PEMBRONTAKAN REPUBLIK MALUKU SELATAN (1)
Pemberontakan Republik Maluku Selatan
(RMS) yang dipimpin oleh Mr. Dr. Christian Robert Steven Soumokil
(mantan jaksa agung NIT) merupakan sebuah gerakan sparatisme yang bertujuan bukan
hanya ingin memisahkan diri dari NIT melainkan untuk membentuk Negara sendiri
terpisah dari RIS. Soumokil awalnya sudah terlibat dalam pemberontakan Andi
Aziz akan tetapi dia dapat melarikan diri ke Maluku. Soumokil juga dapat
memindahkan pasukan KNIL dan pasukan Baret Hijau dari Makasar ke Ambon.
Pemberontakan Westerling, Andi Aziz,
Soumokil memiliki kesamaan yaitu ketidakpuasan mereka terhadap proses
kembalinya RIS ke Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI). Pemberontakan yang
ada menggunakan unsur KNIL yang merasa bahwa status mereka tidak pasti setelah
KMB.
Keberhasilan APRIS mengatasi keadaan
membuat para pemuda semakin bersemangat untuk kembali ke NKRI. Akan tetapi
terjadi banyak terror dan intimidasi kepada para pemuda terlebih setelah teror
dibantu oleh anggota polisi yang telah dibantu KNIL bagian dari Korp
Speciale Troepen yang dibentuk oleh Kapten Raymond Westerling di Batujajar
dekat Bandung. Teror tersebut bahkan menyebabkan terjadinya pembunuhan. Benih
sparatisme muncul dari para birokrat pemerintah daerah yang memprovokasi
seperti dengan penggabungan wilayah Ambon ke NKRI mengandung bahaya sehingga
seluruh rakyat Ambon diingatkan akan bahaya tersebut.
Pada 20 April 1950, diajukan mosi tidak
percaya dalam parlemen NIT sehingga kabinet NIT meletakkan jabatannya dan
akhirnya NIT dibubarkan dan bergabung ke dalam wilayah NKRI. Kegagalan pemberontakan
Andi Aziz, menyebabkan berakhirlah pula Negara Indonesia Timur. Tetapi Soumokil
tidak pantang menyerah untuk melepaskan Maluku Tengah dari wilayah NKRI. Bahkan
dalam rapat di Ambon dengan pemuka KNIL dan Ir. Manusama, ia mengusulkan agar
daerah Maluku Selatan dijadikan sebagai daerah merdeka. Jika perlu seluruh
anggota Dewan Maluku Selatan dibunuh. Usul tersebut ditolak, karena anggota
mengusulkan agar yang melakukan proklamasi kemerdekaan Maluku Selatan adalah
Kepala Daerah Maluku Selatan, yaitu J. Manuhutu.
Sebelum diproklamasikannya “RMS”
terlebih dahulu telah dilakukan propaganda pemisahan diri dari NKRI yang
dilakukan oleh gubernur Sembilan Serangkai yang beranggotakan KNIL dan Partai
Timur Besar. Sementara menjelang proklamasi RMS, Soumokil telah berhasil
menghimpun kekuatan di lingkungan Maluku Tengah. Sementara itu, orang-orang
yang menyatakan dukungannya terhadap NKRI diancam dan dipenjarakan. Akhirnya
pada tanggal 25 April 1950 di Ambon diproklamasikan Republik Maluku Selatan
(RMS) oleh Mr. Dr. Ch. R.S. Soumokil.
Pemerintah berusaha mengatasi masalah
ini secara damai yaitu dengan mengirimkan misi damai yang dipimpin oleh tokoh
asli Maluku, yaitu dr. Leimena. Namun misi ini ditolak oleh Soumokil. Misi
damai yang dikirim selanjutnya terdiri dari para politikus, pendeta, dokter,
wartawan pun tidak dapat bertemu dengan pengikut Soumokil.
Karena upaya damai mengalami jalan
buntu maka pemerintah melakukan operasi militer untuk menumpas gerakan RMS
yaitu Gerakan Operasi Militer (GOM)III yang dipimpin oleh Kolonel A.E.
Kawilarang, Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur. Operasi
berlangsung dari tanggal 14 Juli 1950, berhasil menguasai pos-pos penting di
Pulau Buru, 19 Juli 1950 pasukan APRIS berhasil menguasai Pulau Seram. Pada
tanggal 28 September 1950 Ambon bagian utara berhasil dikuasai. 3 November 1950
benteng Nieuw Victoria berhasil dikuasai. Dengan jatuhnya Ambon maka
perlawanan RMS dapat dipatahkan dan sisa-sisa kekuatan RMS banyak yang
melarikan diri ke Pulau Seram dan dalam beberapa tahun membuat serangkaian
kekacauan.
PEMBRONTAKAN REPUBLIK MALUKU SELATAN (2)
Peristiwa Pemberontakan Republik Maluku
Selatan (RMS), Latar Belakang, Penyebab, Tujuan, Upaya
Penumpasan, Dampak - Pada tanggal 25 April 1950, Republik Maluku Selatan (RMS)
diproklamasikan oleh sekelompok orang mantan prajurit KNIL dan masyarakat
Pro-Belanda yang di antaranya ialah Dr. Christian Robert Steven Soumokil,
mantan jaksa agung Negara Indonesia Timur. Pemberontakan RMS ini merupakan
suatu gerakan yang tidak hanya ingin memisahkan diri dari Negara Indonesia
Timur melainkan untuk membentuk Negara sendiri yang terpisah dari wilayah RIS.
Pada awalnya, Soumokil, salah seorang mantan jaksa agung NIT ini, juga pernah
terlibat dalam pemberontakan Andi Azis. Akan tetapi, setelah upayanya untuk
melarikan diri, akhirnya dia berhasil meloloskan diri dan pergi ke Maluku.
Selain itu, Soumokil juga dapat memindahkan anggota KNIL dan pasukan Baret Hijau
dari Makasar ke Ambon.
1. Penyebab / Latar Belakang Pemberontakan RMS
Pemberontakan Andi Azis, Westerling, dan Soumokil
memiliki kesamaan tujuan yaitu, mereka tidak puas terhadap proses kembalinya
RIS ke Negara Kesatuan Republik Indoneisa (NKRI). Pemberontakan yang mereka
lakukan mengunakan unsur KNIL yang merasa bahwa status mereka tidak jelas dan
tidak pasti setelah KMB. Keberhasilan anggota APRIS mengatasi keadaan yang
membuat masyarakat semakin bersemangat untuk kembali ke pangkuan NKRI. Namun,
dalam usaha untuk mempersatukan kembali masyarakat ke Negara Kesatuan Republik
Indonesia terjadi beberapa hambatan yang diantaranya terror dan intimidasi yang
di tujukan kepada masyarakat, terlebih setelah teror yang dibantu oleh anggota
Polisi yang telah dibantu dengan pasukan KNIL bagian dari Korp Speciale Troepen
yang dibentuk oleh seorang kapten bernama Raymond Westerling yang bertempat di
Batujajar yang berada di daerah Bandung. Aksi teror yang dilakukannya tersebut
bahkan sampai memakan korban jiwa karena dalam aksi terror tersebut terjadi
pembunuhan dan penganiayaan. Benih Separatisme-pun akhirnya muncul. Para
biokrat pemerintah daerah memprovokasi masayarakat Ambon bahwa penggabungan
wilayah Ambon ke NKRI akan menimbulkan bahaya di kemudian hari sehingga seluruh
masyarakat diingatkan untuk menghindari dan waspada dari ancaman bahaya
tersebut.
Pada tanggal 20
April tahun 1950, diajukannya mosi tidak percaya terhadap parlemen NIT sehingga
mendorong kabinet NIT untuk meletakan jabatannya dan akhirnya kabinet NIT
dibubarkan dan bergabung ke dalam wilayah NKRI. Kegagalan pemberontakan yang di
lakukan oleh Andi Abdoel Azis (Andi Azis) menyebabkan berakhirnya Negara
Indonesia Timur. Akan tetapi Soumokil bersama para anggotanya tidak akan
menyerah untuk melepaskan Maluku Tengah dari wilayah Negara Kesatuan Republik
Indoneisa. Bahkan dalam perundingan yang berlangsung di Ambon dengan pemuka
KNIL beserta Ir. Manusaman, ia mengusulkan supaya daerah Maluku Selatan
dijadikan sebagai daerah yang merdeka, dan bila perlu seluruh anggota dewan
yang berada di daerah Maluku Selatan dibunuh. Namun, usul tersebut ditolak
karena anggota dewan justru mengusulkan supaya yang melakukan proklamasi
kemerdekaan di Maluku Selatan tersebut adalah Kepala Daerah Maluku Selatan,
yaitu J. Manuhutu. Akhirnya, J. Manuhutu terpaksa hadir pada rapat kedua di
bawah ancaman senjata.
2. Tujuan Pemberontakan RMS di Maluku
2. Tujuan Pemberontakan RMS di Maluku
Pemberontakan RMS yang didalangi oleh mantan jaksa agung
NIT, Soumokil bertujuan untuk melepaskan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sebelum diproklamasikannya Republik Maluku Selatan (RMS),
Gubernur Sembilan Serangkai yang beranggotakan pasukan KNIL dan partai Timur
Besar terlebih dahulu melakukan propaganda terhadap Negara Kesatuan Republik
Indonesia untuk memisahkan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan RI. Di sisi
lain, dalam menjelang proklamasi RMS, Soumokil telah berhasil mengumpulkan
kekuatan dari masyarakat yang berada di daerah Maluku Tengah. Sementara itu, sekelompok
orang yang menyatakan dukungannya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia
diancam dan dimasukkan ke penjara karena dukungannya terhadap NKRI dipandang
buruk oleh Soumokil. Dan pada tanggal 25 April 1950, para anggota RMS
memproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS), dengan J.H Manuhutu
sebagai Presiden dan Albert Wairisal sebagai Perdana Menteri. Para menterinya
terdiri atas Mr.Dr.C.R.S Soumokil, D.j. Gasperz, J. Toule, S.J.H Norimarna, J.B
Pattiradjawane, P.W Lokollo, H.F Pieter, A. Nanlohy, Dr.Th. Pattiradjawane,
Ir.J.A. Manusama, dan Z. Pesuwarissa.
Pada tanggal 27 April 1950 Dr.J.P. Nikijuluw ditunjuk
sebagai Wakil Presiden RMS untuk daerah luar negeri dan berkedudukan di Den
Haang, Belanda, dan pada 3 Mei 1950, Soumokil menggantikan Munuhutu sebagai
Presiden Rakyat Maluku Selatan. Pada tanggal 9 Mei, dibentuk sebuah Angkatan
Perang RMS (APRMS) dan Sersan Mayor KNIL, D.J Samson diangkat sebagai panglima
tertinggi di angkatan perang tersebut. Untuk kepala staf-nya, Soumokil mengangkat
sersan mayor Pattiwale, dan anggota staf lainnya terdiri dari Sersan Mayor
Kastanja, Sersan Mayor Aipassa, dan Sersan Mayor Pieter. Untuk sistem
kepangkatannya mengikuti system dari KNIL.
3. Upaya Penumpasan Pemberontakan RMS di Maluku
Dalam upaya penumpasan, pemerintah berusaha untuk
mengatasi masalah ini dengan cara berdamai. Cara yang dilakukan oleh pemerintah
yaitu, dengan mengirim misi perdamaian yang dipimpin oleh seorang tokoh asli
Maluku, yakni Dr. Leimena. Namun, misi yang diajukan tersebut ditolak oleh
Soumokil. Selanjutnya misi perdamaian yang dikirim oleh pemerintah terdiri atas
para pendeta, politikus, dokter, wartawan pun tidak dapat bertemu langsung
dengan pengikut Soumokil.
Karena upaya perdamaian yang diajukan oleh pemerintah
tidak berhasil, akhirnya pemerintah melakukan operasi militer untuk
membersihkan gerakan RMS dengan mengerahkan pasukan Gerakan Operasi Militer
(GOM) III yang dipimpin oleh seorang kolonel bernama A.E Kawilarang, yang
menjabat sebagai Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur. Setelah
pemerintah membentuk sebuah operasi militer, penumpasan pemberontakan RMS pun
akhirnya dilakukan pada tanggal 14 Juli 1950, dan pada tanggal 15 Juli 1950,
pemerintahan RMS mengumumkan bahwa Negara Republik Maluku Selatan sedang dalam
bahaya. Pada tanggal 28 September, pasukan militer yang diutus untuk menumpas
pemberontakan menyerbu ke daerah Ambon, dan pada tanggal 3 November 1950,
seluruh wilayah Ambon dapat dikuasai termasuk benteng Nieuw Victoria yang
akhirnya juga berhasil dikuasai oleh pasukan militer tersebut.
Dengan jatuhnya pasukan RMS yang berada di daerah Ambon,
maka hal ini membuat perlawanan yang dilakukan oleh pasukan RMS dapat
ditaklukan. Pada tanggal 4 sampai 5 Desember, melalui selat Haruku dan Saparua,
pusat pemerintahan RMS beserta Angkatan Perang RMS berpindah ke Pulau Seram.
Pada tahun 1952, J.H Munhutu yang tadinya menjabat sebagai presiden RMS
tertangkap di pulau Seram, Sementara itu sebagian pimpinan RMS lainnya
melarikan diri ke Negara Belanda. Setelah itu, RMS kemudian mendirikan sebuah
organisasi di Belanda dengan pemerintahan di pengasingan (Government In Exile).
Beberapa tokoh dari pimpinan sipil dan militer RMS yang
tertangkap akhirnya dimajukan ke meja hijau. Pada tanggal 8 Juni 1955, hakim
menjatuhi sanksi hukuman tehadap :
- J.H Munhutu, Presiden RMS di Hukum selama 4 Tahun
- Albert Wairisal, menjabat sebagai Perdana Menteri Dalam Negeri di jatuhi hukuman 5 Tahun
- D.J Gasper, menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri di jatuhi hukuman 4 ½ Tahun
- J.B Pattirajawane, menjabat sebagai Menteri Keuangan di jatuhi hukuman selama 4 ½ Tahun
- G.G.H Apituley, menjabat sebagai Menteri Keuangan di jatuhi hukuman selama 5 ½ Tahun
- Ibrahim Oharilla, menjabat sebagai Menteri Pangan di jatuhi hukuman selama 4 ½ Tahun
- J.S.H Norimarna, menjabat sebagai Menteri Kemakmuran di jatuhi hukuman selama 5 ½ Tahun
- D.Z Pessuwariza, menjabat sebagai Menteri Penerangan di jatuhi hukuman selama 5 ½ Tahun
- Dr. T.A Pattirajawane, menjabat sebagai Menteri Kesehatan di jatuhi hukuman selama 3 Tahun
- F.H Pieters, menjabat sebagai Menteri Perhubungan di jatuhi hukuman selama 4 Tahun
- T. Nussy, menjabat sebagai Kepala Staf Tentara RMS di jatuhi hukuman selama 7 tahun
- D.J Samson, menjabat sebagai Panglima Tertinggi Tentara RMS di jatuhi hukuman selama 10 Tahun
Sementara itu, Dr. Soumokil, pada masa itu ia masih
bertahan di hutan-hutan yang berada di pulau Seram sampai akhirnya ditangkap
pada tanggal 2 Desember 1963. Pada Tahun 1964, Soumokil dimajukan ke meja
hijau. Selama persidangan Soumokil berlangsung, meskipun ia bisa berbahasa
Indonesia, namun pada saat itu ia selalu memakai Bahasa Belanda, sehingga pada
saat persidangan di mulai, hakim mengutus seorang penerjemah untuk membantu
persidangan Soumokil. Akhirnya pada tanggal 24 April 1964, Soumokil akhirnya
dijatuhi hukuman mati. Eksekusi pun dilaksanakan pada tanggal 12 April 1966 dan
berlangsung di Pulau Obi yang berada di wilayah kepulauan Seribu di sebelah
Utara Kota Jakarta.
Sepeninggal Soumokil, sejak saat itu RMS berdiri di pengasingan di Negeri Belanda. Pengganti Soumokil adalah Johan Manusama. Ia menjadi presiden RMS pada tahun 1966-1992, selanjutnya digantikan oleh Frans Tutuhatunewa sampai tahun 2010 dan kemudian digantikan oleh John Wattilete.
4. Dampak dari Pemberontakan RMS di Maluku
Pada Tahun 1978 anggota RMS menyandera kurang lebih 70
warga sipil yang berada di gedung pemerintahan Belanda di Assen-Wesseran. Teror
tersebut juga dilakukan oleh beberapa kelompok yang berada di bawah pimpinan
RMS, seperti kelompok Bunuh Diri di Maluku Selatan. Dan pada tahun 1975
kelompok ini pernah merampas kereta api dan menyandera 38 penumpang kereta api
tersebut.
Pada tahun
2002, pada saat peringatan proklamasi RMS yang ke-15 dilakukan, diadakan acara
pengibaran bendera RMS di Maluku. Akibat dari kejadian ini, 23 orang ditangkap
oleh aparat kepolisian. Setelah penangkapan aktivis tersebut dilakukan, mereka
tidak menerima penangkapan tersebut karena dianggap tidak sesuai dengan hukum
yang berlaku. Selanjutnya mereka memperadilkan Gubernur Maluku beserta Kepala
Kejaksaan Tinggi Maluku karena melakukan penangkapan dan penahanan
terhadap 15 orang yang diduga sebagai propokator dan pelaksana pengibaran
bendera RMS tersebut. Aksi pengibaran bendera tersebut terus dilakukan, dan
pada tahun 2004, ratusan pendukung RMS mengibarkan bendera RMS di Kudamati.
Akibat dari pengibaran bendera ini, sejumlah aktivis yang berada di bawah
naungan RMS ditangkap dan akibat dari penangkapan tersebut, terjadilah sebuah
konflik antara sejumlah aktivis RMS dengan Kelompok Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI)
Tidak cukup dengan aksi tersebut, Anggota RMS kembali
menunjukkan keberadaannya kepada masyarakat Indonesia. Kali ini mereka tidak
segan-segan untuk meminta pengadilan negeri Den Haang untuk menuntut Presiden
SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dan menangkapnya atas kasus Hak Asasi Manusia
(HAM) yang dilakukan terhadap 93 aktivis RMS. Peristiwa paling parah terjadi
pada tahun 2007, dimana pada saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sedang
menghadiri hari Keluarga Nasional yang berlangsung di Ambon, Maluku. Ironisnya,
pada saat penari Cakalele masuk ke dalam lapangan, mereka tidak
tanggung-tanggung untuk mengibarkan bendera RMS di hadapan presiden SBY.
A.
Latar
Belakang
Bermula ketika Urbanus Pupella, pimpinan PIM mengeluarkan pernyataan tidak
ingin masuk dalam federasi, tetapi mau bergabung dengan Republik Indonesia.
Adanya hal teresebut Mr. Christiaan Soumokil, Jaksa Agung RIS yang
anti-RI melakukan provokasi kepada pasukan-pasukan khusus baret
merah dan hijau asal Ambon ini. Kegiatan provokasi yang dilakukan
oleh Soumokil karena dibiarkan oleh Kolonel Schotborgh, Komandan tentara
Belanda di Makassar. Schotborgh juga menjadi penyebab terjadinya kerusuhan di
Makassar karena membiarkan Soumokil menghasut Kapten Andi Azis melakukan
aksi pemberontakan di Makassar.Ambon menjadi tegang dengan kembalinya
pasukan-pasukan khusus asal Ambon yang sebagaian besar terkena disersi, giat
melakukan konfrontasi dengan barisan PIM dari Pupella yang saling berlawanan.
Konflik di Ambon pun tidak terhindar pada 19 Februari 1950 terjadi perkelahian
antara anggota-anggota PIM yang pro-Republik dengan anti-Republik yang di
dukung oleh pasukan-pasukan khusus ini. Pada 12 Maret 1950, anggota PIM,
di datangi 10 orang anggota polisi yang langsung mengeroyok dan menyiksanya.
Begitu pula pada 17 Maret, anggota PIM didatangi anggota-anggota polisi yang
menyiksanya hingga pingsan. di desa Wakasihu, pimpinan PIM setempat, Ohorella,
dan ibunya juga harus mengalami siksaan tidak manusiawi.
Selain itu, latar belakang penyebab munculnya RMS adalah ketidakpuasan
tokoh pendiri RMS dalam hal ini adalah Mr. Dr. Ch. R. Soumokil, dengan proses
kembali ke negara kesatuan setelah KMB. Gerakan ini menggunakan unsur KNIL yang
merasa tidak pasti terhadap kejelasan status mereka setelah KMB. Karena
ditentukan bahwa dalam waktu enam bulan setelah pengakuan kedaulatan itu,
tentara Belanda harus ditarik dari Indonesia dan KNIL dibubarkan atau
disalurkan ke TNI.
B.
Tujuan
·
Melepaskan
diri dari RIS (Republik Indonesia Serikat)
·
Mendirikan
negara sendiri dengan nama RMS (Republik Maluku Selatan)
C.
Pembentukan
Tanggal 24 April 1950, mantan jaksa Agung Negara Indonesia Timur (NIT), Dr
C.R.S. Soumokil bersama rekan-rekannya memproklamasikan berdirinya Republik
Maluku Selatan (RMS), terpisah dari Republik Indonesia dan menetapkan Kota
Ambon sebagai pusat pemerintah mereka.
D.
Pimpinan
Pemimpin pertama RMS dalam pengasingan di Belanda adalah Prof. Johan
Manusama dan kini Frans Tutuhatunewa. Dr. Soumokil mengasingkan diri ke
Pulau Seram. Ia di tangkap di Seram pada 2 desember 1962, dia
dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan milter, dan di laksanakan di kepulauan
Seribu, Jakarta pada 12 april 1966.
E.
Dukungan
Pasukan KNIL (Koninklijke Nederlands Indische Leger), terutama bekas
pasukan khusus KST (KorpsSpeciale Troepen) yang secara tegas
menyatakan menolak untuk bergabung dalam Angkatan Perang Republik Indonesia
Serikat (APRIS) sekaligus menolak perintah untuk melalukan demobilisasi
F.
Alasan
Pembenaran Proklamasi RMS
·
Masalah
hubungan daerah dengan RIS, yaitu bahwa “RIS sudah bertindak bertentangan
dengan keputusan-keputusan KMB dan Undang-Undang Dasarnya sendiri”.
·
Hubungan
daerah itu dengan Negara Indonesia Timur, yaitu bahwa “NIT sudah tidak sanggup
mempertahankan kedudukannya sebagai negara bagian selaras dengan
peraturan-peraturan Moektamar Denpasar (pertemuan tentang terbentuknya NIT)
yang masih sah berlaku”.
·
Menurut
mereka, Dewan Maluku Selatan membenarkan tindakan separatis itu.
G.
Struktur
Gerakan
1.
Pemerintahan
RMS di Belanda
Pemerintah darurat RMS terdiri atas kepala negara dan menteri-menteri.
J.Wattilete sebagai Presiden Republik Maluku Selatan (RMS). Kepala negara
mengetuai dewan kementerian. Pada saat ini menteri-menteri yang telah diangkat:
Trientje Magdalena Solisa sebagai menteri Penerangan dan Pembentukan, Drs.
Willem Victor Sopacua sebagai wakil kepala negara & menteri Maluku, dan
Nationbuilding Ir. Edy Rahantoknam sebagai menteri Perkembangan dan Kerjasama
2.
Pemerintah
RMS di Maluku
Dr. Alex Manuputty sebagai Pemimpin dan Koordinator, Simon Saiya sebagai
penyelenggara eksekutif pimpinan pemerintahan RMS di Maluku, Frans Sanmiasa
sebagai Menteri Dalam Negeri merangkap wakil penyelenggara pemerintahan, Markus
Anakotta sebagai sekretaris, dan dilengkapi dengan tiga orang pengendali
lapangan, serta lima orang pelaksana lapangan
H.
Usaha
Pemerintah
Pemerintah Indonesia pada waktu itu (1950) menghadapi pemberontakan
RMS dengan tiga opsi:
·
Opsi
pertama, penyelesaian secara damai dengan pembicaraan-pembicaraan.
Dimulai pada 27 April 1950 dengan mengirim Dr J. Leimena (menteri kesehatan
waktu itu), Ir Putuhena, Pellaupessy dan Dr Rehatta. Rombongan berangkat ke
Ambon dengan korvet Hang Tuah. Merapat pada 1 Mei 1950, sebuah higginboot
mendatangi Hang Tuah dengan Syahbandar Ambon sebagai pengantar surat yang
berisi penolakan. Rombongan akan memberi surat balasan, tetapi higginboot itu
telah diperintahkan untuk segera kembali, tak boleh menunggu. Leimena
menyatakan, “Kami sesalkan bahwa mereka tidak mau menerima dan
berbicara dengan kami yang datang melulu untuk merundingkan hingga soal Maluku dapat diselesaikan dengan baik untuk kepentingan dan keselamatan seluruh nusa dan bangsa. Saya persoonlijk merasa ini sangat menyedihkan” (Jusuf A Puar, 1956).
berbicara dengan kami yang datang melulu untuk merundingkan hingga soal Maluku dapat diselesaikan dengan baik untuk kepentingan dan keselamatan seluruh nusa dan bangsa. Saya persoonlijk merasa ini sangat menyedihkan” (Jusuf A Puar, 1956).
·
Opsi
kedua bila opsi pertama tidak berhasil, dilakukan blokade laut untuk memaksa
mereka bersedia berunding.
Dengan cara membolkade laut, dilakukan pada 18 Mei sampai 14 Juli 1950.
Semua perairan Maluku diawasi dan kapal-kapal pemberontak dihancurkan. Pada 14
Juli diadakan pendaratan di Pulau Buru dan kemudian di pula-pulau lainseperti
Seram, Tanimbar, Kei, dan Aru. Opsi kedua ini pun tidak bisa
memaksa Soumokil bersedia berunding.
·
Bila
opsi pertama dan kedua tidak berhasil, akan dilakukan opsi ketiga yaitu operasi
militer, seperti pendaratan dan lain-lain.
Operasi militer, dilakukan di bawah kepemimpinan Kolonel Kawilarang,
panglima Indonesia Timur saat itu. Operasi militer menumpas pemberontakan RMS
yang terkenal dengan Gerakan Operasi Militer IV atau GOM IV. Komandan pasukan
(brigade) adalah Letkol Slamet Riyadi. Rencananya: pasukan pertama didaratkan
di Hitu, kemudian pasukan kedua di Tulehu, lalu pasukan ketiga di Ambon (RZ
Leirissa, 1978). Mengingat persenjataan, sistem transportasi dan sarana
komunikasi yang belum secanggih sekarang ini, operasi berlangsung lama. Operasi
itu baru bisa mulai dilakukan September, dan baru Oktober APRI menguasai
jazirah Hitu. Akhirnya pada 4 November 1950 benteng Nieuw Victoria dapat
direbut APRI. Sisa-sisa angkatan perang RMS lari ke gunung dan banyak yang
melarikan diri ke pulau-pulau sekitar pulau Ambon. Pimpinan angkatan perang RMS
tertangkap
atau menyerah pada 1952. Soumokil sendiri baru tertangkap pada 1962.
atau menyerah pada 1952. Soumokil sendiri baru tertangkap pada 1962.
I.
Reaksi
terhadap Usaha Pemerintah
Karena adanya penangkapan yang dilakukan oleh pemerintah RI,maka para
pemimpin teras RMS tersebut berinisiatif untuk menghindar sementara ke Belanda.
Kepindahan pimpinan RMS ini mendapatkan bantuan sepenuhnya dari pemerintah
Belanda pada saat itu, dengan adanya kesediaan bantuan dari Pemerintah Belanda
untuk mengangkut sebagian besar rakyat Maluku dengan biaya sepenuhnya dari
Pemerintah Belanda, maka sebagian besar rakyat di Maluku baik yang beragama
Kristen maupun yang beragama Islam dan yang beragama lain memilih dengan
kehendaknya sendiri untuk pindah ke Belanda. Pada waktu itu ada lebih
dari 15.000 rakyat Maluku yang memilih pindah ke Belanda.
Pindahnya sebagian rakyat Maluku ini, oleh Soekarno-Hatta, diisukan sebagai
’PENGUNGSIAN PARA PENDUKUNG RMS’, lalu dengan dalih pemberontakan, pemerintah
RI menangkapi para menteri RMS dan para aktifisnya. Lalu mereka
dipenjarakan dan diadili oleh pengadilan menteri RI, dengan hukuman berat dan
bahkan dieksekusi mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar