat tinggal di Tanjung Priok, Jakarta. Disanalah Andi Azis diakui sebagai salah satu sesepuh yang selalu dimintai nasehat oleh para penduduk tentang bagaimana cara menjadikan suku Bugis Makassar supaya tetap dalam keadaan rukun dan sejahtera.
Andi Azis dikenal juga sebagai orang yang murah hati dan suka menolong. Ia selalu berpesan kepada anak-anak angkatnya bahwa “Siapapun boleh dibawa masuk ke dalam rumahnya kecuali 3 jenis manusia yaitu pemabuk, penjudi, dan pemain perempuan.
Seorang Andi Azis patut kita jadikan sebagai bahan pembelajaran bahwa kita selama hidup di dunia ini jangan terlalu percaya sama apa yang orang lain katakan, percayalah kepada hati nurani, jangan terlalu percaya sama orang lain karena orang itu belum tentu bisa mengajak kita ke jalan yang benar dan mungkin malah mengajak kita untuk berbuat salah. Maka dari itu, alangkah lebih baiknya kita harus berwaspada dan berhati-hati dalam mempercayai orang lain.
(Disarikan dari berbagai sumber)
Semoga artikel mengenai Pemberontakan Andi Azis
menambah wawasan kita. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan
Cyber.
Langganan:
Postingan (Atom)