Tanpa bermaksud mengkomersialkan hasil orang lain ( cendekiawan ) materi ini hanya untuk mempermudah siswa mendapatkan materi terkait !
PEMBERONTAKAN PKI MADIUN 1948, AWALNYA
KONFLIK SESAMA GOLONGAN KIRI YANG ANTI IMPERIALIS ?
Sesudah pekan olah raga nasional (PON) 1948 di Solo, kota Solo mengalami peristiwa yang kemudian ternyata suatu permulaan keributan besar “Pemberontakan PKI”. Dipimpin Muso dikota Madiun. Di zaman Revolusi memang kota Solo terkenal sebagai kota “ruwet”, walaupun tampaknya keluar saban malam pertunjukan Sriwedari dimana masyarakat penuh bergembira ria.
Tapi dibelakang tabir poltik berjalan pertentangan pertentangan antara partai golongan “Murba” (antara lain anggotanya GRR dan barisan Banteng) dengan partai-partai dari golongan FDR (Front Demokrasi Rakyat terdiri dari PKI, partai buruh, Pesindo dan lain-lain). Keduanya menamakan diri sebagai partai kiri anti imperialis. Pertentangannya antara lain soal pro dan anti Linggarjati. Selain itu juga pertentangan antara pimpinannya. Pertentangan ini nampak, misalnya dengan adanya perang pamflet GRR dan Banteng yang berbunyi : “Awas waspada kawan, Hijroh tidak memusuhi rakyat kawan, Hijroh membasmi penghianat, penjual negara (Amir Setiadjid dan CS nya). Tertanda Barisan Banteng.
Pamflet lain berisi, Siapakah pentjulik2nya Dr Muwardi ?. (Hijroh adalah istilah untuk pasukan Siliwangi yang hijrah ke Jawa Tengah pada tahun 1948. FDR adalah kelanjutan kekuatan sayap kiri penguasa pemerintah 1946-1947 dibawah kabinet Sjahrir dan Amir. Mereka merupakan kekuatan politik yang menyelenggarakan perundingan Indonesia-Belanda antara lain dalam perundingan Linggarjati dan Renville. Dr Muwardi adalah pimpinan barisan Banteng yang diculik dan tidak diketahui rimbanya sampai sekarang). Maka terjadilah kegiatan culik menculik dan pembunuhan.
Konflik menjadi melebar ketika kesatuan tentara simpatisan masing-masing kelompok melakukan tembak menembak. Isu-isu yang muncul misalnya : Tentara hijrah Siliwangi kena provokasi ? FDR ?, GRR ?, Provokasi anasir-anasir kanan reaksioner. Baru ketika Madiun meletus (September 1948), pemerintah dapat melihat keadaan sebenarnya dengan jelas dan tegas. PKI Muso mengadakan pemberontakan yang kejam dan berbahaya. Para pemimpin mereka merupakan tokoh sayap kiri yang kemudian membentuk FDR, yaitu Wikana, Maruto Darusman, Alimin, Muso, Amir Sjarifudin, Abdul Madjid, Setiadjid.
Sebenarnya pemberontakan kaum PKI (pimpinan Muso dan Amir) dari Madiun bisa dipandang sebagai suatu konsekwensi yang meletus karena oposisi yang runcing antara Amir cs, sejak ia jatuh dari kabinet pemerintahan dan diganti oleh Hatta dengan bantuan Masyumi dan PNI. Oposisi Amir cs, makin hari makin tajam. Dimana-mana terjadi demonstrasi dan pemogokan. Agitasi poitik sangat mempertajam pertentangan politik dalam negeri. Ketika Muso datang dari luar negeri dan bergabung dengan Amir cs, maka politik PKI-FDR makin dipertajam, maka meletuslah peristiwa Madiun tersebut. Mr Amir Sjarifudin adalah seorang pemimpin rakyat yang “brilliant”.
Rupanya bersama dengan golongannya, tak dapat sabar menahan kekalah politiknya didalam pemerintahan. Ia jatuh dan menilik gelagatnya, ta’kan dapat segera tegak kembali dalam pimpinan pemerintahan dan pimpinan Revolusi. Ia berkeliling berpidato, dan partainya beragitasi. Tanah-tanah bengkok desa dibagikan. Sering rakyat dan tentara dihasut untuk melawan pemerintah Hatta. Pemerintah dituduhnya terus mengalah pada kaum kapitalis-reaksioner. Segala usaha dilakukan untuk menjatuhkan pemerintahan kabinet Hatta. Ketika pemberontakan meletus, pemerintah tidak tinggal diam.
Presiden Soekarno berpidato pada tanggal 19 September 1948 untuk menghantam dan menghancurkan pengacau-penbacau negara. Kekuasaan negara kemudian dipusatkan ditangan Presiden dan segala alat negara digerakkan untuk menindas pemberontakan itu. Pemberontakan Madiun disebutkan Bung Karno : “Suatu tragedi nasional pada saat pemerintah RI dan rakyat dengan segala penderitaan, sedang menghadapi lawan Belanda, maka ditusuklah dari belakang perjuangan nasional yang maha hebat ini. Tenaga nasional, tenaga rakyat terpecah, terancam dikacau balaukan.
Pemerintah daerah Madiun, tiba-tiba dijatuhkan dengan kekerasan dan pembunuhan2, Pemerintah “merah” didirikan dengan Gubernur Militernya bernama “pemuda Sumarsono” dan dari kota Madiun pemberontakan diperintahkan kemana-mana. Bendera merah dikibarkan sebagai bendera pemberontakannya. Oleh pemerintah pusat segera dilakukan tindakan-tindakan untuk memberantas pemberontakan dan kekacauan. Pasukan TNI digerakkan ke Madiun. Dilakukan penangkapan terhadap pengikut PKI-Muso. Ternyata banyak ditemui, rakyat yang tidak menyokong aksi PKI-Muso tersebut. Juga banyak ditemui pengikut FDR tidak menyetujui aksi melawan pemerintah yang secara kejam itu.
Namun perusakan dan pembunuhan itu telah terjadi serta tidak dapat dicegah. TNI yang datang ke Madiun, menyaksikan itu semua dengan sedih dan ngeri . Maka Presiden melalui corong radio RRI berseru : “Tidak sukar bagi rakyat, “Pilih Sukarno Hatta atau Muso dengan PKI nya”. Tentara yang bergerak ke Madiun, mendapat bantuan rakyat sepenuhnya Dan Pemerintah mendapat pernyataan setia dari mana-mana. Dari Jawa dan Sumatera. Ahirnya pada tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat direbut kembali oleh TNI. Para pemberontak banyak yang tertangkap.
Sejumlah pengacau langsung dapat diadili ditempat secara militer. Didaerah lain seperti didaerah Purwodadi, Pati, Bojonegoro, Kediri dan sebagainya, cabang-cabang pemberontak dapat ditindas. Berminggu-minggu pemimpin pemberontak serta pasukannya dikejar terus. Ahirnya mereka tertangkap juga. Muso sendiri terbunuh dalam tembak menembak ketika hendak ditangkap disebuah desa dekat Ponorogo. Setelah keadaan aman, pemerintah memperingati korban-korban yang telah jatuh karena pemberontakan Madiun. Dari TNI gugur sebanyak 159 orang anggauta-anggautanya selaku pembela negara. (diambil dari tulisan pada buku “LUKISAN REVOLUSI RAKYAT INDONESIA” 1945-1949. yang diterbitkan oleh Kementerian Penerangan Republik Indonesia pada bulan Desember 1949).
PERISTIWA Madiun (Madiun Affairs) adalah sebuah konflik
kekerasan atau situasi chaos yang terjadi di Jawa Timur bulan September
– Desember 1948. Peristiwa ini diawali dengan diproklamasikannya negara Soviet
Republik Indonesia pada tanggal 18 September 1948 di Madiun oleh Muso, seorang
tokoh Partai Komunis Indonesia dengan didukung pula oleh Menteri Pertahanan
saat itu, Amir Sjarifuddin.
Pada saat itu hingga era Orde Lama
peristiwa ini dinamakan Peristiwa Madiun (Madiun Affairs), dan tidak
pernah disebut sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Baru di
era Orde Baru peristiwa ini mulai dinamakan pemberontakan PKI.
Bersamaan dengan itu terjadi penculikan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Madiun, baik itu tokoh sipil maupun militer di pemerintahan ataupun tokoh-tokoh masyarakat dan agama.
Masih ada kontroversi mengenai peristiwa ini. Sejumlah pihak merasa tuduhan bahwa PKI yang mendalangi peristiwa ini sebetulnya adalah rekayasa pemerintah Orde Baru (dan sebagian pelaku Orde Lama).
Bersamaan dengan itu terjadi penculikan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Madiun, baik itu tokoh sipil maupun militer di pemerintahan ataupun tokoh-tokoh masyarakat dan agama.
Masih ada kontroversi mengenai peristiwa ini. Sejumlah pihak merasa tuduhan bahwa PKI yang mendalangi peristiwa ini sebetulnya adalah rekayasa pemerintah Orde Baru (dan sebagian pelaku Orde Lama).
Tawaran bantuan dari Belanda
Pada awal konflik Madiun, pemerintah Belanda berpura-pura menawarkan bantuan untuk menumpas pemberontakan tersebut, namun tawaran itu jelas ditolak oleh pemerintah Republik Indonesia. Pimpinan militer Indonesia bahkan memperhitungkan, Belanda akan segera memanfaatkan situasi tersebut untuk melakukan serangan total terhadap kekuatan bersenjata Republik Indonesia. Memang kelompok kiri termasuk Amir Syarifuddin Harahap, tengah membangun kekuatan untuk menghadapi Pemerintah RI, yang dituduh telah cenderung berpihak kepada AS.
Latar belakang
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, muncul berbagai organisasi yang membina kader-kader mereka, termasuk golongan kiri dan golongan sosialis. Selain tergabung dalam Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), Partai Sosialis Indonesia (PSI) juga terdapat kelompok-kelompok kiri lain, antara lain Kelompok Diskusi Patuk, yang diprakarsai oleh Dayno, yang tinggal di Patuk, Yogyakarta. Yang ikut dalam kelompok diskusi ini tidak hanya dari kalangan sipil seperti D.N. Aidit, Syam Kamaruzzaman, dll., melainkan kemudian juga dari kalangan militer dan bahkan beberapa komandan brigade, antara lain Kolonel Joko Suyono, Letkol Sudiarto (Komandan Brigade III, Divisi III), Letkol Soeharto (Komandan Brigade X, Divisi III. Kemudian juga menjadi Komandan Wehrkreis III, dan menjadi Presiden RI), Letkol Dahlan, Kapten Suparjo, Kapten Abdul Latief dan Kapten Untung Samsuri.
Pada bulan Mei 1948 bersama Suripno, Wakil Indonesia di Praha, Musso, kembali dari Moskow, Rusia. Tanggal 11 Agustus, Musso tiba di Yogyakarta dan segera menempati kembali posisi di pimpinan Partai Komunis Indonesia. Banyak politisi sosialis dan komandan pasukan bergabung dengan Musso, antara lain Mr. Amir Sjarifuddin Harahap, dr. Setiajid, kelompok diskusi Patuk, dll.
Aksi saling menculik dan membunuh mulai terjadi, dan masing-masing pihak menyatakan, bahwa pihak lainlah yang memulai. Banyak perwira TNI, perwira polisi, pemimpin agama, pondok pesantren di Madiun dan sekitarnya yang diculik dan dibunuh.
Tanggal 10 September 1948, mobil Gubernur Jawa Timur RM Ario Soerjo (RM Suryo) dan mobil 2 perwira polisi dicegat massa pengikut PKI di Ngawi. Ketiga orang tersebut dibunuh dan mayatnya dibuang di dalam hutan. Demikian juga dr. Muwardi dari golongan kiri, diculik dan dibunuh. Tuduhan langsung dilontarkan, bahwa pihak lainlah yang melakukannya. Di antara yang menjadi korban juga adalah Kol. Marhadi yang namanya sekarang diabadikan dengan Monumen yang berdiri di tengah alun-alun Kota Madiun dan nama jalan utama di Kota Madiun.
Kelompok kiri menuduh sejumlah petinggi Pemerintah RI saat itu, termasuk Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta telah dipengaruhi oleh Amerika Serikat untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia, sejalan dengan doktrin Harry S. Truman, Presiden AS yang mengeluarkan gagasan Domino Theory. Truman menyatakan, bahwa apabila ada satu negara jatuh ke bawah pengaruh komunis, maka negara-negara tetangganya akan juga akan jatuh ke tangan komunis, seperti layaknya dalam permainan kartu domino. Oleh karena itu, dia sangat gigih dalam memerangi komunis di seluruh dunia.
Kemudian pada 21 Juli 1948 telah diadakan pertemuan rahasia di hotel "Huisje Hansje" Sarangan, dekat Madiun yang dihadiri oleh Soekarno, Hatta, Sukiman, Menteri Dalam negeri, Mohamad Roem (anggota Masyumi) dan Kepala Polisi Sukanto, sedangkan di pihak Amerika hadir Gerald Hopkins (penasihat politik Presiden Truman), Merle Cochran (pengganti Graham yang mewakili Amerika dalam Komisi Jasa Baik PBB). Dalam pertemuan Sarangan, yang belakangan dikenal sebagai "Perundingan Sarangan", diberitakan bahwa Pemerintah Republik Indonesia menyetujui Red Drive Proposal (proposal pembasmian kelompok merah). Dengan bantuan Arturo Campbell, Sukanto berangkat ke Amerika guna menerima bantuan untuk kepolisian RI. Campbell yang menyandang gelar resmi Atase Konsuler pada Konsulat Jenderal Amerika di Jakarta, sesungguhnya adalah anggota Central Intelligence Agency - CIA
Diisukan, bahwa Sumarsoso tokoh Pesindo, pada 18 September 1948 melalui radio di Madiun telah mengumumkan terbentuknya Pemerintah Front Nasional bagi Karesidenan Madiun. Namun Soemarsono kemudian membantah tuduhan yang mengatakan bahwa pada dia mengumumkan terbentuknya Front Nasional Daerah (FND) dan telah terjadi pemberontakan PKI. Dia bahwa FND dibentuk sebagai perlawanan terhadap ancaman dari Pemerintah Pusat
Pada 19 September 1948, Presiden Soekarno dalam pidato yang disiarkan melalui radio menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk memilih: Musso-Amir Syarifuddin atau Soekarno-Hatta. Maka pecahlah konflik bersenjata, yang pada waktu itu disebut sebagai Madiun Affairs (Peristiwa Madiun), dan di zaman Orde Baru terutama di buku-buku pelajaran sejarah kemudian dinyatakan sebagai pemberontakan PKI Madiun.
Akhir konflik
Kekuatan pasukan pendukung Musso digempur dari dua arah: Dari barat oleh pasukan Divisi II di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta pasukan dari Divisi Siliwangi, sedangkan dari timur diserang oleh pasukan dari Divisi I, di bawah pimpinan Kolonel Sungkono, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, tanggal 19 September 1948, serta pasukan Mobiele Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin.
Panglima Besar Sudirman menyampaikan kepada pemerintah, bahwa TNI dapat menumpas pasukan-pasukan pendukung Musso dalam waktu 2 minggu. Memang benar, kekuatan inti pasukan-pasukan pendukung Musso dapat dihancurkan dalam waktu singkat.
Tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat dikuasai seluruhnya. Pasukan Republik yang datang dari arah timur dan pasukan yang datang dari arah barat, bertemu di Hotel Merdeka di Madiun. Namun pimpinan kelompok kiri beserta beberapa pasukan pendukung mereka, lolos dan melarikan diri ke beberapa arah, sehingga tidak dapat segera ditangkap.
Baru pada akhir bulan November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan pendukung Musso tewas atau dapat ditangkap. Sebelas pimpinan kelompok kiri, termasuk Mr. Amir Syarifuddin Harahap, mantan Perdana Menteri RI, dieksekusi pada 20 Desember 1948, atas perintah Kol. Gatot Subroto.
Sumber
- http://www.asal-usul.com/2009/03/peristiwa-dulu-pemberontakan-pki-madiun.html
- Wiki Indonesia
- McMahon, Robert J., Colonialism and Cold War: The United States and the Struggle for Indonesian Independence. London: Cornell University Press, 1981, dalam History of U.S. Diplomatic Relations in Indonesia
- Rosihan Anwar, Agen CIA yang saya kenal. Peristiwa Madiun 1948, Kompas Online, Kamis, 18 September 1997
- T.B. Simatupang, Laporan dari Banaran, Kisah pengalaman seorang prajurit selama perang kemerdekaan, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta 1960, hlm. 82
- Wawancara Radio Nederland dengan Ibrahim Isa
- Kesaksian Sumarsono (1), (2).
PKI:
Fakta sejarah pemberontakan PKI di madiun
Kedatangan Soekarno disambut rakyat
Kedatangan MUSO
Tahun 1948 merupakan tahun
perjuangan terberat bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaannya. Kesatuan
dan persatuan yang sangat diperlukan menghadapi Belanda mendapatkan tikaman
dari belakang. Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di
Madiun September 1948 dilancarkan ketika Indonesia sedang bersiap menghadapi
agresi Belanda yang bermaksud menguasai daerah RI yang masih tersisa di Jawa
dan Sumatera.
Persetujuan Renville 17 Januari
1948 memicu krisis politik. PM Amir Syarifudin dan kabinetnya dianggap tidak
becus. Pada 23 Januari 1948, Presiden Soekarno membubarkan kabinet dan
menunjuk Wakil Presiden Mohammad Hatta membentuk kabinet. Sayap kiri
membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) dan Amir Syarifudin dipilih menjadi
ketuanya. FDR yang beroposisi terhadap pemerintah Hatta antara lain menuntut
politik berunding dihentikan sampai Belanda menarik diri secara keseluruhan
dari Indonesia.
Di tahun 1948 itu, Angkatan Perang
RI (dan pegawai negeri) melakukan Reorganisasi dan Rasionalisasi (ReRa).
Kebijakan yang digariskan Kabinet Hatta adalah menyusun tentara yang lebih
efisien dan berada di bawah satu komando, dan menjadikannya alat negara yang
tangguh terhadap agitasi politik dari luar. Hatta ingin memotong garis
politik kelompok FDR. ReRa Angkatan Perang berhasil memperkecil jumlah TNI,
dari tujuh divisi menjadi empat, tapi daya tempurnya lebih baik.
Perang Gerilya Semesta
Dengan ReRa ini, TNI-Masyarakat
yang dibangun Amir Syarifudin ketika ia masih menjabat Menteri Pertahanan dan
Perdana Menteri, dibubarkan. TNI-Masyarakat ini merupakan tandingan bagi TNI
yang semula hanya merupakan Biro Perjuangan di Kementerian Pertahanan. Biro
ini dan TNI-Masyarakatnya didominasi perwira-perwira yang berhaluan komunis.
Kesatuan-kesatuan yang dipengaruhinya dan sempat dilengkapi persenjataan
terbaik ini diharapkan menjadi andalan kekuasaan politik sayap kiri itu.
Setelah dibubarkan pada 29 Mei 1948, kesatuan ex TNI-Masyarakat dilebur ke
dalam Divisi-Divisi TNI, pada Kesatuan Reserve Umum (KRU), sebagai kekuatan
cadangan strategis RI.
Rekonstruksi juga diadakan dengan
peran strategis TNI untuk menghadapi agresi militer Belanda. Strateginya
diubah, tidak lagi menggunakan konsep perang yang lama. Konsep lama yang
konvensional menjadikan pengalaman pahit bagi TNI yang dipukul telak oleh
Belanda. Dengan konsep yang baru, serangan musuh tidak akan lagi dihadapi
langsung secara mati-matian.
Perlawanan awal TNI dilakukan
sebagai penghambat guna memberi peluang induk kekuatan TNI dan unsur-unsur
pemerintah melakukan persiapan di daerah perlawanan-wehrkreise untuk
melancarkan perang wilayah. Akan digelar perang gerilya semesta di seluruh
pulau Jawa dan di wilayah yang luas di Sumatera untuk jangka waktu yang tidak
ditentukan. Divisi Siliwangi ditugaskan melancarkan infiltrasi jarak jauh kembali
ke daerah juang asalnya, berperang gerilya bersama rakyat.
Muso Datang
Muso
Pada 11 Augustus 1948, Muso, tokoh
komunis Indonesia pulang dari Moskow. Dalam pertemuan 13 Agustus 1948 dengan
Presiden Soekarno, ketika kepadanya diminta untuk memperkuat perjuangan
revolusi, Muso menjawab dengan singkat: Saya datang untuk menertibkan
keadaan. Ternyata, yang dimaksudkannya untuk kepentingan FDR/PKI.
Kehadiran Muso mempunyai arti
politis bagi gerakan komunis di Indonesia. Ia membawa “garis komunis internasional
ortodoks“ ialah garis keras Zhadanov. Di tahun 1947, gerakan komunis
internasional (Komintern) berubah haluan dan menempuh garis keras. Garis
lunak Dimitrov yang dilakoni sejak 1935 yaitu bekerja sama dengan kapitalis
untuk melawan fasisme sudah dikesampingkan.Komintern diubah namanya menjadi
Kominform (komunis reformasi). Angin perubahan dari Moskow ini yang dibawa
Muso ke Indonesia. Ia ingin merombak organisasi yang dinilainya kurang
revolusioner dan radikal. Dalam konferensi PKI pada 26-27 Augustus 1948, ia
mengungkapkan garis Kominform yang telah berubah seraya mengajukan
rencana-rencana baru yang dituangkannya di thesisnya: ”Jalan Baru untuk
Republik Indonesia”.
Reformasi sosial yang dianjurkan
tidak jauh berbeda dengan apa yang telah dicanangkan FDR. Platform baru Muso
adalah; ”harusnya perjuangan anti-imperialis Indonesia bersatu dengan
Soviet Unie yang memelopori perjuangan melawan blok imperialis pimpinan
Amerika Serikat”. Ia juga mendesak PKI, Partai Buruh terbesar, memegang
pimpinan revolusi nasional.
Pada 31 Agustus 1948 PKI membuat
perubahan drastis. FDR dibubarkan. Partai Buruh dan Partai Sosialis berfusi
ke PKI. Disusun Polit Biro baru, Muso menjadi salah satu Sekjen. PKI yang
semula beranggotakan 3.000 orang, menjadi 30 ribu orang. Organisasi massa
(ormas) PKI kemudian merencanakan kongres koreksi dan merancang trace baru,
jalur radikal dan keras.
Tanggal 13 September pecah
peristiwa Solo, yakni tawuran antara pasukan Siliwangi (kesatuan reserve umum
TNI) dengan pasukan TNI setempat dari Komando Pertempuran Panembahan Senopati
yang telah diinfiltrasi FDR/PKI. Dalam rencana FDR/ PKI yang tertuang dalam
dokumen “Menginjak Perjuangan Militer Baru”, kota Solo hendak dijadikan ”Wild
West”, untuk menyesatkan perhatian atas rencana militer besar yang
sebenarnya. Tetapi provokasi PKI ini dapat diatasi pasukan-pasukan yang setia
kepada pemerintah
Belanda Memperkeruh suasana
Pada 18 September 1948 pagi,
Soemarsono selaku Gubernur Militer (PKI) dan atas nama pemerintah Front
Nasional setempat, memproklamasikan tidak terikat lagi kepada RI pimpinan
Soekarno-Hatta, dan memaklumkan pemerintah Front Nasional. Kekuatan militer
PKI untuk melakukan makar adalah kesatuan-kesatuan Brigade XXIX eks Pesindo,
pimpinan Kolonel Dachlan. Mereka bersenjata lengkap dan berpengalaman tempur.
Dari Madiun PKI menabuh genderang
perang menantang RI. Dari Yogyakarta, pada 19 September jam 22:00, Presiden
Soekarno berpidato keras antara lain: “….. Kemarin pagi Muso mengadakan
kup dan mendirikan suatu pemerintahan Soviet di bawah pimpinan Muso.
Perampasan kekua-saan ini dipandang sebagai permulaan untuk merebut seluruh
pemerintahan RI. Ternyata peristiwa Solo dan Madiun tidak berdiri
sendiri-sendiri, melainkan satu rantai-tindakan untuk merobohkan pemerintah
RI”
“…… Bantulah pemerintah, bantulah
alat-alat pemerintah dengan sepenuh tenaga, untuk memberantas semua bentuk
pemberontakan dan mengembalikan pemerintahan yang sah di daerah yang
bersangkutan. Rebut kembali Madiun, Madiun harus segera di tangan kita
kembali….”
Pada 20 September 1948 diadakan
sidang Dewan Siasat Militer dipimpin PM/Menteri Pertahanan Hatta. Apabila
tidak diadakan tindakan cepat menumpas PKI, Belanda akan melakukan
intervensi. Angkatan Perang harus secepatnya merebut Madiun kembali. Kolonel
A.H. Nasution sebagai kepala staf Operasi MBAP menyanggupi merebut kembali
Madiun dalam waktu dua minggu.
Ancaman Belanda
Tantangan lain yang masih harus
dihadapi RI pada September 1948 adalah ancaman agresi Militer Belanda.
Perundingan diplomatik seusai Renville tidak berjalan lancar. Letjen Spoor,
Panglima tentara Belanda yang meragukan penyelesaian sengketa
Indonesia-Belanda melalui perundingan, sejak Februari telah merencanakan
operasi militernya yang sewaktu-waktu dapat digerakkan untuk menuntaskan masalah
secara militer once for all.
Rencana strategi yang dinilainya
berhasil memenangkan agresi militer pertama (1947) disiapkan lagi, kali ini
diberi sandi : “Operatie Kraai”.
Kekacauan di wilayah RI dan adanya
pemberontakan PKI di Madiun dinilainya peluang strategis untuk melancarkan
operasi militer besar: memadamkan pemberontakan komunis sekalian menamatkan
riwayat RI.Bila di Yogyakarta diadakan sidang Dewan Siasat Militer dipimpin
PM Hatta untuk menumpas pemberontakan PKI-Muso, maka pada tanggal yang sama
di Jakarta diadakan perundingan para pemimpin politik dan militer Belanda,
dipimpin wakil wali negara, Abdulkadir Widjojoatmodjo.Usul Jenderal Spoor
untuk mempercepat agresi militer, disetujui. Diputuskan oleh sidang agar
Abdulkadir minta izin kepada Pemerintah Pusat Belanda, agar diberi kuasa
untuk segera bertindak, melancarkan operasi “Kraai”.
Ternyata Belanda urung melancarkan
operasi militernya. Ini bukan karena Kabinet Belanda tidak merestui, tapi
karena kalah cepat dengan operasi TNI. RRI Yogyakarta menyiarkan Brigade II
Siliwangi dipimpin Letnan Kolonel Sadikin tanggal 30 September 1948 jam 04:00
petang membebaskan Madiun.Ini berarti kurang dari dua minggu dari rencana
operasi yang bergerak 21 September 1948 itu. Tidak selang lama di Madiun
bergabung pula Brigade S pimpinan Letkol Surahmat dari Komando Tempur Djawa
Timur. Operasi militer selanjutnya membebaskan kabupaten-kabupaten yang
dikuasai PKI, yaitu Ponorogo, Magetan, Pacitan.
Pasukan Siliwangi bergerak merebut Cepu dari PKI
Gerakan PKI Dipadamkan
Pada akhir bulan Nopember 1948,
seluruh operasi penumpasan PKI termasuk daerah-daerah sebelah utara Surakarta
yaitu Purwodadi, Cepu, Blora, Pati, Kudus, dan lain-lain, selesai. Gerakan
PKI dipadamkan dalam tempo 65 hari.
TNI melaksanakan konsolidasi,
mempersiapkan diri menghadapi agresi Belanda. Sejarah mencatat, TNI tidak
punya cukup waktu untuk melakukan konsolidasi dan mempersiapkan diri
menghadapi agresi militer Belanda.
Tanggal 19 Desember 1948, Belanda
kembali melancarkan agresi militer. Kali ini serangan kilat ditujukan
langsung ke Ibu Kota RI Yogyakarta. Dalam waktu singkat Belanda menduduki
kota-kota penting yang masih tersisa di wilayah RI. Pimpinan-pimpinan politik
RI ditawan, tetapi mereka tidak berhasil menangkap pimpinan TNI.
TNI tetap utuh dan tidak bisa
dihancurkan, karena pasukan TNI segera menyebar di daerah-daerah pengunduran
yang luas (sesuai rencana strategi pertahanan yang telah digariskan dalam
perintah siasat Panglima Sudirman). Belanda memaksa TNI melakukan perlawanan
gerilya, suatu cara peperangan yang sangat sesuai bagi TNI.
Bila Belanda melancarkan strategi
perangnya untuk menghancurkan, dengan tujuan untuk meniadakan/memusnahkan RI,
yang dalam istilah Carl von Clausewitch Niederwerfungs-strategie, maka ia
dihadapi oleh TNI dengan perang gerilya/bersama rakyat, yang berjangka waktu
panjang dan menjemukan, yang menurut teori Hans Delbruck sebagai
Ermattungskrieg.Belanda diganggu terus menerus oleh pertempuran hit and run,
dan diselingi perang diplomasi, yang menekan syaraf dan melelahkan.
Oleh ,Himawan Soetanto
Penulis adalah master ilmu sejarah
UI. Pernah jadi Panglima Kostrad dan Pangdam III/Siliwangi. Tulisan di atas
adalah cuplikan dari bukunya yang akan terbit, “Yogyakarta”
|
Fakta Pemimpin PKI
Madiun 1948, Musso: Ternyata Adalah Anak Kyai Terpandang
Bagi yang masih ingat pelajaran
Sejarah semasa sekolah pasti masih ingat dengan “Pemberontakan PKI di Madiun
Tahun 1948” yang dipimpin oleh Muso. Tokoh kelahiran Kediri tahun 1897 ini amat
ditakuti karena bersama pengikutnya pernah membantai banyak orang di Madiun
yang tidak mau mengikuti ideologinya. Nah, fakta yang menarik adalah ternyata
Muso adalah keturunan pendiri Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Ia
adalah anak dari KH Hasan Muhyi yang menikah dengan Nyai Juru.
Sebagai anak seorang kiai dan berada
di lingkungan pesantren sejak kecil, tentu saja Muso kecil rajin nyantri.
Cerita ini disampaikan oleh KH Mohammad Hamdan Ibiq, pengasuh Ponpes Kapurejo,
Pagu, Kediri. Menurut Gus Ibiq, sapaan Hamdan Ibiq, Muso selain masih
keluarganya, juga pernah nyantri layaknya putra para kiai, penuturan ini
berdasarkan cerita dari para leluhurnya.
“Tidak disebutkan jelas di mana dia nyantri, tapi berdasarkan keterangan kakek buyut saya, Musso merupakan anak yang cerdas kala dia nyantri," kata Gus Ibiq.
Hingga sekarang, pihak keluarga meyakini bahwa apa yang dilakukan Muso dengan gerakannya itu lebih pada pilihan politik, bukan ideologis. "Saya kira dia paham agama, apa yang dia lakukan semata untuk melawan Belanda,” tambah Gus Ibiq.
“Tidak disebutkan jelas di mana dia nyantri, tapi berdasarkan keterangan kakek buyut saya, Musso merupakan anak yang cerdas kala dia nyantri," kata Gus Ibiq.
Hingga sekarang, pihak keluarga meyakini bahwa apa yang dilakukan Muso dengan gerakannya itu lebih pada pilihan politik, bukan ideologis. "Saya kira dia paham agama, apa yang dia lakukan semata untuk melawan Belanda,” tambah Gus Ibiq.
Pemimpin PKI ini ternyata santri dan
anak Kyai
Adapun makam pendiri pesantren, KH Hasan Muhyo dan Nyai Juru keduanya berada di kompleks Pondok Pesantren Kapurejo yang berjarak 200 meter dari lokasi pesantren induk ke arah belakang. Makam KH Hasan Muhyi berjajar di antara makam keluarga lainnya, sedangkan makam Nyai Juru berada lebih atas dengan nisan batu layaknya nisan orang kuno. Ini adalah makan keluarga.
Posisi makam yang berbeda ternyata disebabkan Nyai Juru lebih dahulu meninggal dibandingkan KH Hasan Muhyi. Sebab berdasarkan silsilah keluarga KH Hasan Muhyi menikah sebanyak tiga kali.
Dari makam kedua orangtua Muso, dilakukan penelusuran menuju Desa Jagung yang berjarak kurang lebih 4 Km dari Ponpes Kapurejo dengan tujuan mencari rumah peninggalan orang tua Muso. Sebuah fakta mengejutkan, rumah di ujung desa tersebut sudah lenyap dan terganti dengan rumah-rumah baru sejak 5 tahun lalu. Sebab digambarkan sebelumnya rumah orang tua Muso adalah rumah berbentuk rumah tradisional srotong atau doro gepak yang terbuat dari kayu jati.
Adapun makam pendiri pesantren, KH Hasan Muhyo dan Nyai Juru keduanya berada di kompleks Pondok Pesantren Kapurejo yang berjarak 200 meter dari lokasi pesantren induk ke arah belakang. Makam KH Hasan Muhyi berjajar di antara makam keluarga lainnya, sedangkan makam Nyai Juru berada lebih atas dengan nisan batu layaknya nisan orang kuno. Ini adalah makan keluarga.
Posisi makam yang berbeda ternyata disebabkan Nyai Juru lebih dahulu meninggal dibandingkan KH Hasan Muhyi. Sebab berdasarkan silsilah keluarga KH Hasan Muhyi menikah sebanyak tiga kali.
Dari makam kedua orangtua Muso, dilakukan penelusuran menuju Desa Jagung yang berjarak kurang lebih 4 Km dari Ponpes Kapurejo dengan tujuan mencari rumah peninggalan orang tua Muso. Sebuah fakta mengejutkan, rumah di ujung desa tersebut sudah lenyap dan terganti dengan rumah-rumah baru sejak 5 tahun lalu. Sebab digambarkan sebelumnya rumah orang tua Muso adalah rumah berbentuk rumah tradisional srotong atau doro gepak yang terbuat dari kayu jati.
Korban keganasan PKI Madiun 1948
Di depan rumah Muso, ada pohon durian yang sangat besar, dan selalu berbuah lebat di setiap musim durian. Selain salah satu orang kaya dan terpandang, Nyai Juru selalu memberi perhatian kepada para tetangganya, salah satunya mengajak bermain ke rumahnya.
"Saya pernah main ke rumah itu saat saya masih kecil, namun saya tidak pernah bertemu Muso, sebab dia memang jarang pulang. Saya pun hanya mendapatkan cerita, Muso sesekali pulang menjenguk ibunya (Nyai Juru) yang sedang sakit. Di saat Muso pulang itu biasanya ada penggerebekan, namun dia selalu lolos, penggerebekan itu lebih karena karena ketokohannya," kata Nur Hasan (85) salah seorang warga di Desa Jagung.
Gambaran perjalanan Muso akhirnya diteruskan kepada sumber lain yang masih hidup yakni Ustaz Nurudin (85) warga Dusun Santren Desa Jagung Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri. Menurutnya, KH Hasan Muhyi dulu juga sempat membuat pesantren di wilayah Dusun Santren, Desa Jagung, Kecamatan Pagu.
"Pesantrennya hanya berbentuk langgar angkringan (mushola bambu) tepatnya tahun berapa saya ndak paham, cuman bapak saya bilang tahun 1926 sudah ada. Saat membangun pesantren itu, KH Hasan Muhyi didampingi beberapa temanya sesama pelarian pasukan Diponegoro, yakni Ki Martojo, Ki Sanan Kemat, Mbah Awi, dan Mbah Mantari," kata Ustaz Nuruddin.
Dan pada tahun 1954, KH Hasan Muhyi memindah pesantrennya ke Kapurejo, Pagu, setelah sebelumnya mendapatkan wisik bahwa pesantren yang dibangunnya tersebut akan terkena lahar Gunung Kelud. Pemindahan akhirnya kejadian pada tahun 1964 atau tepat sepuluh tahun setelah mendapatkan petunjuk.
"Karena semua terlalap lahar dingin Gunung Kelud, akhirnya mushola itu dibangun permanen pada tahun yang sama dan pada perkembangannya sekitar tahun 1980 an mushola itu dibangun menjadi masjid hingga saat ini," kata Nurudin.
Di depan rumah Muso, ada pohon durian yang sangat besar, dan selalu berbuah lebat di setiap musim durian. Selain salah satu orang kaya dan terpandang, Nyai Juru selalu memberi perhatian kepada para tetangganya, salah satunya mengajak bermain ke rumahnya.
"Saya pernah main ke rumah itu saat saya masih kecil, namun saya tidak pernah bertemu Muso, sebab dia memang jarang pulang. Saya pun hanya mendapatkan cerita, Muso sesekali pulang menjenguk ibunya (Nyai Juru) yang sedang sakit. Di saat Muso pulang itu biasanya ada penggerebekan, namun dia selalu lolos, penggerebekan itu lebih karena karena ketokohannya," kata Nur Hasan (85) salah seorang warga di Desa Jagung.
Gambaran perjalanan Muso akhirnya diteruskan kepada sumber lain yang masih hidup yakni Ustaz Nurudin (85) warga Dusun Santren Desa Jagung Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri. Menurutnya, KH Hasan Muhyi dulu juga sempat membuat pesantren di wilayah Dusun Santren, Desa Jagung, Kecamatan Pagu.
"Pesantrennya hanya berbentuk langgar angkringan (mushola bambu) tepatnya tahun berapa saya ndak paham, cuman bapak saya bilang tahun 1926 sudah ada. Saat membangun pesantren itu, KH Hasan Muhyi didampingi beberapa temanya sesama pelarian pasukan Diponegoro, yakni Ki Martojo, Ki Sanan Kemat, Mbah Awi, dan Mbah Mantari," kata Ustaz Nuruddin.
Dan pada tahun 1954, KH Hasan Muhyi memindah pesantrennya ke Kapurejo, Pagu, setelah sebelumnya mendapatkan wisik bahwa pesantren yang dibangunnya tersebut akan terkena lahar Gunung Kelud. Pemindahan akhirnya kejadian pada tahun 1964 atau tepat sepuluh tahun setelah mendapatkan petunjuk.
"Karena semua terlalap lahar dingin Gunung Kelud, akhirnya mushola itu dibangun permanen pada tahun yang sama dan pada perkembangannya sekitar tahun 1980 an mushola itu dibangun menjadi masjid hingga saat ini," kata Nurudin.
(Yahoo dan sumber-sumber lain)