https://mgmpsejarahsmadki.wordpress.com/
Rabu, 30 Desember 2015
Soetardjo Kartohadikusumo
Soetardjo
Kartohadikusumo
Nama Lengkap : Soetardjo Kartohadikusumo
Profesi : -
Agama : Islam
Tempat Lahir : Kunduran, Blora, Jawa Tengah
Tanggal Lahir : Rabu, 22 Oktober 1890
Zodiac : Balance
Warga Negara : Indonesia
BIOGRAFI
Soetardjo Kartohadikoesoemo
adalah putra seorang Assistant-Wedono di onder-distrik Kunduran, Ngawi, yaitu
Kiai Ngabehi Kartoredjo. Sedangkan Ibunda Soetardjo, Mas Ajoe Kartoredjo,
adalah keturunan keluarga pemerintahan dari Banten.Keluarga Soetardjo adalah keluarga pamong praja. Semua saudara laki-lakinya menjadi pegawai negeri, sedangkan yang perempuan menjadi istri pegawai negeri.
Walaupun berasal dari keluarga pegawai pemerintahan yang terpandang, masa kecil Soetardjo banyak dilalui bersama masyarakat desa. Hal itu mengilhaminya di kemudian hari untuk menulis buku tentang desa.
Di akhir masa sekolahnya, Soetardjo mengikuti dan lulus ujian menjadi pegawai rendah (kleinambtenaarsexamen) pada 1906. Tetapi Soetardjo tidak memilih menjadi pegawai rendah, melainkan melanjutkan pendidikan di OSVIA. Disinilah Soetardjo mulai bersentuhan dengan organisasi pergerakan.
Pada 1919, Soetardjo yang saat itu berusia 19 tahun telah terpilih sebagai Ketua Cabang Boedi Oetomo hingga 1911 saat meninggalkan sekolah dan “magang” kerja pada kantor Assisten Resident di Blora. Saat itu yang menjadi Ketua Boedi Oetomo adalah R.T.A. Tirtokoesoemo, Bupati Karanganyar.
Tidak sampai 1 tahun magang, pada 19 Oktober 1911 Soetardjo diangkat sebagai pembantu juru tulis (hulpschrijver) pada kantor Resident Rembang. Dua bulan kemudian, yaitu pada 23 Desember 1911, diangkat sebagai juru tulis jaksa, serta lima bulan kemudian diangkat sebagai Mantri Kabupaten. Setelah menduduki jabatan tersebut selama 19 bulan, Soetardjo diangkat sebagai Assistant-Wedono.
Jabatan-jabatan tersebut membuat Soetardjo banyak belajar melakukan pekerjaan-pekerjaan pemerintahan hingga membuat berita acara pemeriksaan serta berkas tuntutan jaksa dalam bahasa Indonesia dan Belanda.
Walaupun dibesarkan dalam keluarga birokrat jawa, namun Soetardjo memiliki pandangan yang menentang feodalisme, terutama yang merendahkan masyarakat pribumi dihadapan orang Belanda.
Saat menjabat sebagai Mantri, Soetardjo mengajukan protes terhadap tata cara konferensi yang menempatkan pamong praja dengan pakaian hitam memakai keris dan duduk silo di atas tikar, sedangkan pegawai Belanda duduk di atas kursi. Pada konferensi bulan berikutnya, semua pamong praja dibolehkan memakai sikepan putih dan duduk di atas kursi.
Pada 1913, Soetardjo mendapatkan kenaikan pangkat sebagai Assisten Wedono onderdistrik Bogorejo di daerah Blora. Saat menjabat sebagai Assistent Wedono Bogorejo, Soetardjo menggagas dan memelopori berdirinya koperasi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa yang terpuruk karena praktik tengkulak.
Karena kerja kerasnya karirnya pun semakin meningkat dan saat terbentuknya PPBB, is ditunjuk sebagai wakil ketua dan dicalonkan kemudian terpilih menjadi anggota Volksraad. Selama menjadi anggota Volksraad, Soetardjo berhubungan erat dengan para mahasiswa Bestuuracademi.
Soetardjo melontarkan gagasan-gagasannya tentang perlunya mengubah hubungan dan tata kerja pamong praja yang feodal menjadi lebih modern. Selain itu juga didirikan Soetardjo Bank melalui kongres PPBB.
Soetardjo juga memperjuangkan dikeluarkannya pamong praja dari Peraturan Gaji Regional (Regionale Bezoldingingsregeling) yang merugikan dan dimasukkan ke dalam Peraturan Gaji Pegawai (Bezoldingings-regeling Burgerlijke Landsdienaren) sehingga lebih pantas.
Selama menjadi anggota Volksraad, selain petisi Soetardjo yang telah dikemukakan di awal bagian tulisan ini, Soetardjo juga mengajukan banyak mosi yang bersifat strategis demi kemajuan rakyat. Mosi tersebut diantaranya adalah:
1. Mosi kepada pemerintah Belanda untuk memberikan
sumbangan 25 juta Gulden untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat desa. Mosi
ini diterima, dan diantaranya digunakan untuk pembangunan waduk di Cipanas
sebesar 2 juta Gulden.
2. Mosi untuk memajukan ekonomi rakyat dengan
membentuk welvaartsfonds dan welvaartscommissie dengan tugas merancang
upaya memberantas kemiskinan.
3. Mosi berupa tuntutan mengubah sebutan inlander
dalam semua undang-undang menjadi Indonesia
4. Mosi membuat peraturan milisi bagi penduduk
Indonesia dan memberi kesempatan yang lebih besar kepada bangsa Indonesia untuk
menjadi anggota militer.
5. Mosi berupa permohonan untuk memperbanyak
sekolah Inlandsche Mulo, mengadakan sekolah kejuruan menengah (middelbare
vakschool), menyelenggarakan wajib belajar setempat (locale leerplicht)
mengingat terbatasnya biasa untuk melaksanakan wajib belajar nasional
(leerplicht).
Selain itu, Soetardjo juga
berperan aktif dalam pembuatan kebijakan-kebijakan, diantaranya adalah
pembuatan DesaOrdonnantie 1941, serta pembentukan Comite voor onderwijsbelangen,
pembentukan Hof van Islamitische Zaken, serta petisi yang dikenal dengan Petisi
Soetardjo.Setelah penjajahan Belanda berakhir dan digantikan oleh pemerintahan Jepang dengan kemampuan dan pengalaman pemerintahan yang dimiliki, Soetardjo diangkat sebagai pemimpin Departemen Dalam Negeri (Sanyoo Naimubu).
Pada 17 Agustus 1945, Soetardjo menghadiri upacara pembacaan proklamasi. Proklamasi tersebut kemudian diberitahukan kepada pemerintah militer Jepang. Untuk melakukan hal tersebut Soetardjo ditunjuk sebagai utusan dengan didampingi oleh Mr. Kasman Singodimedjo.
Pada rapat PPKI 18 Agustus 1945, selain disahkan UUD 1945, juga dibentuk provinsi dan kementerian kabinet. Soetardjo dipilih sebagai Gubernur Jawa Barat yang pertama. Menurut UU No. 1 Tahun 1945, daerah Jawa Barat saat itu menjadi daerah otonom provinsi.
Sekalipun ia adalah Gubernur Jawa Barat, namun ia tidak berkantor di Bandung, melainkan di Jakarta. Sutardjo merupakan tokoh nasional yaitu anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Ia penggagas Petisi Sutarjo. Petisi ini diajukan pada 15 Juli 1936, kepada Ratu Wilhelmina serta Staten Generaal (parlemen) Belanda. Petisi ini diajukan karena ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan politik Gubernur Jenderal De Jonge. Selain itu ia pernah menjabat juga sebagai Ketua DPA.
Riset dan analisa oleh Somya Samita
PENDIDIKAN
- Sekolah Jawa di Ngawi (1899)
- Sekolah Belanda di Blora (1900)
- Sekolah Menengah Pamong Praja (Opleiding School Voor Inlandse Ambtenaaren atau OSVIA) di Magelang
KARIR
- Ketua Cabang Boedi Oetomo
- Mantri Kabupaten
- Assistant-Wedono
- Pembantu Jaksa Kepala (Adjunct Hoofdjaksa) di Rembang
- Wakil Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Oud Osvianen Bond (OOB)
- Wakil Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumiputra (PPBB)
- Anggota Volksraad mewakili Jawa Timur
- Gubernur Jawa Barat pertama
- Wakil Ketua Dewan Kurator Universitas Gadjah Mada (1948-1967)
- Dosen luar biasa Universitas Padjadjaran (1956-1959)
- Dosen luar biasa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung (1964-1967)
- Ketua Palang Merah Indonesia kedua (1946-1948)
- Ketua Dewan Presidium Persatuan Pensiun Republik Indonesia (1961-1965)
- Wakil Ketua Pimpinan Pusat Partai Persatuan Indonesia Raya (1950-1956).
Mas Sutardjo
Kertohadikusumo (lahir di
Blora, Jawa Tengah, 22 Oktober 1892 – meninggal di Jakarta, 20 Desember 1976 pada umur 84 tahun) adalah gubernur
pertama Jawa Barat. Menurut UU No. 1 Tahun 1945, daerah Jawa
Barat saat itu menjadi daerah otonom provinsi. Sekalipun ia adalah Gubernur Jawa Barat, namun ia tidak
berkantor di Bandung, melainkan di Jakarta. Sutardjo merupakan tokoh nasional yaitu anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Ia penggagas Petisi Sutarjo. Petisi ini diajukan pada 15 Juli 1936, kepada Ratu Wilhelmina serta Staten Generaal (parlemen) Belanda. Petisi ini diajukan karena ketidakpuasan rakyat
terhadap kebijakan politik Gubernur Jenderal De Jonge. Selain itu ia pernah menjabat juga sebagai Ketua DPA.
Petisi
Soetardjo adalah sebutan
untuk petisi yang diajukan oleh Soetardjo Kartohadikoesoemo, pada 15 Juli 1936, kepada Ratu Wilhelmina serta Staten Generaal
(parlemen) di negeri Belanda.
Petisi ini
diajukan karena makin meningkatnya perasaan tidak puas di kalangan rakyat
terhadap pemerintahan akibat kebijaksanaan politik yang dijalankan Gubernur
Jenderal de Jonge. Petisi ini
ditandatangani juga oleh I.J. Kasimo, G.S.S.J. Ratulangi, Datuk Tumenggung, dan Ko Kwat Tiong.
Isi
Isi petisi
adalah permohonan supaya diselenggarakan suatu musyawarah antara wakil-wakil
Indonesia dan negeri Belanda dengan kedudukan dan hak yang sama. Tujuannya
adalah untuk menyusun suatu rencana pemberian kepada Indonesia suatu pemerintahan yang berdiri
sendiri (otonom) dalam batas Undang-undang Dasar Kerajaan
Belanda.
Pelaksanaannya akan berangsur-angsur dijalankan dalam waktu sepuluh tahun atau
dalam waktu yang akan ditetapkan oleh sidang permusyawarahan.
Reaksi
Usul yang
dianggap menyimpang dari cita-cita kalangan pergerakan nasional ini mendapat
reaksi, baik dari pihak Indonesia maupun pihak Belanda.
Pers Belanda,
seperti Preanger Bode, Java Bode, Bataviaasch Nieuwsblad,
menuduh usul petisi sebagai suatu: "permainan yang berbahaya", revolusioner, belum
waktunya dan tidak sesuai dengan keadaan.
Golongan
reaksioner Belanda, seperti Vaderlandsche Club berpendapat Indonesia
belum matang untuk berdiri sendiri. Tetapi ada juga orang-orang Belanda dari
kalangan pemerintah yang menyetujui petisi, dengan mengirim surat kepada
Soetardjo. Pihak pemerintah Hindia Belanda sendiri
menyatakan bahwa pemerintah memang mempunyai maksud untuk selalu meningkatkan
peranan rakyat dalam mengendalikan pemerintahan sampai rakyat Indonesia sanggup
untuk mengurus segala sesuatunya. Dari pihak Indonesia baik di dalam maupun di
luar Volksraad reaksi
terhadap usul petisi juga bermacam-macam.
Beberapa
anggota Volksraad berpendapat bahwa usul petisi kurang jelas, kurang lengkap
dan tidak mempunyai kekuatan. Pers Indonesia seperti surat kabar Pemandangan,
Tjahaja Timoer, Pelita Andalas, Pewarta Deli, Majalah Soeara
Katholiek menyokong usul petisi. Oleh karena itu usul petisi dengari cepat
tersebar luas di kalangan rakyat dan sebelum sidang Volksraad membicarakan
secara khusus, kebanyakan pers Indonesia menyokong usul ini.
Menurut harian Pemandangan
saat usul ini dimajukan sangat terlambat, yaitu saat akan digantikannya
Gubernur Jenderal De Jonge oleh Gubernur Jenderal Tjarda.
Sidang
Kemudian
diputuskan untuk membicarakan usul petisi tersebut dalam sidang khusus tanggal 17 September 1936.
Pada tanggal 29 September 1936 selesai
sidang perdebatan, diadakanlah pemungutan suara dimana petisi disetujui oleh
Volksraad dengan perbandingan suara 26 suara setuju lawan 20 suara menolak.
Dan pada
tanggal 1 Oktober 1936 petisi
yang telah menjadi petisi Volksraad itu dikirim kepada Ratu, Staten-Generaal,
dan Menteri Koloni di negeri Belanda.
Usulan baru
Sementara
menunggu keputusan diterima atau tidak usul petisi tersebut maka untuk
memperkuat dan memperjelas maksud petisi, pada persidangan Volksraad Juli 1937 Soetardjo kembali mengajukan usul
rencana Indonesia menuju "Indonesia berdiri sendiri".
Rencana
tersebut dibagi dalam dua tahap, masing-masing untuk lima tahun. Atas usul
tersebut wakil pemerintah Hindia Belanda dalam sidang Volksraad menjawab bahwa
pemerintah juga mempunyai perhatian ke arah perbaikan pemerintahan Indonesia,
tetapi karena usul itu amat luas sekali maka penyelesaiannya berada di tangan
pemerintah di negeri Belanda dan Staten General.
Petisi ini
kembali banyak menimbulkan tanggapan dari organisasi-organisasi gerakan rakyat
seperti: Perhimpunan Indonesia (PI), Roekoen Peladjar Indonesia (Roepi), Gerakan Rakjat Indonesia (GERINDO), Perkumpulan
Katholik di Indonesia (PPKI), Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), PNI, dan sebagainya.
Petisi ditolak
Pada
persidangan Volksraad bulan Juli 1938, Gubernur Jenderal Tjarda secara samar-samar telah membayangkan
bahwa petisi akan ditolak. Laporan Gubernur Jenderal kepada menteri jajahan
(berdasarkan laporan-laporan antara lain dari Raad van Nederland-Indie, Adviseur
voor Inlahdse Zaken, Directeur van Onderwijs en Eredienst), telah
menyarankan supaya petisi ditolak dengan alasan isi kurang jelas.
Juga mengingat
ketidakpastian akan kejadian-kejadian di masa yang akan datang ini, maka tidak
dapatlah disetujui keinginan untuk mengadakan konfrensi untuk menyusun rencana
bagi masa yang akan datang. Akhirnya ia menyarankan bahwa biar bagaimanapun
petisi harus ditolak sehingga perubahan secara prinsip bagi kadudukan Indonesia
dan mengadakan konfrensi itu tidak perlu diadakan.
Akhirnya dengan
keputusan Kerajaan Belanda No. 40 tanggal 14 November 1938, petisi yang diajukan atas nama
Volksraad ditolak oleh Ratu Wilhelmina. Alasan penolakannya antara lain
ialah: "Bahwa bangsa Indonesia belum matang untuk memikul tanggung jawab
memerintah diri sendiri".
Rabu, 09 Desember 2015
Langganan:
Postingan (Atom)