Keluarga Gerilya karya Pramudya Ananta Toer
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab https://www.republika.co.id/berita/senggang/nostalgia-abah-alwi/15/12/30/o057ou282-glodok-menguak-jejak-orang-tionghoa
Glodok yang mendapat julukan China Town atau
Pecinan diabadikan melalui foto sekitar 1940-an. Dalam foto tersebut, terlihat
gedung-gedung tua dengan aksara Mandarin. Sedangkan, rumah-rumah yang sekaligus
toko (ruko) masih meniru gaya di daratan Cina.
Masih terlihat tiang listrik dan telepon yang kini
sudah tidak terdapat lagi dan berada di bawah tanah. Glodok 60 tahun lalu ramai
dengan manusia yang lalu-lalang. Sado merupakan alat tranportasi utama kala
itu, sedangkan becak baru muncul setelah pendudukan Jepang (1942-1945).
Kini, banyak warga Tionghoa di Glodok yang menjadikan
kawasan ini sebagai tempat menggelar dagangannya. Sebagian mereka telah pindah
ke kawasan elite dan memiliki rumah mewah, seperti di Pantai Indah Kapuk,
Pluit, Sunter, Ancol, dan Pondok Indah.
Glodok pada masa Belanda seperti juga sekarang
merupakan wilayah ekonomi yang tak henti memompa denyut perdagangan, bukan
hanya sekadar kawasan yang identik dengan Pecinan. Dalam sejarah kontemporer
Jakarta, Glodok punya banyak arti: perjuangan kaum migran, kejayaan,
keterpurukan, dan perlawanan terhadap nasib dan penindasan.
Ada banyak hal untuk mengenang Glodok tempo doeloe:
para kapitan Cina selama ratusan tahun berjaya, ribuan orang Cina pernah
dibantai dengan kejam oleh Belanda, nostalgia Imlek (tahun baru Cina), Cap Go
Meh (malam ke-15 Imlek), dan Peh Cun (hari ke-100 tahun baru Imlek).
Jejak-jejak tersebut terus luntur dimakan waktu dan
zaman. Padahal, itu masih tetap terasa kental dan menjadi sejarah yang
memperkaya Jakarta. Setelah 30 tahun dilarang Orde Baru, kini setiap menjelang
Imlek kita dapati Glodok tengah bersiap merayakan hari tahun barunya.
Tidak disangsikan lagi, Glodok adalah daerah
tradisional, tradisi yang berasal dari negeri leluhur ketika mereka berimigrasi
besar-besaran sekitar 400 tahun lalu dari daratan Cina. Kalau kita mau lebih
mendalam lagi mengetahui asal usulnya, glodok berasal dari nama yang berbunyi grojok-grojok.
Tempat ini merupakan pemberhentian kuda-kuda penarik
beban untuk diberi minum. Di kawasan Glodok, terdapat pertokoan Pancoran yang
dulunya adalah tempat orang mengambil air minum dan mandi.
Menjelajahi atau melihat foto-foto abad ke-19 dan awal
abad ke-20, kita akan mendapati orang Tionghoa yang lalu-lalang dengan rambut
dikepang panjang ke belakang dan bagian depan dicukur licin. Hal itu merupakan
tradisi warisan dari Manchu yang menjajah daratan Cina selama tiga ratus tahun.
Pemerintah kolonial Belanda sendiri, di samping
mengharuskan orang Cina tinggal di satu tempat, melarang mereka berbusana
seperti pribumi dan Barat. Mereka yang melanggar peraturan ini dikenakan
hukuman denda, bahkan kurungan.
Menelusuri Jejak Tionghoa di Jakarta
0 Mei 2011 23:25 Diperbarui: 26 Juni 2015 05:51 1 2 2
1389864328138261887
Jauh sebelum Belanda membangun Batavia (kini Jakarta) tahun
1619, orang-orang Cina sudah tinggal di sebelah Timur muara Ciliwung tidak jauh
dari pelabuhan itu. Mereka menjual arak, beras dan kebutuhan lainnya termasuk
air minum bagi para pendatang yang singgah di pelabuhan. Namun, ketika Belanda
membangun loji di tempat itu mereka pun diusir. Baru, setelah terjadinya
Pembantaian Orang Tionghoa di Batavia (9 Oktober 1740), orang-orang Tionghoa
ditempatkan di kawasan Glodok yang tidak jauh dari 'Stadhuis' (kini Museum
Fatahillah) dengan maksud agar mudah diawasi.
Di Pecinan Glodok dan sekitarnya tempo doeloe konglomerat Khouw pernah
berjaya; ribuan orang China juga pernah dibantai; perayaan Imlek; semarak Cap
Go Meh; nostalgia Peh Cun, panasnya perjudian dan madat, serta aktivitas
perdagangan dan perekonomian yang terus bergelora. Jejak-jejak itu, kendati
terus memudar, masih tetap terasa kental. Walau sempat di kekang puluhan tahun,
kini etnis yang mendarah menjadi daging dari suku Betawi ini tengah merayakan
Imlek dan Cap Go Meh. Aksara China, bahasa Mandarin, berbagai pertunjukan
tradisi lama Tionghoa pun semakin semarak. Sejak dulu, kawasan Glodok memiliki
potensi dan letak yang strategis, maka tak aneh jika mendorong banyak orang
mengadu nasib. Tak hanya orang China, orang Eropa, dan kaum pribumi pun banyak
tumpah ruah di Glodok. Saat ini, orang Betawi (dari kata Batavia) yang
belakangan muncul pada abad ke-19 sebagai suku tersendiri merupakan akulturasi
dari banyak budaya itu. Glodok kini, bukan hanya dikenal sebagai pusat
perdagangan elektronik. Wilayah perekonomian yang tak henti berdenyut ini bukan
pula sekedar kawasan yang identik sebagai Pecinan saja. Karena dalam sejarah
kontemporer Jakarta, glodok memiliki banyak arti: perjuangan kaum imigran,
kejayaan, keterpurukan dan perlawanan terhadap nasib dan penindasan. Ini
berlaku bagi siapa saja yang tinggal di Glodok dan sekitarnya. PECINAN
TIDAK HANYA DI GLODOK
Sesungguhnya, kawasan Pecinan di Jakarta tidak saja identik dengan
Asemka, Glodok, Pancoran dan Petak Sembilan. Karena dalam sejarah Jakarta,
kawasan lain sebagai Pecinan banyak bermuculan setelah pusat kota Batavia
dipindahkan ke Weltevreden (kini Monas dan Lapangan Banteng) diawal abad ke-19.
Kawasan -kawasan lain sebagai Pecinan itu misalnya terdapat di Passer Baroe,
Meester Cornelis Senen (Jatinegara), Pasar Senen; Pasar Tanah Abang, dsb. Di
setiap kawasan tersebut hingga saat ini masih dapat kita temui jejak sejarah
Tionghoa yang unik dan menarik untuk ditelusuri.
- Pancoran dan Glodok Nama
'pancoran' berasal dari pancuran air yang terbuat dari bambu. Dahulu, di Glodok
memang terdapat sumber air yang mampu memenuhi kebutuhan air minum masyarakat
Kota Batavia. Air dari Pancoran di alirkan ke taman Fatahillah menggunakan pipa
tanah liat. Pipa ini sempat dipotong dan dihancurkan oleh Pemda DKI demi
pembuatan Tunel yang menghubungkan Stasiun BeOS dan Museum Bank
Mandiri pada tahun 2006 lalu. Di tengah taman Fatahillah kemudian dibuat tempat
minum kuda dan masyarakat (1873). Alat itu menyerupai kubah Museum Fatahillah.
Sedangkan nama 'glodok' berasal dari suara air yang berbunyi 'grojok-grojok'
kemudian lidahnya kepleset menjadi 'glodok.' Versi lain menyebutkan bahwa
glodok berasal dari grobak pengangkut air tersebut yang bernama
"golodok." Sebagai kawasan pecinan, Pancoran -Glodok merupakan
kawasan paling padat dan ramai. Beberapa bangunan bergaya Tionghoa masih
terdapat di sini. Namun, jumlahnya sangat sedikit karena banyak yang
dihancurkan oleh pemiliknya. Antara lain yang masih selamat: Kelenteng Jin de
Juan; Gereja Santa Maria de Fatima; dan Kelenteng Toa Sai Bio. - Passer
Pagi Lama -Asemka Pasar Pagi Lama terletak di Asemka, tepatnya di
belakang Museum Bank Mandiri. Di sini lah pusat grosir terbesar Indonesia yang
menjual berbagai jenis barang murah dari kelontong hingga asesoris. Sebagai
Pecinan, di sini juga tentunya banyak terdapat rumah bergaya Tionghoa. Ciri
umum rumah Tionghoa adalah di bawah toko, di atas sebagai tempat tinggal (ruko,
rumah dan toko). Ada juga yang hanya satu lantai saja. Sayang, rumah-rumah itu
kini banyak yang didiamkan, dihancurkan pemiliknya, ditiban dengan bangunan
baru atau sama sekali dihancurkan. Para pedagang asongan kereta jalur
Kota-Bogor, Kota-Cikampek, dan Kota-Merak biasanya berbelanja di sini. Pedagang
asongan bis-bis antar kota juga demikian. Jika Anda tertarik untuk berjualan,
tempat ini sangatlah tepat. Bayangkan saja harga 1 buah ballpoint yang dijual
di bis/kereta dengan harga Rp. 1000,-/buah, di sini dibeli dengan harga bisa
sampai Rp. 250/buah. Tentunya harus membeli dalam jumlah yang banyak. - Jl.
Perniagaan dan Rumah Keluarga Souw
Di sebelah Selatan Pasar Pagi Lama, terdapat Jl. Perniagaan, jalan ini
dahulu disebut Jl. Patekoan. Konon, nama
Patekoan berarti '8 buah teko/poci' (pat te-koan). Di
daerah ini pernah tinggal seorang Kapiten Cina
Gan Djie (1663-1675). Istrinya yang berjiwa sosial, setiap hari
menyediakan 8 buah teko (poci) berisi air teh. Angka 8 sengaja dipilih sebab
angka ini mempunyai konotasi baik atau 'hoki.' Dahulu belum banyak orang yang
berjualan makanan dan minuman, jadi bagi pejalan kaki yang kelelahan/kehausan
dipersilahkan minum air teh yang disediakan. Jl. Patekoan kini dinamankan Jl.
Perniagaan yang sama sekali tidak mengandung makna apa-apa, selain bisnis.
Masih dari jalan perniagaan, terdapat rumah tua milik keluarga Souw.
Keluarga Tionghoa ini dahulu terkenal sangat kaya-raya. Salah satunya adalah
kakak-beradik Souw Siauw Tjong dan Souw Siauw Keng. Souw
Siauw Tjong selain orang kaya dia berjiwa sosial. Ia mendirikan sekolah-sekolah
bagi anak-anak boemipoetra di tanah miliknya, membantu orang-orang
miskin, menyumbangkan makanan dan bahan bangunan ketika terjadi kebakaran.
Maka, Tjong diberikan gelar luitenant titulair (kehormatan) oleh
pemerintah Hindia Belanda pada Mei 1877. Namanya juga tercantum sebagai donor
pada pemugaran Kelenteng Boen Tek Bio Tanggeang 1875 dan Kelenteng Kim
Tek Ie (kini Jin de Juan) Batavia tahun 1890. Sedangkan Souw Siauw Keng
(1849-1917) diangkat menjadi luitenant der Chineezen di Tanggerang
tahun 1884. Beberapa meter dari rumah besar Keluarga Souw, terdapat bangunan
yang kini menjadi sekolah SMAN 19 Jakarta. Di kalangan anak-anak Kota, sekolah
ini sangat populer dengan sebutan cap-kau, artinya "sembilan
belas". Gedungnya sangat bersejarah, sebab di tempat inilah pertama kali
berdiri sebuah organisasi Tionghoa "modern" di kota Batavia, bahkan
di Hindia Belanda. Pada 17 Maret 1900 berdiri perhimpunan Tiong Hoa Hwee
Koan (THHK). Tahun berikutnya THHK mendirikan sekolah modern pertama yang
disebut Tiong Hoa Hak Tong disusul pembukaan cabang-cabang lain di
seluruh Hindia Belanda. Berdirinya sekolah-sekolah ini merupakan reaksi
masyarakat Tionghoa terhadap pemerintah Belanda yang selama itu tidak pernah
meberikan pendidikan kepada anak-anak mereka. Akibat perkembangan yang sangat
pesat, pemerintah kolonial Belanda, yang khawatir anak-anak Tionghoa akan
"tersedot" semua ke sekolah yang dibentuk THHK itu, serta-merta
Belanda mendirikan Hollandsch Chineesche School (HCS), yaitu sekolah
berbahasa Belanda bagi anak-anak Tionghoa. Pada 1965, THHT yang di Jl. Patekoan
itu di tutup oleh pemerintah Orde Baru dan bangunannya diambil alih menjadi
sekolah pemerintah dengan nama SMAN 19 Jakarta. - Kawasan Elit Mangga
Dua Wilayah Mangga Dua berada di luar benteng kota Batavia, merupakan
wilayah penempatan bagi pemukiman pribumi kelompok etnis. Posisinya sebelah
tenggara Kasteel Batavia. Wilayah ini menjadi lahan pertanian bagi keperluan
Kasteel Batavia. Dalam perkembangan berikutnya, banyak pejabat VOC Belanda dan
orang kaya Eropa yang memilih membangun bungalow di daerah ini. Salah satu yang
terkenal adalah Pieter Erberveld yang memiliki tanah luas di Mangga Dua. Di
pojok tenggara Kasteel Batavia terdapat tempat hiburan yang disebut dengan
Macao Pho, di sini banyak wanita penghibur yang didatangkan dari Macao/ daratan
Cina untuk menghibur para pelaut yang datang bersampan melewati Ciliwung yang
menghubungkan Jassenberg (jembatan Jassen) dengan pelabuhan. Ada
tempat hiburan ada juga tempat ibadah. Maka, di sini juga terdapat Gereja Sion
bagi orang-orang Portugis tawanan VOC Belanda yang dimerdekakan karena pindah
anutan dari Katholik menjadi Protestan (kaum mardijker). Di Mangga Dua
terdapat banyak peninggalan sejarah, yaitu: Mesjid Mangga Dua yang dibangun
awal abad ke-20, di dalamnya terdapat makam keramat; Areal pemakaman
orang-orang Tionghoa, termasuk makam Kapitein Cina pertama di Batavia, Souw
Beng Kong. Ia adalah sahabat lama dari Jan Pieterzon Coen. Ketika JP. Coen
menjadi Gubernur Jenderal VOC dan mulai membangun Kasteel Batavia, ia mengajak
Souw Beng Kong yang berada di Banten untuk membawa masyarakat Cina bergabung di
Batavia. Kemudian Souw Beng Kong datang ke Batavia dengan membawa 300 orang
Cina. Maka, ia diberi pangkat Kapitein, sebuah pangkat tertinggi bagi kelompok
etnis yang menjadi abdi VOC. Kelompok masyarakat lain juga diberi pangkat
demikian Seperti Kapitein Arab; Kapitein Banda, Kapitein Bali; juga pangkat
Mayor dan Liutenant. - Kawasan Passer Baroe
Passer Baroe mulai ada sejak tahun 1821. Dinamakan pasar baru karena
pada saat itu pasar ini relatif baru dari dua pasar yang telah ada sebelumnya
yaitu pasar Senen dan pasar Tanah Abang yang dibangun sejak 1735. Passer Baroe
awalnya merupakan perkampungan yang dihuni masyarakat Tionghoa. Kemudian
menjadi daerah pertokoan, walaupun keadaannya masih sepi. Memasuki abad ke-20,
jalan yang membelah pasar itu akhirnya dipenuhi toko-toko. Itu pula yang
mendorong pemerintah Hindia Belanda memperindah Passer Baroe dengan mengucurkan
dana yang cukup besar. Maka, dibuatlah trotoar di kiri kanan jalan. Semakin
hari Pasar Baru semakin bersinar.
Kala itu barang-barang yang dijual masih berupa kelontong, bukan sepatu atau
tekstil seperti sekarang ini. Baru pada tahun 1903, Tio Thek Hong
mendirikan toko di pojok kanan jalan perempatan gang Kelinci dan Pasar Baru.
Area ini menjual barang-barang anyar dari Eropa dan Amerika. Di toko ini
pembeli juga tak harus menawar karena harganya pasti. Berkat Tio Tek Hong pula
area ini naik daun. Pasar baru dikenal sebagai daerah elit karena berada dekat
dengan kawasan rijswijk (jalan Veteran) yaitu kawasan khusus dimana
orang-orang kaya tinggal. kalau kawasan rijswijk didominasi oleh
bangunan perkantoran dan tempat tinggal, maka kawasan ini adalah tempat untuk
rekreasi dan belanja mereka. Namun, kini pasar baru pamornya mulai memudar. Hal
ini karena menjamurnya pasar-pasar raksasa yang lebih modern seperti hypermart
dan mall-mall. - Kawasan Meester Cornelis Senen -Jatinegara
Pada masa penjajahan Belanda, Jatinegara merupakan pusat dari kabupaten
yang dikenal sebagai Meester Cornelis. Kabupaten Jatinegara saat itu meliputi
Bekasi, Cikarang, Matraman dan kebayoran. Nama Meester Cornelis diganti menjadi
Jatinegara pada masa pendudukan Jepang sekitar tahun 1942. Meskipun demikian,
nama Jatinegara yang berarti 'negara sejati' itu sudah dipopulerkan oleh
Pangeran Ahmad Jayakarta saat beliau mendirikan perkampungan Jatinegara Kaum di
wilayah Pulo Gadung, Jakarta Timur. Versi lain mengatakan bahwa nama Jatinegara
diadaptasi dari banyaknya pohon jati yang masih ditemukan di kawasan tersebut
pada masa pendudukan Jepang, sehingga nama Meester Cornelis diganti menjadi
Jatinegara.
Pada pertengahan abad ke 17, Belanda memberikan ijin pembukaan hutan di
sebuah kawasan yang jaraknya kira-kira 15-20 kilometer dari Batavia kepada
Cornellis Senen (seorang guru agama Kristen). Cornellis Senen adalah seorang
keturunan Portugis yang berasal dari Lontor, Pulau Banda. Dia mampu berkhotbah
dalam bahasa Melayu maupun Portugis (Kreol). Cornellis Senen biasa dipanggil
Meester yang berarti tuan guru. Konon beliau ditolak oleh panitia ujian saat
beliau ingin menempuh ujian untuk menjadi seorang pendeta pada tahun 1657. Bisa
jadi beliau ditolak karena beliau bukan asli keturunan Belanda. Namun demikian,
beliau diberi hak untuk membuka hutan dan menebang pohon jati di tepi sungai
Ciliwung. Hutan yang dibukanya kini menjadi daerah padat penduduk yang dikenal
sebagai Jatinegara. Nama Meester sendiri diabadikan menjadi Pasar Meester. Di
pasar ini banyak terdapat peninggalan sejarah berupa rumah-ruamh Tionghoa lama,
tentunya hal itu mengindikasikan sebagai Pecinan. Objek sejarah lain yang
terdapat di Jatinegara yaitu: Gereja Koinonia yang dibangun akhir abad ke-19;
SMPN 14 Jakarta; Stasiun Kereta Api Jatinegara; Gedung Eks. Kodim 0505; Kantor
Pos Jatinegara; dll. - Passer Senen dan Tanah Abang Kedua
pasar ini didirikan oleh seorang Belanda bernama Justinus Vinck pada tahun 1735
di atas tanah miliknya. Pasar Senen didirikan di Weltevreden (kini
Monas dan Lapangan Banteng) sebelah Timur, sedangkan di tempat lain dibangun
juga pasar Tanah Abang. Untuk menghubungkan kedua pasar itu maka dibuatlah
jalan yang melewati Kampung Lima, Jembatan Prapatan sampai simpang Senen -
Kramat. Inilah jalan pertama yang menghubungkan timur dan barat Jakarta. Di
pasar Senen atau Vinckepasser dahulu banyak dijual sayuran. Berbeda
dengan sekarang yang banyak menjual pakaian bekas dan bursa kue subuh. Nama
pasar Senen sendiri berasal dari nama hari, karena hanya buka tiap hari Senen
saja. Berbeda dengan pasar Senen, di pasar Tanah Abang dahulu banyak dijual
kambing. Namun, tidak sampai hari ini, karena harus beralih mejadi bursa
tekstil terbesar di Indonesia. Hari bukanya juga hanya Sabtu saja. Hal ini
bahkan sampai pemerintah menetapakan hari Senen dan Sabtu sebagai hari pasar.
Sejak 1751 pasar Tanah Abang buka juga hari Rabu. Kini, kedua pasar itu buka
tiap hari karena kebutuhan masyarkat yang terus meningkat. Keadaan pasar di
masa lalu tidak seperti sekarang. Dahulu pasar terbuat dari atap rumbia dan
bertiangkan bambu. Pemilik petak pasar umumnya adalah orang-orang Tionghoa.
Maka jangan heran hampir di setiap pasar besar yang ada di Batavia kebanyakan
pedagangnya adalah orang Tionghoa. Mereka bahkan membuat rumah di atas tokonya
atau di sekitar pasar. Orang Tionghoa juga sebagai petani dan pengusaha lain.
Maka tak aneh jika mereka banyak mendominasi perdagangan, hingga akhirnya
membangkitkan gairah perekonomian kota. Jika ditelusuri, lembaran sejarah
perekonomuan bangsa ini tidak terlepas dari peran orang-orang Tionghoa di
dalamnya.*** JAKARTA DULU KINI Jejak masa lampau Jakarta sulit dilacak keberadaannya. Melalui beberapa situs sejarah yang lolos dari "kebiadaban" masa kini lah masa lampau itu dapat terungkap. Salah satu ciri khas yang umum terdapat di setiap sejarah suatu kota adalah terdapatnya pemukiman Tionghoa atau biasa disebut Pecinan (China Town) di kota itu. Kawasan Pecinan, dalam sejarahnya selalu menjadi penopang sekaligus jantung yang menggerakan detak perekonomian. Tak heran, jika Pecinan terdapat hampir di berbagai kota besar di Dunia, termasuk Jakarta. Kini, etnis Tionghoa telah menjadi ciri sekaligus jiwa yang mewarnai sejarah kebudayaan dari kota ini. PECINAN JAKARTA, Pusat Ekonomi dan Akulturasi Budaya
Jauh sebelum Belanda membangun Batavia (kini Jakarta) tahun
1619, orang-orang Cina sudah tinggal di sebelah Timur muara Ciliwung tidak jauh
dari pelabuhan itu. Mereka menjual arak, beras dan kebutuhan lainnya termasuk
air minum bagi para pendatang yang singgah di pelabuhan. Namun, ketika Belanda
membangun loji di tempat itu mereka pun diusir. Baru, setelah terjadinya
Pembantaian Orang Tionghoa di Batavia (9 Oktober 1740), orang-orang Tionghoa
ditempatkan di kawasan Glodok yang tidak jauh dari 'Stadhuis' (kini Museum
Fatahillah) dengan maksud agar mudah diawasi.
Di Pecinan Glodok dan sekitarnya tempo doeloe konglomerat Khouw pernah
berjaya; ribuan orang China juga pernah dibantai; perayaan Imlek; semarak Cap
Go Meh; nostalgia Peh Cun, panasnya perjudian dan madat, serta aktivitas
perdagangan dan perekonomian yang terus bergelora. Jejak-jejak itu, kendati
terus memudar, masih tetap terasa kental. Walau sempat di kekang puluhan tahun,
kini etnis yang mendarah menjadi daging dari suku Betawi ini tengah merayakan
Imlek dan Cap Go Meh. Aksara China, bahasa Mandarin, berbagai pertunjukan
tradisi lama Tionghoa pun semakin semarak. Sejak dulu, kawasan Glodok memiliki
potensi dan letak yang strategis, maka tak aneh jika mendorong banyak orang
mengadu nasib. Tak hanya orang China, orang Eropa, dan kaum pribumi pun banyak
tumpah ruah di Glodok. Saat ini, orang Betawi (dari kata Batavia) yang
belakangan muncul pada abad ke-19 sebagai suku tersendiri merupakan akulturasi
dari banyak budaya itu. Glodok kini, bukan hanya dikenal sebagai pusat
perdagangan elektronik. Wilayah perekonomian yang tak henti berdenyut ini bukan
pula sekedar kawasan yang identik sebagai Pecinan saja. Karena dalam sejarah
kontemporer Jakarta, glodok memiliki banyak arti: perjuangan kaum imigran,
kejayaan, keterpurukan dan perlawanan terhadap nasib dan penindasan. Ini
berlaku bagi siapa saja yang tinggal di Glodok dan sekitarnya. PECINAN
TIDAK HANYA DI GLODOK
Sesungguhnya, kawasan Pecinan di Jakarta tidak saja identik dengan
Asemka, Glodok, Pancoran dan Petak Sembilan. Karena dalam sejarah Jakarta,
kawasan lain sebagai Pecinan banyak bermuculan setelah pusat kota Batavia
dipindahkan ke Weltevreden (kini Monas dan Lapangan Banteng) diawal abad ke-19.
Kawasan -kawasan lain sebagai Pecinan itu misalnya terdapat di Passer Baroe,
Meester Cornelis Senen (Jatinegara), Pasar Senen; Pasar Tanah Abang, dsb. Di
setiap kawasan tersebut hingga saat ini masih dapat kita temui jejak sejarah
Tionghoa yang unik dan menarik untuk ditelusuri.
- Pancoran dan Glodok Nama 'pancoran'
berasal dari pancuran air yang terbuat dari bambu. Dahulu, di Glodok memang
terdapat sumber air yang mampu memenuhi kebutuhan air minum masyarakat Kota
Batavia. Air dari Pancoran di alirkan ke taman Fatahillah menggunakan pipa
tanah liat. Pipa ini sempat dipotong dan dihancurkan oleh Pemda DKI demi
pembuatan Tunel yang menghubungkan Stasiun BeOS dan Museum Bank
Mandiri pada tahun 2006 lalu. Di tengah taman Fatahillah kemudian dibuat tempat
minum kuda dan masyarakat (1873). Alat itu menyerupai kubah Museum Fatahillah.
Sedangkan nama 'glodok' berasal dari suara air yang berbunyi 'grojok-grojok'
kemudian lidahnya kepleset menjadi 'glodok.' Versi lain menyebutkan bahwa
glodok berasal dari grobak pengangkut air tersebut yang bernama
"golodok." Sebagai kawasan pecinan, Pancoran -Glodok merupakan
kawasan paling padat dan ramai. Beberapa bangunan bergaya Tionghoa masih
terdapat di sini. Namun, jumlahnya sangat sedikit karena banyak yang
dihancurkan oleh pemiliknya. Antara lain yang masih selamat: Kelenteng Jin de Juan;
Gereja Santa Maria de Fatima; dan Kelenteng Toa Sai Bio. - Passer Pagi
Lama -Asemka Pasar Pagi Lama terletak di Asemka, tepatnya di belakang
Museum Bank Mandiri. Di sini lah pusat grosir terbesar Indonesia yang menjual
berbagai jenis barang murah dari kelontong hingga asesoris. Sebagai Pecinan, di
sini juga tentunya banyak terdapat rumah bergaya Tionghoa. Ciri umum rumah
Tionghoa adalah di bawah toko, di atas sebagai tempat tinggal (ruko,
rumah dan toko). Ada juga yang hanya satu lantai saja. Sayang, rumah-rumah itu
kini banyak yang didiamkan, dihancurkan pemiliknya, ditiban dengan bangunan
baru atau sama sekali dihancurkan. Para pedagang asongan kereta jalur
Kota-Bogor, Kota-Cikampek, dan Kota-Merak biasanya berbelanja di sini. Pedagang
asongan bis-bis antar kota juga demikian. Jika Anda tertarik untuk berjualan,
tempat ini sangatlah tepat. Bayangkan saja harga 1 buah ballpoint yang dijual
di bis/kereta dengan harga Rp. 1000,-/buah, di sini dibeli dengan harga bisa
sampai Rp. 250/buah. Tentunya harus membeli dalam jumlah yang banyak. - Jl.
Perniagaan dan Rumah Keluarga Souw
Di sebelah Selatan Pasar Pagi Lama, terdapat Jl. Perniagaan, jalan ini
dahulu disebut Jl. Patekoan. Konon, nama
Patekoan berarti '8 buah teko/poci' (pat te-koan). Di
daerah ini pernah tinggal seorang Kapiten Cina
Gan Djie (1663-1675). Istrinya yang berjiwa sosial, setiap hari
menyediakan 8 buah teko (poci) berisi air teh. Angka 8 sengaja dipilih sebab
angka ini mempunyai konotasi baik atau 'hoki.' Dahulu belum banyak orang yang
berjualan makanan dan minuman, jadi bagi pejalan kaki yang kelelahan/kehausan
dipersilahkan minum air teh yang disediakan. Jl. Patekoan kini dinamankan Jl.
Perniagaan yang sama sekali tidak mengandung makna apa-apa, selain bisnis.
Masih dari jalan perniagaan, terdapat rumah tua milik keluarga Souw.
Keluarga Tionghoa ini dahulu terkenal sangat kaya-raya. Salah satunya adalah
kakak-beradik Souw Siauw Tjong dan Souw Siauw Keng. Souw
Siauw Tjong selain orang kaya dia berjiwa sosial. Ia mendirikan sekolah-sekolah
bagi anak-anak boemipoetra di tanah miliknya, membantu orang-orang
miskin, menyumbangkan makanan dan bahan bangunan ketika terjadi kebakaran.
Maka, Tjong diberikan gelar luitenant titulair (kehormatan) oleh
pemerintah Hindia Belanda pada Mei 1877. Namanya juga tercantum sebagai donor
pada pemugaran Kelenteng Boen Tek Bio Tanggeang 1875 dan Kelenteng Kim
Tek Ie (kini Jin de Juan) Batavia tahun 1890. Sedangkan Souw Siauw Keng
(1849-1917) diangkat menjadi luitenant der Chineezen di Tanggerang
tahun 1884. Beberapa meter dari rumah besar Keluarga Souw, terdapat bangunan
yang kini menjadi sekolah SMAN 19 Jakarta. Di kalangan anak-anak Kota, sekolah
ini sangat populer dengan sebutan cap-kau, artinya "sembilan
belas". Gedungnya sangat bersejarah, sebab di tempat inilah pertama kali
berdiri sebuah organisasi Tionghoa "modern" di kota Batavia, bahkan
di Hindia Belanda. Pada 17 Maret 1900 berdiri perhimpunan Tiong Hoa Hwee
Koan (THHK). Tahun berikutnya THHK mendirikan sekolah modern pertama yang
disebut Tiong Hoa Hak Tong disusul pembukaan cabang-cabang lain di
seluruh Hindia Belanda. Berdirinya sekolah-sekolah ini merupakan reaksi
masyarakat Tionghoa terhadap pemerintah Belanda yang selama itu tidak pernah
meberikan pendidikan kepada anak-anak mereka. Akibat perkembangan yang sangat
pesat, pemerintah kolonial Belanda, yang khawatir anak-anak Tionghoa akan
"tersedot" semua ke sekolah yang dibentuk THHK itu, serta-merta
Belanda mendirikan Hollandsch Chineesche School (HCS), yaitu sekolah
berbahasa Belanda bagi anak-anak Tionghoa. Pada 1965, THHT yang di Jl. Patekoan
itu di tutup oleh pemerintah Orde Baru dan bangunannya diambil alih menjadi
sekolah pemerintah dengan nama SMAN 19 Jakarta. - Kawasan Elit Mangga
Dua Wilayah Mangga Dua berada di luar benteng kota Batavia, merupakan
wilayah penempatan bagi pemukiman pribumi kelompok etnis. Posisinya sebelah
tenggara Kasteel Batavia. Wilayah ini menjadi lahan pertanian bagi keperluan
Kasteel Batavia. Dalam perkembangan berikutnya, banyak pejabat VOC Belanda dan
orang kaya Eropa yang memilih membangun bungalow di daerah ini. Salah satu yang
terkenal adalah Pieter Erberveld yang memiliki tanah luas di Mangga Dua. Di
pojok tenggara Kasteel Batavia terdapat tempat hiburan yang disebut dengan
Macao Pho, di sini banyak wanita penghibur yang didatangkan dari Macao/ daratan
Cina untuk menghibur para pelaut yang datang bersampan melewati Ciliwung yang
menghubungkan Jassenberg (jembatan Jassen) dengan pelabuhan. Ada
tempat hiburan ada juga tempat ibadah. Maka, di sini juga terdapat Gereja Sion bagi
orang-orang Portugis tawanan VOC Belanda yang dimerdekakan karena pindah anutan
dari Katholik menjadi Protestan (kaum mardijker). Di Mangga Dua
terdapat banyak peninggalan sejarah, yaitu: Mesjid Mangga Dua yang dibangun
awal abad ke-20, di dalamnya terdapat makam keramat; Areal pemakaman
orang-orang Tionghoa, termasuk makam Kapitein Cina pertama di Batavia, Souw
Beng Kong. Ia adalah sahabat lama dari Jan Pieterzon Coen. Ketika JP. Coen
menjadi Gubernur Jenderal VOC dan mulai membangun Kasteel Batavia, ia mengajak
Souw Beng Kong yang berada di Banten untuk membawa masyarakat Cina bergabung di
Batavia. Kemudian Souw Beng Kong datang ke Batavia dengan membawa 300 orang
Cina. Maka, ia diberi pangkat Kapitein, sebuah pangkat tertinggi bagi kelompok
etnis yang menjadi abdi VOC. Kelompok masyarakat lain juga diberi pangkat
demikian Seperti Kapitein Arab; Kapitein Banda, Kapitein Bali; juga pangkat
Mayor dan Liutenant. - Kawasan Passer Baroe
Passer Baroe mulai ada sejak tahun 1821. Dinamakan pasar baru karena
pada saat itu pasar ini relatif baru dari dua pasar yang telah ada sebelumnya
yaitu pasar Senen dan pasar Tanah Abang yang dibangun sejak 1735. Passer Baroe
awalnya merupakan perkampungan yang dihuni masyarakat Tionghoa. Kemudian
menjadi daerah pertokoan, walaupun keadaannya masih sepi. Memasuki abad ke-20,
jalan yang membelah pasar itu akhirnya dipenuhi toko-toko. Itu pula yang
mendorong pemerintah Hindia Belanda memperindah Passer Baroe dengan mengucurkan
dana yang cukup besar. Maka, dibuatlah trotoar di kiri kanan jalan. Semakin
hari Pasar Baru semakin bersinar.
Kala itu barang-barang yang dijual masih berupa kelontong, bukan sepatu atau
tekstil seperti sekarang ini. Baru pada tahun 1903, Tio Thek Hong
mendirikan toko di pojok kanan jalan perempatan gang Kelinci dan Pasar Baru.
Area ini menjual barang-barang anyar dari Eropa dan Amerika. Di toko ini
pembeli juga tak harus menawar karena harganya pasti. Berkat Tio Tek Hong pula
area ini naik daun. Pasar baru dikenal sebagai daerah elit karena berada dekat dengan
kawasan rijswijk (jalan Veteran) yaitu kawasan khusus dimana
orang-orang kaya tinggal. kalau kawasan rijswijk didominasi oleh
bangunan perkantoran dan tempat tinggal, maka kawasan ini adalah tempat untuk
rekreasi dan belanja mereka. Namun, kini pasar baru pamornya mulai memudar. Hal
ini karena menjamurnya pasar-pasar raksasa yang lebih modern seperti hypermart
dan mall-mall. - Kawasan Meester Cornelis Senen -Jatinegara
Pada masa penjajahan Belanda, Jatinegara merupakan pusat dari kabupaten
yang dikenal sebagai Meester Cornelis. Kabupaten Jatinegara saat itu meliputi
Bekasi, Cikarang, Matraman dan kebayoran. Nama Meester Cornelis diganti menjadi
Jatinegara pada masa pendudukan Jepang sekitar tahun 1942. Meskipun demikian,
nama Jatinegara yang berarti 'negara sejati' itu sudah dipopulerkan oleh
Pangeran Ahmad Jayakarta saat beliau mendirikan perkampungan Jatinegara Kaum di
wilayah Pulo Gadung, Jakarta Timur. Versi lain mengatakan bahwa nama Jatinegara
diadaptasi dari banyaknya pohon jati yang masih ditemukan di kawasan tersebut
pada masa pendudukan Jepang, sehingga nama Meester Cornelis diganti menjadi
Jatinegara.
Pada pertengahan abad ke 17, Belanda memberikan ijin pembukaan hutan di
sebuah kawasan yang jaraknya kira-kira 15-20 kilometer dari Batavia kepada
Cornellis Senen (seorang guru agama Kristen). Cornellis Senen adalah seorang
keturunan Portugis yang berasal dari Lontor, Pulau Banda. Dia mampu berkhotbah
dalam bahasa Melayu maupun Portugis (Kreol). Cornellis Senen biasa dipanggil
Meester yang berarti tuan guru. Konon beliau ditolak oleh panitia ujian saat
beliau ingin menempuh ujian untuk menjadi seorang pendeta pada tahun 1657. Bisa
jadi beliau ditolak karena beliau bukan asli keturunan Belanda. Namun demikian,
beliau diberi hak untuk membuka hutan dan menebang pohon jati di tepi sungai
Ciliwung. Hutan yang dibukanya kini menjadi daerah padat penduduk yang dikenal
sebagai Jatinegara. Nama Meester sendiri diabadikan menjadi Pasar Meester. Di
pasar ini banyak terdapat peninggalan sejarah berupa rumah-ruamh Tionghoa lama,
tentunya hal itu mengindikasikan sebagai Pecinan. Objek sejarah lain yang
terdapat di Jatinegara yaitu: Gereja Koinonia yang dibangun akhir abad ke-19;
SMPN 14 Jakarta; Stasiun Kereta Api Jatinegara; Gedung Eks. Kodim 0505; Kantor Pos
Jatinegara; dll. - Passer Senen dan Tanah Abang Kedua pasar
ini didirikan oleh seorang Belanda bernama Justinus Vinck pada tahun 1735 di
atas tanah miliknya. Pasar Senen didirikan di Weltevreden (kini Monas
dan Lapangan Banteng) sebelah Timur, sedangkan di tempat lain dibangun juga
pasar Tanah Abang. Untuk menghubungkan kedua pasar itu maka dibuatlah jalan
yang melewati Kampung Lima, Jembatan Prapatan sampai simpang Senen - Kramat.
Inilah jalan pertama yang menghubungkan timur dan barat Jakarta. Di pasar Senen
atau Vinckepasser dahulu banyak dijual sayuran. Berbeda dengan
sekarang yang banyak menjual pakaian bekas dan bursa kue subuh. Nama pasar
Senen sendiri berasal dari nama hari, karena hanya buka tiap hari Senen saja.
Berbeda dengan pasar Senen, di pasar Tanah Abang dahulu banyak dijual kambing.
Namun, tidak sampai hari ini, karena harus beralih mejadi bursa tekstil
terbesar di Indonesia. Hari bukanya juga hanya Sabtu saja. Hal ini bahkan sampai
pemerintah menetapakan hari Senen dan Sabtu sebagai hari pasar. Sejak 1751
pasar Tanah Abang buka juga hari Rabu. Kini, kedua pasar itu buka tiap hari
karena kebutuhan masyarkat yang terus meningkat. Keadaan pasar di masa lalu
tidak seperti sekarang. Dahulu pasar terbuat dari atap rumbia dan bertiangkan
bambu. Pemilik petak pasar umumnya adalah orang-orang Tionghoa. Maka jangan
heran hampir di setiap pasar besar yang ada di Batavia kebanyakan pedagangnya
adalah orang Tionghoa. Mereka bahkan membuat rumah di atas tokonya atau di
sekitar pasar. Orang Tionghoa juga sebagai petani dan pengusaha lain. Maka tak
aneh jika mereka banyak mendominasi perdagangan, hingga akhirnya membangkitkan
gairah perekonomian kota. Jika ditelusuri, lembaran sejarah perekonomuan bangsa
ini tidak terlepas dari peran orang-orang Tionghoa di dalamnya.***
Jatinegara dan Sejarah yang Hilang
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jatinegara dan Sejarah yang Hilang", https://nasional.kompas.com/read/2008/09/19/16442388/jatinegara.dan.sejarah.yang.hi.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jatinegara dan Sejarah yang Hilang", https://nasional.kompas.com/read/2008/09/19/16442388/jatinegara.dan.sejarah.yang.hi.
SUATU siang di tahun 1770-an. Pasar di depan
gerbang Benteng Belanda Meester Cornelis, sekitar 15 kilometer dari Batavia,
tengah menggeliat. Seorang kusir Jawa memarkir pedati, lalu melepas kerbau di
dekat pedatinya itu. Di sisi lain, di bawah gubug, beberapa wanita sedang
menggelar barang dagangannya di atas kain, sementara pelanggan berlalu-lalang.
Benteng berbentuk bintang tujuh dengan gardu berpenjaga yang dipersenjatai
meriam berada di sisi Sungai Ciliwung. Benteng itu berfungsi untuk menjaga
akses ke arah Buitenzorg (Bogor). Dalam benteng ada menara, tampak pula atap
genteng rumah perwira komandan barak prajurit Eropa. Ada bangunan beratap daun
kelapa yang merupakan tempat penyimpanan (gudang) dan tempat tinggal pekerja.
Di atas tembok benteng terdapat kandang burung dara yang sengaja dipelihara
untuk dikonsumsi. Demikian deskripsi untuk lukisan Johannes Rach tentang pasar
di depan Benteng Mester Cornelis. Lukisan itu kini menjadi salah satu koleksi
digital Perpustakaan Nasional dan bisa diakses melalui situs
digital.pnri.go.id/collection. Teks keterangan lukisan dibuat Max de Bruijn dan
Bas Kist. Johannes Rach sendiri seorang pelukis topografi VOC berkembangsaan
Denmark yang tinggal di Batavia tahun 1763 hingga ia meninggal tahun 1783. ***
BENTENG Meester Cornelis kini tak berbekas. Sementara pasar dalam lukisan itu
boleh jadi merupakan cikal bakal Pasar Jatinegara di Jakarta Timur saat ini.
Pasar Jatinegara merupakan salah satu aset penting PD Pasar Jaya, perusahan
daerah milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Wilayah Jatinegara dulunya memang
bernama Mester Cornelis. Sampai sekarang Pasar Jatingara pun disebut Pasar
Mester. Pada pintu masuk pasar dari Jalan Jatinegara Timur terpampang tulisan
"Pasar Mester'. Para kondektur bus pun masih berteriak 'mester...
mester...' ketika melintas di daerah Jatinegara. Mereka hendak memberi tahu penumpang
bahwa bus sudah sampai di wilayah Mester Cornelis. Nama Mester Cornelis mengacu
kepada seorang bernama Cornelis Senen, seorang pria kaya asal Pulau Lontor,
Banda, Maluku yang bermukim di Batavia sejak tahun 1621. Di Batavia, Cornelis
menjadi guru agama kristen, membuka sekolah, dan memimpin ibadat agama kristen
serta menyampaikan kotbah dalam Bahasa Melayu dan Portugis. Jabatannya sebagai
guru itulah yang membuat ia mendapat 'gelar' Meester, atau 'tuan guru'.
Cornelis berniat jadi pendeta tetapi ia ditolak. Belanda memberi dia hak
istimewa untuk menebang pohon di tepi Kali Ciliwung. Dia juga memunyai sebidang
tanah luas penuh pepohonan di pinggir Ciliwung. Tanah luas penuh pepohonan
itulah yang kemudian dikenal dengan nama Meester Cornelis. Menjelang berakhrinya
masa penjajahan Belanda, kawasan itu menjadi suatu kotapraja tersendiri,
wilayahnya mencakup Bekasi sekarang ini. *** WILAYAH Mester Cornelis berubah
nama jadi Jatinegara pada zaman Jepang. Ada yang berpendapat perubahan tersebut
karena di daerah itu ditemukan banyak pohon jati. Namun ada pula yang
berpendapat, nama Jatinegara mengacu kepada 'negara sejati' yang sudah
dipopulerkan Pangeran Jayakarta jauh sebelumnya. Pangeran Jayakarta mendirikan
perkampungan Jatingera Kaum di wilayah Pulogadung, Jakarta Timur setelah
Belanda menghancurkan keratonnya di Sunda Kelapa. Entah mana yang benar. Yang
pasti sampai kini di Jatinegara banyak terdapat bangunan-bangunan tua
bersejarah, di antaranya Stasiun Kereta Api Jatinegara, Gereja GPIB Koinonia,
bangunan bekas markas Kodim 0505, Pasar Lama Jatinegara, rumah langgam Cina,
kelenteng, dan gedung SMP 14 Jatinegara (di samping Jatinegara Plasa).
Sayangnya, tidak banyak yang diketahui tentang masa lalu bangunan-bangunan itu.
Gedung SMP 14 misalnya, tidak diketahui sejarahnya, demikian juga bangunan
stasiun Jatinegara dan Kantor Pos Jatinegara. Wilayah Jatinegera mulai
berkembang cepat awal abad ke 20, tepatnya sekitar tahun 1905, seiring dengan
perluasan wilayah Batavia. Banyak bangunan di Jatinegara dibangun pada periode
itu. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kini berupaya menelusuri sejarah sejumlah
bangunan-bangunan itu, antara lain dengan melakukan riset sejarah, menerima
masukan dari masyarakat dan berkordinasi dengan lembaga-lembaga terkait. Sejauh
ini bangunan yang masuk dalam daftar usulan bangunan cagar budaya baru bekas
gedung Kodim 0505 di Jalan Raya Bekasi Timur. Bangunan bekas rumah bupati
Mester itu sempat jadi 'markas' pedagang kaki lima. Ada kecemasan,
banguna-bangun tua bersejarah di kawasan itu akan hilang tak berbekas.
Pasalnya, Pemerintah Kota Jakarta Timur tengah merancang penataaan kawasan
tersebut jadi kawasan perdagangan. Penataan dijadwalkan kelar tahun 2010. Meski
ada penegasan dari Pemerintah Kota Jakarta Tiimur bahwa Jatinegara merupakan
kawasan perdagangan yang memiliki nilai sejarah tinggi, seperti halnya kawasan
Glodok, tetapi itu saja tidak cukup. Sampai saat ini, keberadaan
bangunan-bangunan itu sebagai bangunan bersejarah tidak punya dasar hukum.
Motif-motif ekonomi kiranya tidak mengurangi niat untuk menggali kisah masa
lalu bangunan-bangun tua yang ada. Bagaimanapun, bangunan tua bersejarah
sesungguhnya bisa mendatangkan uang bila dikemas menjadi sebuah dagangan, yaitu
'dagang sejarah'. Tetapi kalau sejarah gedung-gedung itu saja tidak diketahui,
lantas apa yang bisa dijual?
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jatinegara dan Sejarah yang Hilang", https://nasional.kompas.com/read/2008/09/19/16442388/jatinegara.dan.sejarah.yang.hi.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Jatinegara dan Sejarah yang Hilang", https://nasional.kompas.com/read/2008/09/19/16442388/jatinegara.dan.sejarah.yang.hi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar