UNTUK MEMPERMUDAH TUGAS ( ANALISIS NOVEL : KALI BEKASI )
"Kami yang kini terbaring
antara Karawang-Bekasi Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata
lagi Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami Terbayang kami maju dan
berdegap hati?" Itulah kutipan puisi Chairil Anwar yang berjudul Karawang
- Bekasi. Puisi ini menyiratkan sejarah perjuangan panjang Kota Bekasi hingga
mendapat julukan Kota Patriot. Tak banyak orang yang tahu, bagaimana heroiknya
perjuangan rakyat Bekasi dalam mengusir penjajah. Memang, perjuangan mereka tak
sepopuler puisinya Chairil Anwar yang melegenda. Karena itu, tak ada salahnya
bila kita kembali mengenang jejak perjuangan mereka.
Setelah Indonesia merdeka, Belanda
masih bercokol menguasai Jakarta dan mencoba membentuk negara boneka, yakni
Negara Pasundan. Tahun 1950, rakyat Bekasi serentak menuntut keluar dari
distrik Jakarta dan menolak masuk ke Negara Pasundan. Mereka hanya ingin
bergabung dengan Republik Indonesia Serikat. Rakyat Bekasi pun menjadi patriot
di area Kali Cakung, yang merupakan garda terdepan. Nah, jejak perjuangan
rakyat Bekasi ini dapat dilihat lewat enam monumen yang dibangun di Bekasi.
Monumen pertama ada di area Hutan Kota Bina Bangsa. Di tengah rimbun pepohonan
seluas tiga hektar tersebut, berdiri Tugu Perjuangan Rakyat Bekasi. Tugu ini
merupakan simbol kegagahan rakyat kala melawan penjajah. Di sana juga terdapat
puisi Karawang-Bekasi yang disematkan di salah satu sisi tugu. Selain itu, di
monumen ini juga terdapat empat relief. Relief pertama, menggambarkan Bekasi
pada masa penjajahan Belanda, saat para tuan tanah banyak berkuasa. Relief
kedua mengisahkan masa pendudukan Jepang. Sedangkan relief ketiga dan keeempat
bercerita tentang Bekasi setelah kemerdekaan dan pada masa orde
baru. Hutan Kota Bina Bangsa merupakan pusat paru-paru kota. Sahabat
Sporto bisa datang ke sini untuk bertamasya. Letaknya ada di Jalan Jenderal
Ahmad Yani No.1, Kelurahan Kayuringinjaya, Kecamatan Bekasi Barat. Monumen
kedua adanya di kawasan Alun-alun Bekasi. Di sana terdapat Monumen Resolusi
Rakyat Bekasi. Monumen ini dibangun untuk mengenang perlawanan rakyat Bekasi
terhadap Tentara Sekutu dan NICA di tahun 1946. Sedangkan monumen ketiga
terletak di Kelurahan Marga Mulya, Kecamatan Bekasi Utara. Nama Monumennya,
Monumen Kali Bekasi. Letaknya ada di Jalan Insinyur Haji Juanda. Monumen itu
dibuat untuk mengenang perjuangan rakyat Bekasi melawan kependudukan Jepang. Monumen
terakhir adalah Monumen Perjuangan, letaknya di persimpangan Jalan Agus Salim
dengan Jalan Ki Mangun Sarkoro. Dibangun untuk mengenang perjuangan rakyat
Bekasi bertempur melawan Belanda dalam Agresi Militer Belanda II. Perjuangan
rakyat Bekasi kala itu hanya menggunakan bambu runcing. Tak ayal, Bambu Runcing
pun dijadikan simbil pada tugu yang ada di pertigaan Jalan Warung Bongkok, Desa
Suka Danau, Cibitung. (lia joulia)
https://sportourism.id/tourism/menengok-jejak-perjuangan-rakyat-bekasi
INFO BANDUNG - “Kami
yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi, tidak bisa teriak ‘Merdeka’
dan angkat senjata lagi.” Petikan puisi Karawang-Bekasi karya
Chairil Anwar ini menyiratkan sejarah perjuangan panjang Kota Bekasi hingga
mendapat julukan Kota Patriot.
Setelah Indonesia merdeka, Belanda ingin terus
bercokol dengan menguasai Jakarta dan membentuk negara boneka, yakni Negara
Pasundan. Pada 1950, rakyat Bekasi menuntut keluar dari distrik Jakarta dan
menolak masuk ke Negara Pasundan. Mereka ingin bergabung dengan Republik
Indonesia Serikat dan menjadi patriot di area Kali Cakung, yang merupakan garda
terdepan.
Jejak perjuangan rakyat Bekasi kini menjadi salah
satu obyek wisata yang bisa dinikmati wisatawan. Tepatnya berada di area Hutan
Kota Bina Bangsa. Di tengah pepohonan rimbun seluas 3 hektare ini berdiri Tugu
Perjuangan Rakyat Bekasi yang menjadi simbol kegagahan rakyat kala melawan
penjajah. Puisi Karawang-Bekasi pun disematkan di salah satu sisi
tugu.
Hutan Kota Bina Bangsa merupakan pusat paru-paru
kota yang menjadi tempat favorit untuk bertamasya. Tak hanya di situ, tapi
warga juga memiliki alternatif Taman Alun-alun Kota Bekasi yang tak kalah
cantik. Apalagi menjelang perhelatan Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX/2016,
area taman ini terus dipercantik dan dilengkapi berbagai fasilitas, seperti
Wi-Fi, arena permainan anak, dan trek jogging.
Pada September nanti, Stadion Chandrabaga di Kota
Bekasi akan menjadi tuan rumah PON untuk menggelar babak kualifikasi sepak bola
dan cabang olahraga angkat besi. Karena itu, Pemerintah Kota Bekasi sedang
gencar mempersiapkan sarana dan prasarana stadion tersebut.
Bekasi memang terkenal dengan potensi industrinya
yang luar biasa. Namun, di balik deretan sentra perdagangan dan pusat
perbelanjaannya, terdapat kisah sejarah berbalut wisata alam yang akan menjadi
daya tarik Sang Kota Patriot pada ingar-bingar PON XIX/2016.
undefined undefinedundefined
Kiai Haji Noer Alie (lahir di
Bekasi, Jawa Barat
pada tahun 1914; meninggal di Bekasi, Jawa Barat pada tahun 1992) adalah pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari Jawa
Barat dan juga seorang ulama.
Ia adalah putera dari Anwar bin Layu
dan Maimunah binti Tarbin. Ia mendapatkan pendidika agama dari beberapa guru
agama di sekitar Bekasi. Pada tahun 1934, ia menunaikan ibadahMekkah dan selama 6 tahun bermukim disana.Siapa yang tak kenal
puisi Karawang-Bekasi karya Chairil Anwar? Tapi adakah yang tahu mengapa ia
menciptakan puisi yang melegenda itu? Mungkin tak banyak yang menduga jika
Chairil terinpsirasi oleh seorang warga Bekasi asli bernama KH Noer Alie. haji
dan memperdalam ilmu agama di
Hingga kini, nama KH Noer Alie
memang belum dikenal luas di pentas nasional. Bahkan, di kalangan masyarakat
Bekasi pun, masih ada yang belum mengenalnya. Namun, jika ia bisa menginspirasi
seorang Chairil Anwar, pasti ada suatu keistimewaan yang dimilikinya.
Ya, KH Noer Alie memiliki jejak
perjuangan yang tak kelah heroiknya dengan pahlawan nasional lain semisal
Soekarno, Hatta, Agus Salim, Natsir dan lainnya. Tercatat, dari sekian banyak
pertempuran antara KH Noer Alie dan masyarakat Bekasi dengan penjajah, ada dua
perlawanan yang melegenda.
Pertama, Pertempuran Sasak Kapuk.
Pertempuran sengit itu meletus pada 29 November 1945, antara pasukan KH Noer
Alie dengan Sekutu – Inggris di Pondok Ungu. Pasukan rakyat KH Noer Alie
mendesak pasukan Sekutu dengan serangan mendadak. Melihat pasukan Sekutu
terdesak, mulai timbul rasa takabur pada pasukannya, sehingga ketika pasukan
Sekutu mulai berbalik setelah sekitar satu jam terdesak, pasukan rakyat
berbalik terdesak sampai jembatan Sasak Kapuk, Pondok Ungu, Bekasi.
Melihat kondisi pasukannya yang
kocar-kacir, KH Noer Alie memerintahkan untuk mundur. Tapi, sebagian pasukannya
masih tetap bertahan, sehingga sekitar tiga puluh orang pasukan Laskar Rakyat
gugur dalam pertempuran tersebut.
Kedua, Peristiwa Rawa Gede. Untuk
menunjukkan bahwa pertahanan Indonesia masih eksis, KH Noer Alie memerintahkan
pasukannya bersama masyarakat di Tanjung Karekok, Rawa Gede, dan Karawang,
untuk membuat bendera merah – putih ukuran kecil terbuat dari kertas.
Ribuan bendera tersebut lalu
ditancapkan di setiap pohon dan rumah penduduk dengan tujuan membangkitkan
moral rakyat bahwa di tengah – tengah kekuasaan Belanda, masih ada pasukan
Indonesia yang terus melakukan perlawanan.
Aksi heroik tersebut membuat Belanda
terperangah dan mengira pemasangan bendera merah-putih tersebut dilakukan oleh
TNI. Belanda langsung mencari Mayor Lukas Kustaryo. Karena tidak ditemukan,
mereka marah dan membantai sekitar 400 orang warga sekitar Rawa Gede.
Pembantaian yang terkenal dalam
laporan De Exceseen Nota Belanda itu, di satu sisi mengakibatkan terbunuhnya
rakyat, namun disisi lain para para petinggi Belanda dan Indonesia tersadar
bahwa di sekitar Karawang, Cikampek, Bekasi dan Jakarta masih ada kekuatan
Indonesia. Sedangkan citra Belanda kian terpuruk, karena telah melakukan
pembunuhan keji terhadap penduduk yang tidak bedosa.
Siapa sebenarnya KH Noer Alie?
Ia lahir di Desa Ujung Malang,
Babelan, Bekasi pada 15 Juli 1914. Noer Alie adalah anak keempat dari sepuluh
bersaudara pasangan Anwar bin Layu dan Maimunah binti Tarbin. Tanda-tanda
kepahlawanannya sudah terlihat sejak kecil. Suatu saat, ia pernah ditanya, apa
cita-citanya di dunia. “Ingin membangun perkampungan surga,” jawab Noer Alie
kecil.
Ia memiliki semangat belajar yang
tinggi. Di usianya yang masih di bawah lima tahun, ia telah mampu menghapal
surat –surat pendek dalam Al-Qur’an yang diajarkan oleh kedua orangtua dan
kakaknya. Pada usia tujuh tahun, Noer Alie mengaji pada guru Maksum di kampung
Ujung Malang Bulak. Pelajaran yang diberikan oleh gurunya lebih dititikberakan
pada pengenalan dan mengeja huruf Arab, menyimak, menghafal dan membaca Juz-amma
serta menghafal dasar – dasar Rukun Islam, Rukun Iman, tarikh para nabi, akhlak
dan fikih.
Dua tahun kemudian, Noer Alie kecil
mendapat guru baru bernama Mughni, masih di Ujung Malang. Ia mendapatkan
pelajaran-pelajaran alfiah atau tata bahasa Arab, Al-Qur’an, tajwid, nahwu,
tauhid dan fiqih.
Saat beranjak remaja, Noer Alie
pindah ke Klender. Ia mondok di sebuah pesantren dan menuntut ilmu pada guru
Marzuki. Noer Alie remaja mempelajari kitab kuning (kitab Islam Klasik )
sebagai inti pendidikan. Di samping itu, ia juga belajar cara menunggang kuda
dan berburu bajing, hewan pemakan buah kelapa yang dianggap sebagai hama.
Ketika usianya 20 tahun, ia pergi ke
Mekkah. Di sana, ia menuntut ilmu di Madrasah Darul Ulum. Semangat belajarnya
yang tinggi membuat ia berguru pada beberapa ulama di lingkungan Masjidil
Haram, antara lain pada Syeikh Alie Al-Maliki (hadits); Syeikh Umar Hamdan
(kutubusittah: hadits yang diriwayatkan oleh enam perawi: Buchori, Tarmizi, Abu
Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah ); Syeikh Ahmad Fatoni (fikih, dengan kitab Iqna
sebagai acuan); Syeikh Mohamad Amin al-Quthbi (ilmu nahwu, qawati/sastra ),
badi’/mengarang, tauhid dan mantiq/ ilmu logika yang mengandung filsafah
Yunani, dengan kitab Asmuni sebagai acuan); Syeikh Abdul Zalil (ilmu politik);
Syeikh Umar Atturki dan Syeikh Ibnu Arabi (hadits dan ulumul Qur’an).
Selama di negeri orang, ia aktif
berorganisasi. Salah satunya, dengan menjadi anggota pelajar Islam dari Jepang,
sebagai Ketua Persatuan Pelajar Betawi (PBB), dan aktif di Perhimpunan Pelajar
– Pelajar Indonesia (PPPI), Persatuan Talabah Indonesia (Pertindo) dan
Perhimpunan Pelajar Indonesai Melayu (Perindom).
Noer Alie muda memutuskan kembali ke
Tanah Air pada 1939 setelah mendapat kabar negerinya ditindas kaum penjajah.
Sebuah pesan penting disampaikan Syeikh Alie Al – Maliki padanya. “ Ingat, jika
bekerja jangan jadi penghulu (pegawai pemerintah). Kalau kamu mau mengajar,
saya akan ridho dunia akhirat.” Pesan itu terus terngiang di benaknya hingga
tiba di Indonesia.
Ulama Pejuang
Setibanya di Tanah Air, Noer Alie
membuat gebrakan dengan mendirikan madrasah. Suami Siti Rahmah binti Mughni itu
lalu menghimpun kekuatan umat, di antaranya membangun jalan tembus Ujung Malang
– Teluk Pucung pada 1941.
Untuk mempersiapkan diri bila
sewaktu – waktu bangsa Indonesia harus bertempur secara fisik, Noer Alie
menyalurkan santrinya ke dalam Heiho (pembantu prajurit), Keibodan (barisan
pembantu polisi) di Teluk Pucung. Salah seorang santrinya, Marzuki Alam,
dipersilakan mengikuti latihan kemiliteran Pembela Tanah Air (Peta).
Saat Rapat Ikada digelar pada pada
19 September 1945 di Monas, Noer Alie datang dengan mengendarai delman. Nama
Noer Alie kian dikenal di kalangan pejuang saat Bung Tomo meneriakkan namanya
beberapa kali dalam siaran radionya di Surabaya, Jawa Timur.
Pada bulan November 1945, KH Noer
Alie membentuk Laskar Rakyat. Seluruh badal (pasukan) dan santrinya
diperintahkan menghentikan proses belajar-mengajar untuk mendukung perjuangan.
Ia kemudian mengeluarkan fatwa: “Wajib hukumnya berjuang melawan penjajah.”
Dalam waktu singkat, Laskar Rakyat berhasil menghimpun sekitar 200 orang yang
merupakan gabungan para santri dan pemuda sekitar Babelan, Tarumajaya,
Cilincing, Muaragembong. Mereka dilatih mental oleh KH Noer Alie dan secara
fisik dilatih dasar-dasar kemiliteran oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Bekasi
dan Jatinegara.
Akhir 1945, dibentuk kesatuan
bersenjata yang berafiliasi kepada partai politik. Saat itu, Abu GhozAlie
sebagai komandan resimen Hizbullah Bekasi (badan pejuangan Partai Majelis Sjuro
Muslimin Indonesia/ Masjumi) menunjuk KH Noer Alie sebagai komandan Batalyon
III Hizbullah Bekasi.
Setelah Agresi Militer Pertama
Belanda pada 1947, KH Noerl Alie mengadakan musyawarah darurat di Karawang. Itu
dilakukan karena ia tidak rela melihat negerinya terus dijajah. Hasil
musyawarah itu memutuskan untuk mengirim KH Noer Alie bersama lima orang
rekannya menemui Panglima Besar Jenderal Soedirman di Jogjakarta.
Sesampai di Jogjakarta, rombongan KH
Noer Alie diterima oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohadjo karena Jenderal
Soedirman tidak berada di tempat. KH Noer Alie diminta untuk melakukan
perlawanan secara bergerilya. Ia kemudian mendirikan Hizbullah - Sabilillah
pusat dengan nama Markas Pusat Hizbullah-Sabilillah ( MPHS ) yang diketuai langsung
oleh dirinya.
Pada 10 Januari 1948, Mohammad
Moe’min, Wakil Residen Jakarta dari pihak Republik Indonesia, mengangkat KH
Noer Alie sebagai Koordinator (Pejabat Bupati) Kabupaten Jatinegara. Namun
jabatan pemerintahan yang seharusnya dimulai pada 15 Januari 1948 tidak
berlangsung lama, karena pada 17 Januari 1948 terjadi Perjanjian Renville yang
mengharuskan tentara Indonesia di Jawa Barat hijrah ke Jawa Tengah dan Banten.
KH Noer Alie memilih hijrah ke Banten dengan membawa 100 orang pasukan dari
Kompi Syukur.
Ketika perlawanan bersenjata mulai
mereda, pada 1949 KH Noer Alie memilih berjuang di lapangan sipil. Ia diminta
membantu Muhammad Natsir sebagai anggota delegasi Republik Indonesia Serikat di
Indonesia dalam konperensi Indonesia – Belanda.
Dalam kesempatan tersebut, KH Noer
Alie sempat membahas kelanjutan perjuangan dengan tokoh – tokoh nasional di
Jakarta, seperti Muhammad Natsir, Mr. Yusuf Wibisono, Mr. Muhammad Roem,
Muhammad Syafe;I dan KH Rojiun, dan kemudian ia diminta untuk menyalurkan aspirasi
polotiknya, bergabung dalam partai Masjumi.
Pada Januari 1950, KH Noer Alie
bersama teman – teman dan anak buahnya, seperti R. Supardi, Madnuin Hasibuan,
Namin, Taminudin, Marzuki Hidayat, Marzuki Urmani, Nurhasan Ibnuhajar, A.
Sirad, Hasan Syahroni dan Masturo membentuk Panitia Amanat Rakyat. Pada 17
Januari 1950, Panitia Amanat Rakyat itu kemudian menghimpun sekitar 25.000
rakyat Bekasi dan Cikarang di Alun – Alun Bekasi. Mereka mendeklarasikan
resolusi yang menyatakan penyerahan kekuasaan pemerintah Federal kepada
Republik Indonesia. Pengembalian seluruh Jawa Barat kepada Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Dan KH Noer Alie bersama Lukas
Kustaryo menuntut agar nama kabupaten Jatinegara diubah menjadi Kabupaten
Bekasi. Tuntutan tersebut diterima oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir,
sehingga pada 15 Agustus 1950 terbentuklah Kabupaten Bekasi di Jatinegara,
serta selanjutnya dimasukkan ke dalam wilayah Provinsi Jawa Barat.
Ulama Kharismatik
KH Noer Alie dikenal dengan sebutan
“Engkong Kiai.” Jika ia berjalan, tidak ada seorang pun, baik pejalan kaki atau
pun yang memakai kendaraan, yang berani mendahuluinya. Mereka lebih cenderung
untuk memilih jalan lain atau melompati got sebagai jalan pintas apabila
terpaksa harus mendahului Engkong Kiai.
Pada zamannya, tidak ada akses jalan
yang rusak di sekitar desa, karena apabila terjadi kerusakan jalan dan
diketahui oleh KH Noer Alie, aparat pemerintah akan langsung buru – buru
memperbaikinya, mengingat besarnya jasa beliau terhadap pembangunan, terutama
di wilayah Bekasi.
Salah satu karya fenomenal yang
berhasil diwujudkan oleh KH Noer Alie adalah pembangunan dan pembukaan akses
jalan secara besar – besaran di sekitar Desa Ujungharapan Bahagia, Kecamatan
Babelan, Kabupaten Bekasi. Semua warga dengan sukarela dan ikhlas akan
mewakafkan tanahnya jika yang meminta KH Noer Alie. Ia pun tak segan untuk
turun langsung bergotong-royong bersama warga membangun jalan seperti saat
pelebaran Gang Perintis pada 1980.
Jasa-jasanya itulah yang akhirnya
membuat ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional dan bintang Maha Putra
Adipradana oleh pemerintah Republik Indonesia pada 2006. Penghargaan lainnya
adalah dengan menjadikan nama “Singa Karawang-Bekasi” itu sebagai nama jalan di
sepanjang Kalimalang menuju Jakarta.
KIAI HAJI NOER ALIE (Alm) TOKOH
PEJUANG DARI BEKASI JAWA BARAT
Pahlawan Nasional dan Bintang Mahaputera Adipradana Pada tanggal 3 November
2006, atas nama Presiden RI (Kepres RI No. 085/TK/Tahun 2006)menganugerahkan
gelar `Pahlawan Nasional` dan `Bintang Mahaputera Adipradana` kepada Alm. Kiai
Haji Noer Alie tokoh pejuang dari Bekasi Jawa Barat, atas jasa-jasanya. • � Pada tahun 1937 bersama Hasan Basri
membentuk organisasi Persatuan Pelajar Betawi dimana KH. Noer Alie sebagai
ketuanya. • �
Tahun 1945 KH. Noer Alie membentuk Laskar Rakyat bekerja sama dengan TKR Bekasi
dan Jatinegara untuk memobilisasi pemuda dan santri ikut latihan kemiliteran di
Teluk Pucung-Bekasi. • �
Setelah Agresi Militer I Belanda, KH. Noer Alie mendirikan organisasi gerilya
baru dengan nama Markas Pusat Hizbullah Sabulillah (MPHS) di Tanjung Karekok
Cikampek. • �
Pada tahun 1955, Masyumi Bekasi memperoleh suara terbanyak dalam Pemilu dimana
beliau sebagai Ketua Cabang Masyumi Bekasi oleh Masyumi Pusat sebagai salah seorang
anggota Dewan Konstituante pada bulan Desember 1956.
[[KH. Noer Ali, Putra Betawi yang Menjadi Pahlawan Nasional
“Bukan orang Bekasi namanya kalau
dia tidak kenal KH. Noer Ali“. ya itu adalah ungkapan yang sering saya dengar
dari para orang tua dulu. Sosok beliau sangat terkenal dimata orang bekasi
karena ia menjadi ikon kebanggaan masyarakat betawi (khususnya di
Karawang-Bekasi) pada masa revolusi. Beliau terkenal dengan sebutan “Singa
Karawang Bekasi” atau ada juga yang menyebutnya “si Belut Putih”.Saya memang
tidak banyak tau tentang sejarah beliau. Saya hanya dapat kisahnya dari para
orang tua. Beliau adalah seorang ulama dan pemimpin pada zaman revolusi.
Kembali ke KH. Noer Ali, selain berjuang melawan penjajah beliau juga memiliki
pesantren At- Taqwa yang berpusat di Kampung Ujung Harapan (dulu bernama Ujung
malang) . Kini pesantren tersebut sudah memiliki lebih dari 50 Cabang. Dan saya
adalah orang yang termasuk salah satu santri dicabangnya (At- Taqwa VIII).
Cerita perjuangan beliau begitu banyak yang saya dapatkan baik dari para orang
tua maupun guru (ceritanya seperti film-film kolosal ^_^). Ia selalu bisa
lolos/menghilang ketika ditangkap belanda (mungkin karena itu kali ya dia
berjuluk si belut putih), meriam-meriam belanda yang tidak bisa meledak,
murid-muridnya yang kebal peluru karena amalan wirid dan ratibnya, dll. Beliau
juga sangat terkenal di mata masyarakat non muslim karena sikap tolerannya, hal
itu dibuktikan ketika beliau sangat melindungi masyarakat tiong hoa yang non
Muslim dari penjajah Belanda. Alhamdulillah pada 9 November 2006 akhirnya ia
diangkat menjadi pahlawan Nasional, pemerintah RI menganugerahi gelar Pahlawan
Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana. Berikut sekilas
dari biografinya
KH. Noer Ali “Singa Karawang-Bekasi”
Sebagaimana biografi yang ditulis Ali Anwar, Noer Ali lahir tahun 1914 di Kp.
Ujungmalang (sekarang menjadi Ujungharapan), Kewedanaan Bekasi, Kabupaten
Meester Cornelis, Keresidenan Batavia. Ayahnya bernama H. Anwar bin Layu,
seorang petani dan ibunya bernama Hj. Maimunah binti Tarbin. Meskipun ayahnya
hanya sebagai petani, namun karena kemauan keras untuk menuntut ilmu, Noer Ali
pergi ke Mekah dengan meminjam uang dari majikan ayahnya yang harus dibayar
dicicil selama bertahun-tahun. Selama enam tahun (1934-1940) Noer Ali belajar
di Mekah. Saat di Mekah, semangat kebangsaannya tumbuh ketika ia merasa dihina
oleh pelajar asing yang mencibir: “Mengapa Belanda yang negaranya kecil bisa
menjajah Indonesia. Harusnya Belanda bisa diusir dengan gampang kalau ada
kemauan!”. Noer Ali pun “marah” dan menghimpun para pelajar Indonesia khususnya
dari Betawi untuk memikirkan nasib bangsanya yang dijajah. Ia diangkat
teman-temannya menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Betawi di Mekah (1937).
Sekembalinya ke tanah air, Noer Ali mendirikan pesantren di Ujungmalang. Ketika
Indonesia merdeka, ia terpilih sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah
(KNID) Cabang Babelan. Tanggal 19 September 1945 ketika diselenggarakan Rapat
Raksasa di Lapang Ikada Jakarta, Noer Ali mengerahkan massa untuk hadir. Dalam
mempertahankan kemerdekaan, ia menjadi Ketua Lasykar Rakyat Bekasi, selanjutnya
menjadi Komandan Batalyon III Hisbullah Bekasi. Bung Tomo saat itu dalam
pidato-pidatonya dalam Radio Pemberontak menyebutnya sebagai Kiai Haji Noer Ali
sehingga selanjutnya ia dikenal sebagai K.H. Noer Ali. Peranan pentingnya
muncul ketika terjadi Agresi Militer Juli 1947. K.H. Noer Ali menghadap
Jenderal Oerip Soemohardjo di Yogyakarta. Ia diperintahkan untuk bergerilya di Jawa
Barat dengan tidak menggunakan nama TNI. K.H. Noer Ali pun kembali ke Jawa
Barat jalan kaki dan mendirikan serta menjadi Komandan Markas Pusat
Hisbullah-Sabilillah (MPHS) Jakarta Raya di Karawang. Saat itu, Belanda
menganggap tentara Republik sudah tidak ada. Noer Ali meminta rakyat Rawagede
untuk memasang ribuan bendera kecil-kecil dari kertas minyak ditempel di
pepohonan. Tentara Belanda (NICA) melihat bendera-bendera itu terkejut karena
ternyata RI masih eksis di wilayah kekuasaannya. Belanda mengira hal itu
dilakukan pasukan TNI di bawah Komandan Lukas Kustaryo yang memang bergerilya
di sana. Maka pasukan Lukas diburu dan karena tidak berhasil menemukan pasukan
itu, Belanda mengumpulkan rakyat Rawagede sekitar 400 orang dan kemudian
dibunuh. Peristiwa ini membangkitkan semangat rakyat sehingga banyak yang
kemudian bergabung dengan MPHS. Kekuatan pasukan MPHS sekitar 600 orang, malang
melintang antara Karawang dan Bekasi, berpindah dari satu kampung ke kampung
lain, menyerang pos-pos Belanda secara gerilya. Di situlah K.H. Noer Ali
digelari “Singa Karawang-Bekasi”. Ada juga yang menyebutnya sebagai “Belut
Putih” karena sulit ditangkap musuh. Sebagai kiai yang memiliki karomah, Noer
Ali menggunakan tarekat untuk memperkuat mental anak buahnya. Ada wirid-wirid
yang harus diamalkan, namun kadang-kadang anak buahnya ini tidak taat. Tahun
1948 Residen Jakarta Raya mengangkat K.H. Noer Ali sebagai Koordinator
Kabupaten Jatinegara. Ketika terjadi Perjanjian Renville, semua pasukan
Republik harus hijrah ke Yogyakarta atau ke Banten. Ia hijrah ke Banten melalui
Leuwiliang, Bogor. Di Banten, MPHS diresmikan menjadi satu baltalyon TNI di
Pandeglang. Saat akan dilantik, tiba-tiba Belanda menyerbu. Noer Ali pun
bersama pasukannya bertempur di Banten Utara sampai terjadinya Perjanjian
Roem-Royen. Dalam Konferensi Meja Bundar yang mengakhiri Perang Kemerdekaan
1946-1949, Noer Ali diminta oleh Mohammad Natsir membantu delegasi Indonesia.
Selain itu, ia pun masuk ke luar hutan untuk melakukan kontak-kontak dengan
pasukan yang masih bertahan. Ketika pengakuan kedaulatan ditandatangani
Belanda, MPHS pun dibubarkan. Jasa-jasanya selama masa perang kemerdekaan
dihargai orang termasuk oleh A.H. Nasution, yang menjadi Komandan Divisi
Siliwangi waktu itu. Kemudian dimulailah perjuangan K.H. Noer Ali dalam mengisi
kemerdekaan melalui pendidikan maupun melalui jalur politik. Pemikiran Noer Ali
untuk memajukan pendidikan di negeri ini, sebenarnya sudah dimulai sejak ia
mendirikan pesantren sepulang dari Mekah. Setelah merdeka, peluang lebih
terbuka. Tahun 1949, ia mendirikan Lembaga Pendidikan Islam di Jakarta.
Selanjutnya Januari 1950 mendirikan Madrasah Diniyah di Ujungmalang dan
selanjutnya mendirikan Sekolah Rakyat Indonesia (SRI) di berbagai tempat di
Bekasi, kemudian juga di tempat lain, hingga ke luar Jawa. Di lapangan politik,
peran Noer Ali memang menonjol. Saat Negara RIS kembali ke negara kesatuan, ia
menjadi Ketua Panitia Amanat Rakyat Bekasi untuk bergabung ke dalam NKRI. Tahun
1950, Noer Ali diangkat sebagai Ketua Masyumi Cabang Jatinegara. Tahun 1956, ia
diangkat menjadi anggota Dewan Konstituante dan tahun 1957 menjadi anggota
Pimpinan Harian/Majelis Syuro Masyumi Pusat. Tahun 1958 menjadi Ketua Tim
Perumus Konferensi Alim Ulama-Umaro se-Jawa Barat di Lembang Bandung, yang
kemudian melahirkan Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat. Tahun 1971-1975 menjadi
Ketua MUI Jawa Barat. Di samping itu, sejak 1972 menjadi Ketua Umum Badan Kerja
Sama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat. Dalam perkembangan selanjutnya, ia
bersikap sebagai pendamai, tidak pro satu aliran. Dengan para kiai
Muhammadiyah, NU, maupun Persis, ia bersikap baik.*** - Prof. Dr. Nina H.
Lubis, M.S. adalah Guru Besar Ilmu Sejarah Fak. Sastra Unpad/Kepala Pusat
Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Unpad/Ketua
Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat.
Liputan Khusus
Bekasi, Titik Awal Pemberontakan Jawara Betawi
Yuliawati,
Aulia Bintang Pratama, CNN Indonesia | Selasa, 21/06/2016 13:47
WIB
Bagikan :
Tanam
paksa di zaman kolonial Belanda. (Collectie Stichting Nationaal Museum van
Wereldculturen via Wikimedia CC-BY-SA-3.0)
Jakarta, CNN
Indonesia -- Sistem tanah partikelir yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda
pada abad 19, menimbulkan berbagai reaksi pemberontakan dan perlawanan yang
dipelopori para para jawara di Betawi.
Pemberontakan yang muncul paling awal tercatat pada 3 April 1869 di Tambun, Bekasi. Ketika itu, Bekasi merupakan bagian dari residen Batavia.
Sistem partikelir membuat masyarakat Bekasi sengsara karena sebagian tanah Bekasi dikuasai para tuan tanah Cina dan Eropa.
Pemberontakan yang muncul paling awal tercatat pada 3 April 1869 di Tambun, Bekasi. Ketika itu, Bekasi merupakan bagian dari residen Batavia.
Sistem partikelir membuat masyarakat Bekasi sengsara karena sebagian tanah Bekasi dikuasai para tuan tanah Cina dan Eropa.
“Masyarakat Bekasi termasuk yang paling menderita di mana para tuan tanah memperlakukan rakyatnya sebagai buruh budak yang terus diperas keringatnya,” kata Jenderal Besar TNI (Purn) AH Nasution dalam kata sambutan di buku KH Noer Ali Kemandirian Ulama Pejuang.
Pemberontakan yang terjadi di Tambun dipimpin oleh jawara bernama Bapak Rama. Aksi yang melibatkan ratusan orang ini menewaskan seorang Asisten Residen Meester Cornelis C.E Kuijper, beberapa aparat pemerintah dan tuan tanah. Para pemberontak kemudian dijatuhi hukuman mati dengan eksekusi dilangsungkan di alun-alun Bekasi.
Lihat juga: |
Ketika itu,
meski Bekasi rawan kekerasan, namun tanah dan airnya tetap menarik investor.
Pada 1887 untuk memudahkan kegiatan ekonomi pemerintah Hindia Belanda membangun
rel kereta api dari Manggarai, Cakung, Bekasi, Cikarang, Lemah Abang, sampai
Kedunggedeh.
Jalur kereta ini malah semakin memperbesar eksploitasi terhadap hasil bumi dan tenanga manusia.
“Hidup masyarakat kian terbebani oleh kenaikan harga yang tinggi, upah buruh yang rendah, serta penarikan berbagai jenis pajak dan pungutan liar,” kata Ali Anwar, penulis buku KH Noer Ali Kemandirian Ulama Pejuang, kepada CNNIndonesia.com, pekan lalu.
Jalur kereta ini malah semakin memperbesar eksploitasi terhadap hasil bumi dan tenanga manusia.
“Hidup masyarakat kian terbebani oleh kenaikan harga yang tinggi, upah buruh yang rendah, serta penarikan berbagai jenis pajak dan pungutan liar,” kata Ali Anwar, penulis buku KH Noer Ali Kemandirian Ulama Pejuang, kepada CNNIndonesia.com, pekan lalu.
Rumah tuan tanah Bekasi.
(Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen via Wikimedia
CC-BY-SA-3.0)
|
Saat itu muncul jawara bernama Entong Tolo yang membela kepentingan
rakyat namun kerap terlibat dalam perampokan. Pada 1910, Entong Tolo tertangkap
dan dibuang ke Menado.
Beberapa tahun kemudian, pada 1913 muncul demonstrasi dari kaum buruh petani yang memprotes upah yang terlalu rendah. Aksi ini dimobilisir oleh Djoemiat Islamijah, perpanjangan tangan Sarekat Islam.
Beberapa tahun kemudian, pada 1913 muncul demonstrasi dari kaum buruh petani yang memprotes upah yang terlalu rendah. Aksi ini dimobilisir oleh Djoemiat Islamijah, perpanjangan tangan Sarekat Islam.
Lihat juga: |
“Para petani
menuntut kenaikan upah dari 22 sen menjadi 50 sen,” kata Ali. Menghadapi ini,
pemerintah Hindia Belanda malah menambah pasukan Marsose yang terkenal kejam
pada 1922.
Setelah masa kemerdekaan, para pejuang mempertahankan kemerdekaan dan tak mau dijajah lagi oleh bangsa asing. Beberapa ulama dan para jago yang memimpin perjuangan di antaranya Marzuki Urmaini (dari Gerakan Pemuda Islam Bekasi-GPIB), Kyai Haji Noer Alie, Angkut Abu Gozali, Rijan bersama anaknya, M.Husein Kamaly, dan Gusir.
Berkat perjuangannya Kyai Haji Noer Ali mendapat gelar pahlawan pada 2006.
Haji Darip dan Jaringan Antar Jawara
Tak jauh dari Bekasi, muncul tokoh jawara Betawi asal Klender, Muhammad Arif alias Darip yang dilahirkan pada 1886. Darip yang pernah belajar ke Mekah selama tiga tahun ini dikenal dengan sebutan Haji Darip.
Setelah masa kemerdekaan, para pejuang mempertahankan kemerdekaan dan tak mau dijajah lagi oleh bangsa asing. Beberapa ulama dan para jago yang memimpin perjuangan di antaranya Marzuki Urmaini (dari Gerakan Pemuda Islam Bekasi-GPIB), Kyai Haji Noer Alie, Angkut Abu Gozali, Rijan bersama anaknya, M.Husein Kamaly, dan Gusir.
Berkat perjuangannya Kyai Haji Noer Ali mendapat gelar pahlawan pada 2006.
Haji Darip dan Jaringan Antar Jawara
Tak jauh dari Bekasi, muncul tokoh jawara Betawi asal Klender, Muhammad Arif alias Darip yang dilahirkan pada 1886. Darip yang pernah belajar ke Mekah selama tiga tahun ini dikenal dengan sebutan Haji Darip.
Haji Darip. (CNN Indonesia/Aulia
Bintang Pratama)
|
Haji Darip ketika bekerja di perusahaan kereta api, pernah terlibat
dalam pemogokan jalur kereta api milik Belanda pada 1923. Aksi pemogokan
diorganisir Partai Komunis Indonesia dengan mengerahkan serikat buruh kereta
api. Catatan mengenai kiprah Haji Darip ini tertulis di antaranya di buku Para
Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949, karangan Robert Cribb.
Masyarakat Betawi mengenangnya sebagai pahlawan dan namanya diabadikan menjadi sebuah jalan di daerah Klender menuju Bekasi. Kisah perjuangan Darip dikenang lewat cerita lisan antar penduduk pribumi.
“Babeh tak menyimpan catatan sejarah mengenai masa perjuangannya,” kata Ahmad Huryani alias Haji Uung, 69 tahun, anak dari Haji Darip, kepada CNNINdonesia.com.
Berkat kepiawaiannya, Haji Darip memiliki wilayah kekuasaan yang luas, membentang dari markasnya di Klender, Pulogadung hingga Jatinegara.
Selama masa revolusi kemerdekaan, Haji Darip membangun jaringan dengan jawara lain seperti Camat Nata (gerombolan di Tambun), Haji Eman, Haji Masum Teluk Pucung, dan Pa’ Macen.
Selain itu, Haji Darip berhubungan dekat dengan Kyai Haji Noer Ali, jago dan ulama asal Bekasi dan Imam Syafi’i seorang tokoh jagoan yang menguasai dunia kriminialitas di daerah Senen.
Kerjasama antar para tokoh jawara berupa pembagian senjata dan kendaraan dari markas tentara Sekutu. Menurut Cribb, Haji Darip pernah mendapat suplai senjata dari pemimpin revolusi di Jawa Timur, Dr Mustopo.
Masyarakat Betawi mengenangnya sebagai pahlawan dan namanya diabadikan menjadi sebuah jalan di daerah Klender menuju Bekasi. Kisah perjuangan Darip dikenang lewat cerita lisan antar penduduk pribumi.
“Babeh tak menyimpan catatan sejarah mengenai masa perjuangannya,” kata Ahmad Huryani alias Haji Uung, 69 tahun, anak dari Haji Darip, kepada CNNINdonesia.com.
Berkat kepiawaiannya, Haji Darip memiliki wilayah kekuasaan yang luas, membentang dari markasnya di Klender, Pulogadung hingga Jatinegara.
Selama masa revolusi kemerdekaan, Haji Darip membangun jaringan dengan jawara lain seperti Camat Nata (gerombolan di Tambun), Haji Eman, Haji Masum Teluk Pucung, dan Pa’ Macen.
Selain itu, Haji Darip berhubungan dekat dengan Kyai Haji Noer Ali, jago dan ulama asal Bekasi dan Imam Syafi’i seorang tokoh jagoan yang menguasai dunia kriminialitas di daerah Senen.
Kerjasama antar para tokoh jawara berupa pembagian senjata dan kendaraan dari markas tentara Sekutu. Menurut Cribb, Haji Darip pernah mendapat suplai senjata dari pemimpin revolusi di Jawa Timur, Dr Mustopo.
Lihat juga: |
Seorang yang
pernah menjadi mandor waktu zaman Belanda, Murtadho yang berjuluk Macan
Kemayoran juga memberikan bantuan senjata kepada Haji Darip.
“Babeh mencuri senjata dari gudang penyimpanan di Sunda Kelapa dan membawanya ke Pulogadung dengan menyusupinya ke dalam beras,” kata Iwan Cepi Murthado, anak dari Murthado kepada CNNIndonesia.com, Rabu (15/6).
Selain membangun jaringan dengan para jawara lain, Haji Darip bekerjasama dengan kelompok Menteng 31, yaitu kelompak kaum muda terpelajar Indonesia yang terdiri dari para mahasiswa kedokteran. Pada saat berlangsung pertemuan di Lapangan Ikada pada 19 September 1945, Haji Darip mengutus anak buahnya menghadiri pertemuan.
Laskar Rakyat
Pada masa masa revolusi kemerdekaan, muncul perlawanan rakyat dalam bentuk laskar-laskar sipil bersenjata. Haji Darip memimpin Barisan Rakyat (BARA).
“Babeh mencuri senjata dari gudang penyimpanan di Sunda Kelapa dan membawanya ke Pulogadung dengan menyusupinya ke dalam beras,” kata Iwan Cepi Murthado, anak dari Murthado kepada CNNIndonesia.com, Rabu (15/6).
Selain membangun jaringan dengan para jawara lain, Haji Darip bekerjasama dengan kelompok Menteng 31, yaitu kelompak kaum muda terpelajar Indonesia yang terdiri dari para mahasiswa kedokteran. Pada saat berlangsung pertemuan di Lapangan Ikada pada 19 September 1945, Haji Darip mengutus anak buahnya menghadiri pertemuan.
Laskar Rakyat
Pada masa masa revolusi kemerdekaan, muncul perlawanan rakyat dalam bentuk laskar-laskar sipil bersenjata. Haji Darip memimpin Barisan Rakyat (BARA).
BARA membentuk pasukan berani mati yang
anggotanya terdiri dari narapidana kasus pembunuhan.
|
Menurut Amurwani Dwi Lestariningsih dalam Para
Penuntut Balas : Jago dan Jagoan Studi Kriminalitas di Jakarta 1945-1950,
BARA ini pernah mendapat didikan militer pada masa Jepang. Kelompok ini selain
merekrut anggota dari masyarakat biasa, juga menarik para narapidana Cipinang .
BARA membentuk pasukan berani mati yang anggotanya terdiri dari narapidana kasus pembunuhan. "Para penghuni tahanan segan dan menaruh hormat terhadap Haji Darip karena ilmu silat dan ilmu kebal yang dimilikinya," tulis Amurwani.
Beberapa pertempuran yang dihadapi BARA di antaranya serangan pada 20 November 1945, di daerah Jati Petamburan, Karet dan Jati Baru. Pada awal Januari 1946, serdadu-serdadu NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie) membakar rumah-rumah di Jatinegara, Kemuning, dan Gang Ambon.
Kelompok Darip tak kuasa menghadapi perlawanan NICA karena kurangnya persenjataan. Serangan-serangan ini memaksa kelompok Darip bergeser ke luar Jakarta.
Awalnya mereka mundur ke Pulogadung berlanjut ke Cakung, Cikarang, Tambun, Bekasi, Kerawang, Cikampek dan akhirnya mendirikan markas di Purwakarta.
BARA membentuk pasukan berani mati yang anggotanya terdiri dari narapidana kasus pembunuhan. "Para penghuni tahanan segan dan menaruh hormat terhadap Haji Darip karena ilmu silat dan ilmu kebal yang dimilikinya," tulis Amurwani.
Beberapa pertempuran yang dihadapi BARA di antaranya serangan pada 20 November 1945, di daerah Jati Petamburan, Karet dan Jati Baru. Pada awal Januari 1946, serdadu-serdadu NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie) membakar rumah-rumah di Jatinegara, Kemuning, dan Gang Ambon.
Kelompok Darip tak kuasa menghadapi perlawanan NICA karena kurangnya persenjataan. Serangan-serangan ini memaksa kelompok Darip bergeser ke luar Jakarta.
Awalnya mereka mundur ke Pulogadung berlanjut ke Cakung, Cikarang, Tambun, Bekasi, Kerawang, Cikampek dan akhirnya mendirikan markas di Purwakarta.
Lihat juga: |
Pada 1947, Haji Darip tertangkap
oleh pasukan Belanda di Cirebon dan dijebloskan ke dalam penjara Glodok. Ia
dijatuhi hukuman selama dua tahun delapan bulan. Pada 1950, Darip dibebaskan
kawan-kawan seperjuangannya dalam suasana Republik Indonesia Serikat.
Haji Darip meninggal tahun 1981 dalam usia 84 tahun. “Bapak sakit-sakitan, dia dirawat di Cempaka Putih dan dimakamkan di Tanah Koja,” kata Haji Uung.
Haji Darip meninggal tahun 1981 dalam usia 84 tahun. “Bapak sakit-sakitan, dia dirawat di Cempaka Putih dan dimakamkan di Tanah Koja,” kata Haji Uung.
http://wisatasejarahbekasi.blogspot.com/2016/10/haji-riyan-pimpinan-perlawanan.html?m=1
Saat jaman Hindia Belanda, Haji
Riyan masuk dalam jajaran pimpinan Sarekat Islam (SI) cabang Distrik Bekasi. Organisasi satu-satunya yang berani secara terang benderang
melawan kekuasaan tuan tanah dan penindasan pemerintahan Belanda. SI cabang
Bekasi bahkan lebih militan dibanding SI lain di wilayah Meester
Cornelis.
Ketika Jepang berkuasa
(1942-1945), Haji Riyan aktif di organisasi AAA (Jepang pemimpin
Asia, Jepang cahaya Asia, Jepang pelindung Asia). Keterlibatannya disini karena lembaga
ini merupakan lembaga yang membuka pintu untuk tercapainya Indonesia merdeka.
Namun seiring waktu tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh kedua belah
pihak. AAA pun hanya berusia beberapa bulan saja. Tahun 1943 dibubarkan.
Ketika Jepang
kalah dan Belanda berusaha menancapkan kukunya kembali dibumi pertiwi, guru
mengaji ini kembali memperlihatkan taringnya. Mengerahkan masa ke lapangan
Ikada untuk mendengarkan pidato Bung Karno pada 19 September 1945 merupakan
awal. Sidik Kertapati selaku tokoh muda dari Jakarta melakukan konsolidasi
gerakan dengan Haji Riyan di Kranji, Guru Noer Ali di Ujung Malang.
Bersama
anak-anaknya, serta sejumlah cucunya, dia memimpin perlawanan dengan mengangkat
senjata. Dengan didukung Haji Mesir yang juga dari Kranji, mereka saling
bahu-membahu. Rumahnya pun dijadikan markas perjuangan dari kesatuan Pelopor dan Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI) yang
dipimpin anaknya, M. Husein Kamaly. Tidak hanya itu, rumahnya juga menjadi dapur umum,
manakala Kali Cakung masih menjadi garis tapal batas. Itu sebabnya, jalan di sana diberi nama Jalan Banteng.
Peristiwa pertempuran yang cukup sengit dibawah pimpinannya adalah saat
tentara Inggris berusaha merangsek ke Bekasi pada 29 November 1945. Bersama
sejumlah kesatuan lain dari laskar maupun BKR pimpinan Letkol Moeffreni Moe’min
dan Mayor Sambas Atmadinata, mereka mencegat di sekitar rel yang membelah jalan
(kini jalan Sultan Agung/sekitar bawah fly over Kranji). Setelah pertempuran
jarak dekat, pihak republik pun mengalami kemenangan mutlak. Mereka berhasil
memukul mundur Inggris. Ini adalah pertempuran pertama yang Head to Head
dan pasukan Republik menang. Sudah sepantasnya di kolong fly over Kranji
dibangun sebuah monumen perjuangan. Karena orang Kranji, Bekasi, dan sekitarnya
telah mengalahkan sang Pemenang Perang Dunia Kedua, yaitu Inggris.
Akibatnya, Haji Riyan dan Haji Mesir pun masuk dalam data intellijen
Belanda sebagai orang yang berbahaya dan dicari. Kalau istilah sekarang masuk
dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
Karena menjadi inceran Inggris dan Sekutu, pria kelahiran 1875 ini pun
memindahkan markasnya ke Kayuringin. Dan terus berpindah tempat sambil
melakukan perang gerilya. Padahal saat itu usianya sudah 70 tahun.
Selama perang kemerdekaan, sebagai tokoh yang kharismatik dan disegani,
dirinya sering kali menjadi tempat konsultasi bagi para pejuang. Baik dari
laskar maupun tentara.
Setelah Belanda angkat kaki dari bumi Bekasi, Haji Riyan kembali
beraktivitas seperti semula. Menikmati hidup yang selama ini diimpikan, menjadi
bangsa yang benar-benar merdeka. Tidak dalam jajahan negara manapun.
Ayah dari Husein Kamaly (Ketua DPRD pertama hasil pemilu 1955) ini kemudian
meninggal pada 23 September 1957 di usia 82 tahun. Selama hidupnya, dia beserta anak-anak dan cucu-cucunya
tidak mengambil uang veteran. Baginya, berjuang itu harus ikhlas. Meskipun
begitu Legiun Veteran Republik Indonesia
(LVRI) tetap
menancapkan replika bendera Merah Putih di pusaranya. Hal ini menunjukkan bahwa
negara mengakui dirinya sebagai seorang pejuang kemerdekaan 1945-1949.
Sebagai seorang yang berjasa bagi bangsa dan negara, saya sendiri
mengusulkan agar beliau diusulkan sebagai Pahlawan Nasional. Ya setidaknya
minimal oleh Pemda Kota Bekasi disematkan sebagai Pahlawan Bekasi. Karena
bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.
Makamnya terletak di Kompleks pemakaman Mushala
Al-Ikhlas, Gang Swadaya, Jalan Banteng, Kranji, Kota Bekasi.
Namun sayang, perannya sebagai seorang pejuang telah dilupakan oleh
generasi berikut. Banyak sekali orang Bekasi yang tidak mengenalnya. Jangankan
orang Bekasi, orang Kranji atau bahkan yang dijalan Banteng sendiri banyak
tidak mengenal siapa beliau.
BEKASI, 19 Oktober 1945. Senja baru saja akan
mencapai ujungnya, ketika Letnan Dua Zakaria Burhanuddin mendapat instruksi
penting dari Jakarta: harap membiarkan lewat serangkaian kereta api
memuat 90 anggota Kaigun (Angkatan Laut Jepang) yang akan melintas di
Stasiun Bekasi beberapa saat lagi.
“Rencananya tentara Jepang yang telah menyerah
itu akan dibawa ke lapangan terbang Kalijati, Subang untuk selanjutnya
dipulangkan ke Jepang,” tulis Ali Anwar dalam buku KH.Noeralie:
Kemandirian Ulama Pejuang.
Alih-alih membiarkan kereta api tersebut lewat,
Wakil Komandan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) Bekasi itu malah memerintahkan
Kepala Stasiun Bekasi mengalihkan jalur perlintasan kereta api dari jalur dua
ke jalur satu yang merupakan jalur buntu. Akibatnya, lokomotif yang menggandeng
sembilan gerbong (termasuk tiga gerbong yang memuat 90 anggota Kaigun) terpaksa
berhenti, tepat di mulut Kali Bekasi.
Begitu kereta api berhenti, massa rakyat dan
pejuang Bekasi langsung melakukan pengepungan. Suasana mencekam saat Letnan Dua
Zakaria dan beberapa pengawalnya naik ke atas kereta api tersebut dan
menanyakan surat izin dari Pemerintah Republik Indonesia (RI). “Mereka
menunjukan surat jalan dari Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo yang dibubuhi
tanda tangan Presiden Sukarno,” tulis Ali Anwar.
Di tengah pemeriksaan, tiba-tiba seorang prajurit
Kaigun melepaskan tembakan pistol dari arah salah satu gerbong tersebut.
Tembakan itu ibarat komando bagi massa rakyat dan pejuang untuk menyerbu. Maka
tumpah ruahlah ratusan orang memasuki kereta api itu dengan membawa berbagai
macam senjata. Setelah melalui pertempuran kecil, beberapa menit kemudian,
massa berhasil menguasai kereta api. Mereka merampas barang-barang yang ada di
dalamnya (termasuk ratusan pucuk senjata) dan memasukan 90 tawanan
berkebangsaan Jepang itu ke sebuah sel yang berada di belakang gedung Stasiun
Bekasi.
Empat jam kemudian, tanpa berkonsultasi terlebih
dahulu dengan Komandan Resimen V TKR Mayor Sambas, massa rakyat dan pejuang
lantas menggiring para tawanan perang itu ke tepian Kali Bekasi. Satu persatu,
serdadu malang itu disembelih dan mayatnya dihanyutkan ke dalam sungai.
“Kali Bekasi sampai berwarna merah karena darah yang keluar dari tubuh para
serdadu Jepang itu,” demikian dilukiskan oleh Dullah (89), salah seorang
penduduk Bekasi yang sempat menyaksikan kejadian tersebut.
Demi mengetahui peristiwa itu, Laksamana Muda
Maeda menjadi berang. Dalam nada sangat marah, Komandan Penghubung Angkatan
Laut dan Angkatan Darat Tentara Kekaisaran Jepang itu melayangkan protes keras
kepada Pemerintah RI. Menanggapi protes keras dari Maeda, Kepala Kepolisian RI
Komisaris Jenderal Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo bersama seorang staf
Departemen Luar Negeri RI bernama Boediarto lantas menghadap Maeda. Dalam
pertemuan itu, keduanya harus “ikhlas” menjadi sasaran amarah sang laksamana.
“Kejadian ini dapat menjadi bukti kepada dunia
bahwa bangsa Indonesia tidak memiliki pendirian yang teguh!” ujar Maeda.
Kombes Soekanto berusaha tidak terpancing amarah
yang dilontarkan Maeda itu. Setelah meminta maaf terlebih dahulu, ia kemudian
mengatakan bahwa Insiden Stasiun Bekasi tersebut di luar kemampuan Pemerintah
RI. “ Memang benar hanya Pemerintah RI yang memiliki hak melakukan hukuman
mati, tapi seperti yang Tuan ketahui, Bekasi merupakan daerah yang belum
sepenuhnya tunduk kepada hukum Pemerintah Republik Indonesia,” demikian
penjelasan Soekanto seperti dikutip dalam Material on Japanese
Military Administration in Indonesia yang dikeluarkan oleh Institut
Ilmu Sosial Universitas Waseda, Jepang.
Setelah dilakukan pendekatan politik secara
intens oleh Pemerintah RI, Maeda akhirnya dapat dibuat maklum. Namun, ia
memberi catatan bahwa kejadian itu harus menjadi yang terakhir dan Pemerintah
RI wajib mengantisipasi terjadinya insiden serupa secara serius. “ Jika
dibiarkan saja, maka tak mustahil kejadian di Bekasi itu akan merajalela
di mana-mana,” ungkap Maeda.
Sebagai bentuk tanggungjawab terhadap insiden
tersebut, pada 25 Oktober 1945, Presiden Sukarno berkunjung ke Bekasi. Di depan
rakyat Bekasi, ia memohon agar rakyat menaati setiap perintah yang datang dari
Pemerintah RI dan melarang keras para pejuang untuk melakukan lagi upaya-upaya
pencegatan kereta api.
Sementara itu, beberapa hari usai insiden
penyembelihan tentara Jepang tersebut, masyarakat Bekasi digegerkan dengan isu
berkeliarannya arwah penasaran 90 serdadu itu. Menurut Dullah, isu itu sempat
mempengaruhi rakyat Bekasi (termasuk anggota TKR dan lasykar) hingga begitu
memasuki malam, Bekasi menjadi kota yang sangat sunyi karena setiap orang
enggan keluar rumah.
Robert B. Cribb merekam gejala itu dalam bukunya Para
Jago dan Kaum Revolusiener Jakarta 1945-1949. Ia menyebutkan pasca
kematian menggenaskan para serdadu Jepang itu, hampir tiap malam Bekasi
dihantui terror isu arwah penasaran. Diyakini, hantu para prajurit yang terbunuh
di Bekasi bangkit kembali menghantui sekitar tempat mereka meregang
nyawa.
“Mereka disebutkan berbaris dalam formasi
dan melintasi jembatan sementara kepala disembunyikan di balik lengan para
hantu tersebut…” tulis Cribb.
Mengenal Haji Darip, Panglima Perang Klender Sahabat Bung Karno
Liputan6.com, Jakarta - Perjuangan merebut
kemerdekaan di tanah Betawi tak bisa lepas dari
peran ulama dan guru agama yang menjadi panutan bagi masyarakat saat itu.
Tak hanya berdakwah dan menyampaikan syiar islam,
para ulama bahkan ikut turun ke jalan memimpin perlawanan menghadapi penjajah.
Salah satu ulama yang cukup melegenda yaitu Muhammad Arif atau biasa dikenal dengan Haji Darip. Bagi masyarakat Betawi di Jakarta Timur, khususnya kawasan Klender, nama Haji Darip sudah tak asing lagi. Dia dikenal sebagai ulama sekaligus pemimpin perlawanan terhadap kompeni Belanda dan Jepang.
Salah satu ulama yang cukup melegenda yaitu Muhammad Arif atau biasa dikenal dengan Haji Darip. Bagi masyarakat Betawi di Jakarta Timur, khususnya kawasan Klender, nama Haji Darip sudah tak asing lagi. Dia dikenal sebagai ulama sekaligus pemimpin perlawanan terhadap kompeni Belanda dan Jepang.
Baca Juga
- Misteri Harta Jarahan Si Pitung Jagoan Betawi
- Menguak Mistis di Balik Ondel-Ondel Betawi
- Merindukan MH Thamrin, Sang Matahari Jakarta
Selepas menimba ilmu di Mekah dan Madinah selama
beberapa tahun, Haji Darip kembali ke tanah kelahirannya di kawasan Klender
untuk berdakwah. Tak hanya menyampaikan syiar Islam, Haji Darip juga
mengajarkan ilmu bela diri atau main pukul yang dimilikinya.
Pria asli Betawi kelahiran 1886 itu memulai
perjuangan melalui dakwah dari satu musalah ke musalah di kawasan Klender.
Karena dakwah dan syiar islamnya itu, murid dan pengikut Haji Darip lambat laun
terus bertambah.
Haji Darip tak sendiri, dia mengajak serta ulama
lainnya seperti KH Mursidi dan KH Hasbiallah untuk turut berjuang. Lokasi
tempat mereka menyebar semangat perjuangan kini telah berubah menjadi sebuah
bangunan Masjid, bernama Masjid Al Makmur di kawasan Klender.
Dalam berbagai literatur yang dikumpulkan Liputan6.com
disebutkan, Haji Darip pernah berjuang bersama Presiden Sukarno melalui jalur
'bawah tanah' di kawasan Cilincing dan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Baik zaman
Belanda maupun Jepang ia tetap berjuang di jalur perang.
Dari perjuangan bersama ulama, Haji Darip sempat membuat
Barisan Pejuang Rakyat Indonesia (BPRI) ketika bergerilya dari Cikarang
ke Purwakarta hingga Karawang.
Dalam perjuangannya pasukan Haji Darip menjadi
bagian dari perlawanan NICA Belanda yang masuk bersama tentara sekutu. Karena
perjuangannya itu, dia pun dijuluki sebagai 'Panglima Perang Klender'.
Tiga tahun berjuang, Haji Darip tertangkap dan
dipenjara di Rutan Grogol yang kini menjadi kawasan Harco.
Perjuangan tak sampai di situ. Setelah bebas dari
penjara, Belanda telah menyerahkan kedaulatan sepenuhnya pada Indonesia,
Haji Darip punya tugas lain. Dia kembali mengangkat senjata membersihkan
penjajah Jepang dari Jakarta.
1 dari 2 halaman
Berkongsi Dengan Bung Karno
Kemampuan Ilmu bela diri yang dimiliki Haji Darip
pun menjadi hal yang ditakuti penjajah. Bahkan tak hanya pandai bersilat, Haji Darip konon mempunyai
ilmu kebal dan tidak mempan dibacok. Reputasi Haji Darip di kalangan pejuang
makin menjulang.
Reputasinya sebagai 'Panglima Perang' Klender itu
pun membuat para tokoh kemerdekaan, seperti Sukarni dan Pandu Kartawiguna
datang padanya. Mereka mengajak Haji Darip mengusir Jepang dari Jakarta sebelum
Proklamasi dibacakan Soekarno dan Mohammad Hatta.
Apalagi saat itu, isu pasukan Jepang menyerah
selepas bom Hiroshima Nagasaki sudah menyebar luas.
Merespons permintaan dua tokoh muda itu, Haji
Darip pun mengumpulkan para pengikutinya untuk kembali melawan penjajah. Kali
ini misinya mengusir Jepang. Alhasil, Jepang yang berada di Pangkalan Jati,
Pondok Gede, dan Cipinang Cempedak berhasil diusir.
Ilmu agama yang didapat dari Mekah dan Madinah
itulah yang membuatnya tidak ragu berjuang untuk bangsa.
Ada prinsip yang dipegangnya: mencintai Tanah Air
merupakan bagian dari iman. Prinsip itulah yang terus ditanamkan kepada para
jemaahnya sehingga tak gentar dalam berjuang.
Sepeninggal pejuang yang tidak mengenal pamrih
itu, Haji Darip justru mendapat perlakuan yang kurang baik.
Wartawan senior Alwi Shahab menggambarkan kondisi
Haji Darip yang tidak lagi mendapat pensiunan dan tunjangannya sebagai veteran
karena dicabut pemerintah. Tak hanya itu, kediaman tempatnya tinggal juga
terkena proyek pelebaran jalan dan tergusur.
"Hanya makamnya saja yang kini tersisa di
dekat bekas kediamannya," ucap Alwi Shahab.
Bekasi, Titik Awal Pemberontakan Jawara Betawi
Yuliawati,
Aulia Bintang Pratama, CNN Indonesia | Selasa, 21/06/2016 13:47
WIB
Bagikan :
Tanam paksa di
zaman kolonial Belanda. (Collectie Stichting Nationaal Museum van
Wereldculturen via Wikimedia CC-BY-SA-3.0)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sistem tanah partikelir yang
diterapkan pemerintah Hindia Belanda pada abad 19, menimbulkan berbagai reaksi
pemberontakan dan perlawanan yang dipelopori para para jawara di Betawi.
Pemberontakan yang muncul paling awal tercatat pada 3 April 1869 di Tambun, Bekasi. Ketika itu, Bekasi merupakan bagian dari residen Batavia.
Sistem partikelir membuat masyarakat Bekasi sengsara karena sebagian tanah Bekasi dikuasai para tuan tanah Cina dan Eropa.
Pemberontakan yang muncul paling awal tercatat pada 3 April 1869 di Tambun, Bekasi. Ketika itu, Bekasi merupakan bagian dari residen Batavia.
Sistem partikelir membuat masyarakat Bekasi sengsara karena sebagian tanah Bekasi dikuasai para tuan tanah Cina dan Eropa.
“Masyarakat Bekasi termasuk yang paling menderita di mana para tuan tanah memperlakukan rakyatnya sebagai buruh budak yang terus diperas keringatnya,” kata Jenderal Besar TNI (Purn) AH Nasution dalam kata sambutan di buku KH Noer Ali Kemandirian Ulama Pejuang.
Pemberontakan yang terjadi di Tambun dipimpin oleh jawara bernama Bapak Rama. Aksi yang melibatkan ratusan orang ini menewaskan seorang Asisten Residen Meester Cornelis C.E Kuijper, beberapa aparat pemerintah dan tuan tanah. Para pemberontak kemudian dijatuhi hukuman mati dengan eksekusi dilangsungkan di alun-alun Bekasi.
Lihat juga: |
Ketika itu,
meski Bekasi rawan kekerasan, namun tanah dan airnya tetap menarik investor.
Pada 1887 untuk memudahkan kegiatan ekonomi pemerintah Hindia Belanda membangun
rel kereta api dari Manggarai, Cakung, Bekasi, Cikarang, Lemah Abang, sampai
Kedunggedeh.
Jalur kereta ini malah semakin memperbesar eksploitasi terhadap hasil bumi dan tenanga manusia.
“Hidup masyarakat kian terbebani oleh kenaikan harga yang tinggi, upah buruh yang rendah, serta penarikan berbagai jenis pajak dan pungutan liar,” kata Ali Anwar, penulis buku KH Noer Ali Kemandirian Ulama Pejuang, kepada CNNIndonesia.com, pekan lalu.
Jalur kereta ini malah semakin memperbesar eksploitasi terhadap hasil bumi dan tenanga manusia.
“Hidup masyarakat kian terbebani oleh kenaikan harga yang tinggi, upah buruh yang rendah, serta penarikan berbagai jenis pajak dan pungutan liar,” kata Ali Anwar, penulis buku KH Noer Ali Kemandirian Ulama Pejuang, kepada CNNIndonesia.com, pekan lalu.
Rumah tuan tanah Bekasi.
(Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen via Wikimedia
CC-BY-SA-3.0)
|
Saat itu muncul jawara bernama Entong Tolo yang membela kepentingan
rakyat namun kerap terlibat dalam perampokan. Pada 1910, Entong Tolo tertangkap
dan dibuang ke Menado.
Beberapa tahun kemudian, pada 1913 muncul demonstrasi dari kaum buruh petani yang memprotes upah yang terlalu rendah. Aksi ini dimobilisir oleh Djoemiat Islamijah, perpanjangan tangan Sarekat Islam.
Beberapa tahun kemudian, pada 1913 muncul demonstrasi dari kaum buruh petani yang memprotes upah yang terlalu rendah. Aksi ini dimobilisir oleh Djoemiat Islamijah, perpanjangan tangan Sarekat Islam.
Lihat juga: |
“Para petani
menuntut kenaikan upah dari 22 sen menjadi 50 sen,” kata Ali. Menghadapi ini,
pemerintah Hindia Belanda malah menambah pasukan Marsose yang terkenal kejam
pada 1922.
Setelah masa kemerdekaan, para pejuang mempertahankan kemerdekaan dan tak mau dijajah lagi oleh bangsa asing. Beberapa ulama dan para jago yang memimpin perjuangan di antaranya Marzuki Urmaini (dari Gerakan Pemuda Islam Bekasi-GPIB), Kyai Haji Noer Alie, Angkut Abu Gozali, Rijan bersama anaknya, M.Husein Kamaly, dan Gusir.
Berkat perjuangannya Kyai Haji Noer Ali mendapat gelar pahlawan pada 2006.
Haji Darip dan Jaringan Antar Jawara
Tak jauh dari Bekasi, muncul tokoh jawara Betawi asal Klender, Muhammad Arif alias Darip yang dilahirkan pada 1886. Darip yang pernah belajar ke Mekah selama tiga tahun ini dikenal dengan sebutan Haji Darip.
Setelah masa kemerdekaan, para pejuang mempertahankan kemerdekaan dan tak mau dijajah lagi oleh bangsa asing. Beberapa ulama dan para jago yang memimpin perjuangan di antaranya Marzuki Urmaini (dari Gerakan Pemuda Islam Bekasi-GPIB), Kyai Haji Noer Alie, Angkut Abu Gozali, Rijan bersama anaknya, M.Husein Kamaly, dan Gusir.
Berkat perjuangannya Kyai Haji Noer Ali mendapat gelar pahlawan pada 2006.
Haji Darip dan Jaringan Antar Jawara
Tak jauh dari Bekasi, muncul tokoh jawara Betawi asal Klender, Muhammad Arif alias Darip yang dilahirkan pada 1886. Darip yang pernah belajar ke Mekah selama tiga tahun ini dikenal dengan sebutan Haji Darip.
Haji Darip. (CNN Indonesia/Aulia
Bintang Pratama)
|
Haji Darip ketika bekerja di perusahaan kereta api, pernah terlibat
dalam pemogokan jalur kereta api milik Belanda pada 1923. Aksi pemogokan
diorganisir Partai Komunis Indonesia dengan mengerahkan serikat buruh kereta
api. Catatan mengenai kiprah Haji Darip ini tertulis di antaranya di buku Para
Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949, karangan Robert Cribb.
Masyarakat Betawi mengenangnya sebagai pahlawan dan namanya diabadikan menjadi sebuah jalan di daerah Klender menuju Bekasi. Kisah perjuangan Darip dikenang lewat cerita lisan antar penduduk pribumi.
“Babeh tak menyimpan catatan sejarah mengenai masa perjuangannya,” kata Ahmad Huryani alias Haji Uung, 69 tahun, anak dari Haji Darip, kepada CNNINdonesia.com.
Berkat kepiawaiannya, Haji Darip memiliki wilayah kekuasaan yang luas, membentang dari markasnya di Klender, Pulogadung hingga Jatinegara.
Selama masa revolusi kemerdekaan, Haji Darip membangun jaringan dengan jawara lain seperti Camat Nata (gerombolan di Tambun), Haji Eman, Haji Masum Teluk Pucung, dan Pa’ Macen.
Selain itu, Haji Darip berhubungan dekat dengan Kyai Haji Noer Ali, jago dan ulama asal Bekasi dan Imam Syafi’i seorang tokoh jagoan yang menguasai dunia kriminialitas di daerah Senen.
Kerjasama antar para tokoh jawara berupa pembagian senjata dan kendaraan dari markas tentara Sekutu. Menurut Cribb, Haji Darip pernah mendapat suplai senjata dari pemimpin revolusi di Jawa Timur, Dr Mustopo.
Masyarakat Betawi mengenangnya sebagai pahlawan dan namanya diabadikan menjadi sebuah jalan di daerah Klender menuju Bekasi. Kisah perjuangan Darip dikenang lewat cerita lisan antar penduduk pribumi.
“Babeh tak menyimpan catatan sejarah mengenai masa perjuangannya,” kata Ahmad Huryani alias Haji Uung, 69 tahun, anak dari Haji Darip, kepada CNNINdonesia.com.
Berkat kepiawaiannya, Haji Darip memiliki wilayah kekuasaan yang luas, membentang dari markasnya di Klender, Pulogadung hingga Jatinegara.
Selama masa revolusi kemerdekaan, Haji Darip membangun jaringan dengan jawara lain seperti Camat Nata (gerombolan di Tambun), Haji Eman, Haji Masum Teluk Pucung, dan Pa’ Macen.
Selain itu, Haji Darip berhubungan dekat dengan Kyai Haji Noer Ali, jago dan ulama asal Bekasi dan Imam Syafi’i seorang tokoh jagoan yang menguasai dunia kriminialitas di daerah Senen.
Kerjasama antar para tokoh jawara berupa pembagian senjata dan kendaraan dari markas tentara Sekutu. Menurut Cribb, Haji Darip pernah mendapat suplai senjata dari pemimpin revolusi di Jawa Timur, Dr Mustopo.
Lihat juga: |
Seorang yang
pernah menjadi mandor waktu zaman Belanda, Murtadho yang berjuluk Macan
Kemayoran juga memberikan bantuan senjata kepada Haji Darip.
“Babeh mencuri senjata dari gudang penyimpanan di Sunda Kelapa dan membawanya ke Pulogadung dengan menyusupinya ke dalam beras,” kata Iwan Cepi Murthado, anak dari Murthado kepada CNNIndonesia.com, Rabu (15/6).
Selain membangun jaringan dengan para jawara lain, Haji Darip bekerjasama dengan kelompok Menteng 31, yaitu kelompak kaum muda terpelajar Indonesia yang terdiri dari para mahasiswa kedokteran. Pada saat berlangsung pertemuan di Lapangan Ikada pada 19 September 1945, Haji Darip mengutus anak buahnya menghadiri pertemuan.
Laskar Rakyat
Pada masa masa revolusi kemerdekaan, muncul perlawanan rakyat dalam bentuk laskar-laskar sipil bersenjata. Haji Darip memimpin Barisan Rakyat (BARA).
“Babeh mencuri senjata dari gudang penyimpanan di Sunda Kelapa dan membawanya ke Pulogadung dengan menyusupinya ke dalam beras,” kata Iwan Cepi Murthado, anak dari Murthado kepada CNNIndonesia.com, Rabu (15/6).
Selain membangun jaringan dengan para jawara lain, Haji Darip bekerjasama dengan kelompok Menteng 31, yaitu kelompak kaum muda terpelajar Indonesia yang terdiri dari para mahasiswa kedokteran. Pada saat berlangsung pertemuan di Lapangan Ikada pada 19 September 1945, Haji Darip mengutus anak buahnya menghadiri pertemuan.
Laskar Rakyat
Pada masa masa revolusi kemerdekaan, muncul perlawanan rakyat dalam bentuk laskar-laskar sipil bersenjata. Haji Darip memimpin Barisan Rakyat (BARA).
BARA membentuk pasukan berani mati yang
anggotanya terdiri dari narapidana kasus pembunuhan.
|
Menurut Amurwani Dwi Lestariningsih dalam Para
Penuntut Balas : Jago dan Jagoan Studi Kriminalitas di Jakarta 1945-1950,
BARA ini pernah mendapat didikan militer pada masa Jepang. Kelompok ini selain
merekrut anggota dari masyarakat biasa, juga menarik para narapidana Cipinang .
BARA membentuk pasukan berani mati yang anggotanya terdiri dari narapidana kasus pembunuhan. "Para penghuni tahanan segan dan menaruh hormat terhadap Haji Darip karena ilmu silat dan ilmu kebal yang dimilikinya," tulis Amurwani.
Beberapa pertempuran yang dihadapi BARA di antaranya serangan pada 20 November 1945, di daerah Jati Petamburan, Karet dan Jati Baru. Pada awal Januari 1946, serdadu-serdadu NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie) membakar rumah-rumah di Jatinegara, Kemuning, dan Gang Ambon.
Kelompok Darip tak kuasa menghadapi perlawanan NICA karena kurangnya persenjataan. Serangan-serangan ini memaksa kelompok Darip bergeser ke luar Jakarta.
Awalnya mereka mundur ke Pulogadung berlanjut ke Cakung, Cikarang, Tambun, Bekasi, Kerawang, Cikampek dan akhirnya mendirikan markas di Purwakarta.
BARA membentuk pasukan berani mati yang anggotanya terdiri dari narapidana kasus pembunuhan. "Para penghuni tahanan segan dan menaruh hormat terhadap Haji Darip karena ilmu silat dan ilmu kebal yang dimilikinya," tulis Amurwani.
Beberapa pertempuran yang dihadapi BARA di antaranya serangan pada 20 November 1945, di daerah Jati Petamburan, Karet dan Jati Baru. Pada awal Januari 1946, serdadu-serdadu NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie) membakar rumah-rumah di Jatinegara, Kemuning, dan Gang Ambon.
Kelompok Darip tak kuasa menghadapi perlawanan NICA karena kurangnya persenjataan. Serangan-serangan ini memaksa kelompok Darip bergeser ke luar Jakarta.
Awalnya mereka mundur ke Pulogadung berlanjut ke Cakung, Cikarang, Tambun, Bekasi, Kerawang, Cikampek dan akhirnya mendirikan markas di Purwakarta.
Lihat juga: |
Pada 1947, Haji Darip tertangkap
oleh pasukan Belanda di Cirebon dan dijebloskan ke dalam penjara Glodok. Ia
dijatuhi hukuman selama dua tahun delapan bulan. Pada 1950, Darip dibebaskan
kawan-kawan seperjuangannya dalam suasana Republik Indonesia Serikat.
Haji Darip meninggal tahun 1981 dalam usia 84 tahun. “Bapak sakit-sakitan, dia dirawat di Cempaka Putih dan dimakamkan di Tanah Koja,” kata Haji Uung.
Haji Darip meninggal tahun 1981 dalam usia 84 tahun. “Bapak sakit-sakitan, dia dirawat di Cempaka Putih dan dimakamkan di Tanah Koja,” kata Haji Uung.
Jawara subang dalam pertempuran keranji bekasi
JAWARA SUBANG DI BEKASI....
DALAM PERTEMPURAN KRANJI......
DALAM PERTEMPURAN KRANJI......
Siang itu di dekat stasiun Kranji, pasukan tank
kavaleri FAVO ke 11 tentara Inggris baru saja mulai memasuki wilayah stasiun
Kranji.
4 tank Stuart mengawali Konvoi pasukan Inggris
yang akan memberi pelajaran pada "Bekasi" .... Dibelakang
sejumlah truk pengangkut pasukan masih jauh tertinggal.
Biasanya kendaraan lapis baja akan mendahului
sekaligus menembak untuk membuka jalan.
Rombongan lapis baja Inggris ini berhenti
dipalang pintu kereta sebelum stasiun Kranji karena ada sinyal yang menandakan
kereta ada lewat.
Sembari menunggu para awak tank ini, santai saja
tanpa memperdulikan sekitar mereka, tanpa disadari mereka bahwa sekelompok
orang mengawasi gerak gerik tentara Inggris ini.
"Allah hu Akbar!".... Allah hu
Akbar! "...Tiba tiba seruan takbir itu keras terdengar dan bersahutan.
Diiringi oleh gerakan orang orang yang tiba tiba naik ke atas tank Inggris
seraya mengeluarkan senjata tajam lalu menghujamkan senjata macam golok, keris
dan sabit.
Lalu disusul ledakan granat yang dilemparkan
mereka ke dalam tank.
Serdadu Inggris tidak siap!..
terkesima, gagap mereka mencoba melawan. Terjadi pertarungan satu lawan satu.
terkesima, gagap mereka mencoba melawan. Terjadi pertarungan satu lawan satu.
Tentu saja senjata api tidak bisa memainkan peran
sama sekali dalam man to man fight ini, dan akhirnya setelah mencoba
bertahan.... Konvoi ini mengundurkan diri kembali ke arah stasiun Cakung dengan
kerugian besar.
Sedang para laki laki yang menyerang tiba tiba
tentara Inggris itu mendapatkan sejumlah senjata api diantaranya 12 karaben dan
10 senapan mesin.
Mereka adalah pendekar silat Subang yang secara
sukarela membantu perjuangan di Front Bekasi.
Pendekar silat Subang ini dipimpin oleh Haji Ama
Purwadireja menghadap komandan Resimen Tjikampek untuk meminta ijin berjuang di
fornt terdepan. Dengan di bekali sedikit taktik militer oleh pak Moefreni
Moe'min, mereka menunjukan "taji" nya dan yang menjadi korban adalah
serdadu Inggris.
Dalam perang satu lawan satu ini, dipihak pesilat
gugur 6 orang, sedang di pihak Inggris tidak bisa diketahui berapa korban
mereka, namun bila dilihat hasil pertempuran itu.. bisa dibayangkan betapa
Inggris ketemu batunya.
Pasukan Inggris dari Devisi kavaleri FAVO
ke 11 mungkin "Jawara" perang kavaleri... Apa lagi sebagai pemenang
perang dunia II, tapi di Kranji... menghadapi golok dan keris...
tak pelak... Akan menjadi catatan tersendiri buat Inggris.
Sumber: buku Jakarta Karawang Bekasi diantara
gejolak revolusi, perjuangan Moefreni Moe'min
NEWS STORY: Kenalin! Engkong Mursal, Jawara Perang Kemerdekaan Asal Bekasi yang Masih Gahar
Randy Wirayudha, Jurnalis ·
Sabtu 06 Mei 2017 16:04 WIB
- Share on Facebook
- Share on Twitter
- Share on Google
- Share on linkedin
- Share on Pinterest
- Share on mail
- copy link
- Toggle
Engkong (kakek) H Mursal, salah satu veteran Laskar
Hisbullah-Sabilillah pimpinan KH Noer Ali yang masih tersisa (Foto: Randy
Wirayudha)
KAWASAN Babelan yang berada di pesisir utara Kabupaten Bekasi dekat
Laut Jawa, bisa dibilang sebagai kampung petarung selain kampung santri. Tidak
hanya banyak jawaranya, tapi juga dikenal jadi tempat banyak bermukimnya eks
petarung revolusi fisik 1945-1949.
Engkong (kakek) H Mursal salah satunya.
Berangkat dari kenal dekatnya engkong dengan salah satu keponakan ulama ternama
serta pahlawan nasional asal Bekasi KH Noer Ali, tak pelak engkong
Mursal pun ikut angkat senjata di masa perang kemerdekaan.
BERITA TERKAIT +
- OKEZONE STORY: Sisi Lain Jenderal Soedirman, Menjadi Guru Sebelum Berjuang Memerdekakan Indonesia
- NEWS STORY: Letjen TB Simatupang, Pahlawan Nasional yang Religius dan Kritis terhadap Pemimpin
- OKEZONE STORY: Peran Kongres Pemuda II yang Jadi Cikal Bakal Lahirnya Sumpah Pemuda
Sebagaimana para (mantan) petarung republik di
wilayah Pantai Utara (Pantura) Pulau Jawa yang pernah ditemui penulis, engkong
Mursal masih nampak “segar” lagi gahar di usianya yang sudah memasuki
89 tahun. Masih galak, masih kuat pula mengembuskan asap rokok kretek yang
diisapnya.
Informasi awal tentangnya, didapat dari rekan
penggiat sejarah komunitas Front Bekassi yang berprofesi sebagai notaris,
Nurkholis Wardi. Blusukan dan pencarian pun dilancarkan bersama rekan dari
komunitas yang sama, Beny Rusmawan.
Setelah tanya sana-sini, didapatlah kediaman sang
engkong. Kediaman yang asri dengan banyak pohon dan bangunan rumah
sederhana dengan halaman yang luas di depan dan di belakangnya yang dihiasi
pohon bambu jepang.
“Kalau ngomong sama engkong,
yang sabar yak. Kadang suka ngulang-ngulang pertanyaan.
Namanya juga udah tua. Kalau rada galak, maafin yak,”
cetus Syafei, salah satu putra engkong H Mursal yang ditemui sebelum
masuk ke rumahnya.
Sajian kopi hitam panas dan “cemilan” anggur
merah pun melengkapi suasana bertamu. Obrolan ringan sembari minta izin
menggali kisahnya mengawali perkenalan yang Alhamdulillah, direspons
hangat.
Dari yang tadinya tengah rebahan di kasur
kapuknya dengan bercelana training dan kemeja yang kancingnya terbuka semua,
hingga berkenan duduk sembari mengenakan kacamata tebalnya.
“Dulu pertama kali ikut Kiai (Noer Ali) karena
keponakannya yang biasa maen (bergaul) sama saya. Ketika Kiai
memobilisasi pemuda kampung untuk ikut laskar, dateng dia 3 kali ke
rumah. Pas dapet izin orangtua, baru saya ikut laskar pimpinan Kiai (Noer
Ali),” tutur engkong H Mursal kepada Okezone dengan
logat Betawi yang kental di kediamannya di Desa Ujung Bahagia, Babelan, Bekasi.
“Kita dilatih sama M Hasibuan yang dari TKR Laut
(Tentara Keamanan Rakyat Laut, kini TNI AL) dan tentara TKR (darat) anak
buahnya pak Sambas (Atmadinata, Komandan Batalyon V/Bekasi). Setelah itu
ditempatkan di asrama pemuda laskar di Pebayuran,” imbuhnya.
Engkong H Mursal selepas pelatihan
Laskar Hisbullah-Sabilillah pimpinan KH Noer Ali, tak luput dari rolling tugas
menjaga garis demarkasi (Inggris-TKR) di sekitar Kali Cakung, medio November
1945.
“Kita ya ganti-gantian jaga, gabungan TKR sama
laskar jaga Kali Cakung. Kadang dikunjungi langsung pak Sambas, pak Lukas
(Kustaryo, Danyon I Sektor Karawang-Bekasi). Ngerubuhin pohon sengon
sama pohon kelapa buat barikade,” lanjut engkong Mursal.
“Tapi yang namanya Belanda mah, alatnya
lengkap. Gampang buat mereka minggirin barikadenya,” sambungnya
lagi seraya penulis membenarkan bahwa yang disebut Belanda itu adalah tentara
Inggris, lantaran buat engkong, semua orang kulit putih disebutnya
Belanda.
Inggris merangsek ke wilayah republik
pasca-kejadian salah satu pesawat mereka jatuh di Rawagatel, Cakung dan
penumpangnya tiada yang selamat. Diyakini, mereka yang selamat dicabut nyawanya
oleh oknum-oknum petarung republik.
Pecahlah Pertempuran Sasak Kapuk. Pertempuran di
Pondok Ungu yang kalau sekarang, adanya di simpang Jalan Sultan Agung, Kota
Bekasi.
“Itu yang meninggal sampai 27 orang. Anak-anak
(laskar, TKR dan TKR Laut) pada kagak denger apa kata Kiai. Mereka
lihat mortir-mortirnya kagak meledak di persawahan, malah pada maju. Padahal
Kiai perintahin buat mundur. Tahu-tahu Belanda datengin pasukan
bantuan dari Kranji,” kenangnya.
Engkong Mursal sendiri jadi salah satu pelakunya
dan beruntung, dia sempat mendengarkan seruan KH Noer Ali untuk mundur lantaran
pasukannya kalah persenjataan dari Inggris.
Di antara sepak terjang pengalamannya yang paling
diingat, adalah ketika engkong H Mursal dan kawan-kawannya nyaris
menghabisi tiga orang asing yang ditangkapnya. Ini yang bikin penasaran, karena
memang pernah ada cerita yang sama tapi beda versi.
Versi dari beberapa literatur, ada orang asing
yang ditangkap dan dijadikan mualaf serta salah satunya dinamai Mustofa, tapi
asalnya tentara British India. Akan tetapi versi engkong H Mursal,
yang ditangkap itu berkulit putih alias bule yang digeneralisasikannya
sebagai Belanda.
“Pernah kita lagi patroli, nangkep tiga
orang Belanda. Hampir kita habisin tuh. Kita sempat bawa dulu ke
Kiai,” cetusnya lagi yang coba diklarifikasi lagi dengan memotong omongannya,
soal benarkah yang ditangkap orang Belanda atau Inggris.
“Et dah, dengerin dulu gue
mau ceritain ini!,” ketus engkong dengan nada meninggi.
Tapi bukannya malah kesal, kami justru tambah
antusias melihat dan mendengar kisah engkong yang masih gahar
di usia senjanya.
“Dia itu Belanda, orang badannya gede tinggi
begitu, kulitnya putih. Ada tiga orang, tapi yang punya kemampuan
(militer/angkat senjata) cuma satu. Yang dua enggak bisa dan cuma
dijadiin pesuruh aja sama Kiai,” kisahnya lagi.
“Awalnya mau kita matiin itu. Tapi kata
Kiai: ‘Dia kan sama-sama manusia seperti kita. Jangankan dibunuh, dicolek
aja enggak boleh’. Terus yang satu itu yang punya kemampuan (militer),
dijadiin mualaf dikasih nama Mustofa sama Kiai. Selebihnya, kita berantem
(berperang/bergerilya) bareng-bareng sama dia itu,” tandas engkong
Mursal.
Engkong Mursal walau hanya berstatus
laskar di masa perjuangan, setidaknya masih dapat tunjangan veteran bulanan, sebagaimana
para pejuang lainnya asal Babelan berkat H Wardi, salah satu keponakan KH Noer
Ali yang berkenan mengurus tunjangan mereka.
Perpisahan serasa tak lengkap kalau tidak berfoto
dengan salah satu penyabung nyawa demi negara kita yang sudah merdeka ini. “Et
dah, masak foto sama orang tua,” cetusnya saat kami minta berfoto
dengannya.
“Lha iya, kong. Justru sama
pejuang petarung begini kita senang dan bangga bisa berfoto bareng,” timpal
Beny seraya mengancingkan kemeja engkong H Mursal jelang berfoto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar