Kamis, 08 Januari 2015

SITUS LIYANGAN

beberapa informasi tentang Situs Liyangan




Liyangan diperkirakan pada jaman dahulu adalah salah satu komplek perdusunan yang terkubur akibat bencana erupsi Sindoro. Belum di ketahui pada abad berapa Liyangan ini terkubur oleh lahar dari Gunung Sindoro.
Penemuan Situs Liyangan memperkuat hipotesis bahwa deretan pegunungan Merapi, Sindoro, Sumbing, dan Dieng menjadi semacam poros berkembangnya kawasan Mataram Kuno. Jawa Tengah berkembang menjadi pusat budaya klasik pada abad 7-10.

Situs desa Liyangan yang ditemukan di tempat penambangan galian pasir di Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung diduga kuat merupakan tempat tinggal masyarakat pada masa pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno. Liyangan merupakan situs purbakala yang ditemukan di lereng Gunung Sindoro pada 2009.
Pihaknya juga menduga, Liyangan ini merupakan kawasan Mataram Kuno yang terkubur oleh letusan gunung Sindoro yang terjadi 1.000 tahun lalu. Material yang mengubur kompleks Liyangan ini merupakan aliran piroklastik atau awan panas Sindoro.
Gunung Sindoro yang terlihat tenang dan anggun ternyata menyimpan seribu mistery, Bemmelen seorang peneliti Belanda mengatakan bahwa, pada tahun 1600 - 1617 Sindoro pernah meletus dengan hebatnya dan meluluh-lantakkan desa-desa yang berada di kakinya, hal ini yang diperkirakan telah mengubur Situs Liyangan sedalam 10 M di bawah permukaan tanah. Diperkirakan, situs itu dibangun pada zaman Mataram Hindu pada abad 9 Masehi.

Situs Liyangan berupa perkampungan Mataram Kuno yang berada di ketinggian 1.200 dpl pada lereng gunung Sindoro, penemuan benda arkeologis di Liyangan tidak hanya berupa candi, namun juga terdapat tempat peribadatan, perkampungan dan lahan pertanian kuno. Liyangan adalah sebuah kota yang hilang selama berabad-abad dan baru terkuak ke permukaan akibat penambangan pasir liar pada tahun 2008. Berdasarkan gambaran hasil survei, Liyangan adalah salah satu kompleks situs permu****n, situs ritual dan pertanian.

Penemuan alat-alat kebutuhan sehari-hari menunjukkan kawasan ini dahulu kala memang sebuah tempat hunian. Benda- benda yang banyak ditemukan antara lain pipisan dan gandik yang merupakan alat penggerus obat-obatan pada zaman dahulu. Tak hanya situs perumahan masyarakat, kawasan yang berada di lereng Gunung Sindoro ini diduga juga menjadi area pertanian.

Wilayah Yogyakarta dan sekitarnya, atau pada masa silam merupakan wilayah Mataram Kuno, punya riwayat panjang kebencanaan.

Diperkirakan di atas Talud ini dahulu ada bangunan besar semacam pendopo.
Liyangan adalah kota yang hilang karena terkubur. Demikian ucapan salah seorang wisatawan dan peneliti kepurbakalaan dari Amerika Serikat yang pernah berkunjung di situs Liyangan, yang ditemukan secara tak sengaja oleh penambang pasir di dusun Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, Temanggung.

Liyangan pada zaman dahulu diperkirakan merupakan salah satu kompleks perdusunan yang terkubur akibat bencana erupsi Sindoro. Belum diketahui pada abad berapa Liyangan ini terkubur oleh lahar dari Gunung Sindoro. Menurut seorang peneliti dari Belanda bernama Bemmelen (1970), antara tahun 1600-1671 telah terjadi bencana hebat berupa meletusnya Gunung Sindoro sebanyak tiga kali. Jadi kalau benar berita tentang erupsi Gunung Sindoro ini, berarti Liyangan adalah saksi bisu bagaimana Sindoro meluluhlantakkan daerah sekitarnya.Menurut Tambah Pramono, juru pelihara Situs Liyangan, sekitar tahun 2008 beberapa penambang pasir menemukan beberapa temuan, seperti dua candi Ganesha, gerabah, talut (semacam fondasi dari bebatuan), alat penumbuk rempah-rempah dan beberapa yoni.
Lalu pada tahun 2009 ditemukan kembali beberapa bangunan. Berdasarkan gambaran hasil survei, Liyangan adalah salah satu kompleks situs permukiman, situs ritual dan pertanian. Dari data yang ada dan juga beberapa hasil penemuan, Liyangan ini merupakan satu perdusunan pada masa Kerajaan Mataram kuno.
Menurut Trihatmadji, Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah, penemuan situs Liyangan adalah penemuan yang spektakuler. Sementara itu berdasarkan penelitian, Liyangan dinyatakan sebagai Situs Istimewa di Indonesia. Selain bangunan candi dan juga arca-arca, di Liyangan juga ditemukan rumah panggung dari bahan kayu yang diperkirakan berusia 1.000 tahun.

Kini penggalian dan penelitian masih terus berjalan untuk menguak misteri salah satu peninggalan sejarah yang mempunyai nilai budaya yang sangat tinggi.

 

SITUS Liyangan yang ditemukan di tempat penambangan galian golongan C di Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung menunjukkan sebuah tempat pemukiman masyarakat pada jaman Mataram Kuno. Hal tersebut terungkap setelahTim dari Balai Arkeologi Yogyakarta menemukan tembikar atau fragmen keramik, talud serta struktur jalan kuno, pada pertengahan Maret 2013.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Temanggung Bekti Prijono mengatakan, fragmen-fragmen tersebut ditemukan oleh warga dan kemudian telah disusun sedemikian rupa oleh kelompok warga yang menyebut dirinya sebagai “Peduli Liyangan”. Kini benda-benda tersebut telah diselamatkan dan dalam waktu dekat akan dilakukan penelitian oleh Balai Arkeologi.

Liyangan merupakan situs purbakala yang ditemukan di lereng gunung Sindoro pada tahun 2009. Sejak itu, Balai Arkeologi dan BPCB (Balai Pelestari Cagar Budaya) Jawa Tengah sudah berulang-ulang melakukan eskavasi dan penelitian terhadap temuan-temuan yang ada.

Menurut Bekti, Pemerintah Kabupaten Temanggung telah membebaskan sekitar 5.000 meter persegi tanah Liyangan yang diduga menjadi titik episentrum situs. Berdasarkan penelitian yang selama ini dilakukan, batas-batas imajiner para arkeolog menunjuk luasan area yang mencapai lima sampai enam hektare atau bisa lebih.

Ditambahkan, pada awal ditemukan oleh para penambang pasir, para ahli sudah mencurigai area Liyangan bukan merupakan lokasi candi atau semacamnya. Perkiraan tersebut terbukti setelah dilakukan eskavasi, dan kemudian diketahui bahwa kompleks Liyangan merupakan situs yang sangat mungkin merupakan pemukiman kuno.

Dari awal eskavasi Tim menemukan struktur candi, talud panjang, irigasi, sekam padi yang telah menjadi fosil dan keramik-keramik yang telah berusia 1.000 tahun lebih. Sementara pada penelitian lanjutan tahun 2012, Balai Arkeologi kembali menemukan struktur yang spektakuler yaitu jalan kuno.

“Berdasarkan hasil  penelitian Balai Arkeologi, temuan Situs Liyangan ini termasuk temuan yang spektakuler karena jarang sekali terjadi di Indonesia. Temuan ini mirip kasus Pompey di Eropa dimana sebuah kawasan hilang karena terkubur material gunung yang meletus,” lanjutnya.

Pihaknya juga menduga, Liyangan ini merupakan kawasan Mataram Kuno yang terkubur oleh letusan gunung Sindoro yang terjadi 1.000 tahun lalu.

Ketua Tim Peneliti Situs Liyangan, Sugeng Riyanto mengatakan bahwa Situs Liyangan yang ditemukan di Kecamatan Ngadirejo itu merupakan situs paling lengkap dan istimewa untuk mengungkap kehidupan zaman Mataram Kuno.

Sejauh ini, pihaknya sudah menemukan beberapa situs yang berada di lokasi Liyangan. Diantaranya keramik dari Dinasti Tang (Cina), tulang fauna yang dikonsumsi seperti sapi, logam dan mata tombak, struktur talut, pecahan gerabah, serta konstruksi kayu arang.

“Semua penemuan tersebut akan terus kami teliti,” tandasnya.

Selasa, 06 Januari 2015



Taufik Abdullah  tentang  Bukit Tinggi  !



Taufik Abdullah lahir pada 3 Januari 1936, di Bukittinggi, Sumatra Barat, Hindia Belanda. Dia sejarawan terkemuka Indonesia saat ini dan pernah menjabat sebagai ketua LIPI periode 2000-2002 dan wakil presiden Asosiasi Sosiologi Internasional Dewan Riset Sosiologi Agama.

Taufik memperoleh gelar kesarjanaannya dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra & Kebudayaan UGM Yogyakarta (1961). Menyelesaikan pendidikan tingkat doktor di Universitas Cornell, Ithaca, Amerika Serikat (1970), dengan disertasi: Scholl and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra. Karya disertasinya ini kemudian diterbitkan oleh Universitas Cornell pada 1971.

Sebagai sejarwan, Taufik sangat aktif menulis di berbagai media masa. Atas ketekunan dan kualitas karyanya itu, pada 2009 Taufik memperoleh gelar doctor honoris causa dari Universitas Indonesia.

Mengenai penggantian slogan Bukittinggi dari kota pariwisata menjadi kota perjuangan, Taufik menyatakan mendukung sekali. Apalagi, selama ini posisi penting kota itu sebagai ibu kota negara Republik Indonesia (RI) semasa perang kemerdekaan memang sengaja dilupakan sebagai akibat sikap negara yang serakah.

"Posisi penting Bukittinggi itu tidak hilang hanya dilupakan. Semasa pemerintahan Presiden Sukarno dan Soeharto, negara ini memang tidak puas hanya sekadar melakukan penguasaan secara ekonomi dan politik, tapi juga ingin melakukan penguasaan ingatan kolektif atas sebuah kesadaran," katanya.

Bagaimana posisi penting Bukittinggi bagi perjuangan bangsa Indonesia?
Begini, Sumatra Barat mempunyai peranan penting semenjak awal abad ke-20. Pada 1901 terbit sebuah majalah di Padang yang bernama Insulinde. Majalah ini mempunyai 'pembantu' (koresponden—Red) di seluruh Sumatra dan Jawa. Majalah ini terbit selama empat tahun. Kebetulan dulu, saya temukan majalah itu ditumpukan arsip di Perpustakaan Leiden. Saya temukan majalah itu ketika belum diberi nomor untuk pengarsipan. Majalah itu langsung saya bawa ke luar untuk saya baca.

Bila saya lihat, pesan majalah itu hanya ada dua saja: bahwa kita harus masuk ke dalam dunia maju dan kita terlibat dalam proses kemajuan. Jadi, masalah kemajuan yang ditekankan. Nah, dalam sisi lain, harap diketahui saat itu Sumatra Barat adalah satu-satunya daerah di Hindia Belanda yang tidak diminta membayar pajak. Mengapa? Ini sebagai imbas dari Perang Padri yang mana saat itu Belanda mengatakan: Kedatangan kami (Belanda—Red) di Sumatra Barat tidak akan memerintah dan hanya untuk berdagang. Dan tak usah pula membayar pajak, tapi komoditas tanaman seperti kopi harus dijual kepada kami.

Namun, pada 1860-an, harga kopi merosot sehingga urang awak memilih tanaman komoditas yang lain. Maka, Belanda krisis di Sumatra Barat dan memutuskan menarik belasting (pajak). Nah, orang-orang berada di kampung-kampung, terutama kaum adat dan ninik mamak dan para ulama keberatan. Orang terpelajar di Padang kemudian memprotesnya dan mereka malah meminta agar Belanda membuat sekolah. Akibat protes anti-belasting itulah kemudian meletus berbagai Perang Kamang, Perang Magopoh, dan perang sejenis lainnya. Pada peristiwa itu banyak orang yang kemudian digantung dan ditembak. Ini terjadi pada 1908.

Setelah itu, orang Minang sadar bahwa untuk melawan Belanda tak bisa dilakukan dengan kekuatan otot atau senjata semata. Sejak itu orang Sumatra Barat terbanyak dalam bersekolah. Jadi pada 1912, Sumatra Barat adalah salah satu daerah tertinggi yang penduduknya bersekolah. Pesaingnya hanya Minahasa. Dari seribu orang di Sumatra Barat yang bersekolah 50 orang, tapi di daerah lain yang bersekolah hanya lima orang.

Lalu, apa yang kemudian timbul akibat warganya begitu terdidik?
Ya, di Padang kemudian muncul perdebatan antara kaum muda dan kaum tuo (tua—Red). Ini terjadi mulai tahun 1910-an itu. Jadi, perdebatan antara kelompok modernis dan tradisional, mereka berbagi hal, mulai dari soal agama hingga sosial. Dari mereka yang mendukung tradisi hingga yang berpikir pada kemajuan.

Nah, pada 1920, berdirilah Perguruan Thawalib di Padang Panjang. Maka sejak itu, Padang Panjang menjadi pusat kegiatan. Sebagian orang-orang Thawalib tergelincir pada paham komunis dengan mendirikan Majalah Pemandangan Islam dan Djago-Djago. Akibatnya, setelah kemudian terjadi pemberontakan Komunis di Silungkang pada 1927, banyak tokoh-tokoh mereka ini ditangkap dan dibuang ke Digul.

Pada saat yang sama, kemudian masuk paham Muhammadiyah. Ajaran ini segera merebak dan diterima dengan luas. Cuma bedanya, kalau di Jawa organisasi ini antipolitik, Muhammadiyah di Sumatra Barat malah berpolitik. Dan, di sinilah Bukittinggi kemudian mulai menunjukkan perannya.

Apa peran yang telah dimainkan di Bukittinggi?
Jadi pada 1930, diadakanlah Muktamar Muhammadiyah di Bukittinggi. Ini merupakan Muktamar Muhammadiyah terbesar yang pernah dilakukan semenjak organisasi ini berdiri. Ribuan orang hadir. Ini karena memang Muhammadiyah sangat cepat berkembang di Sumatra Barat.

Oh ya, kalau begitu, apa yang menyebabkan Muhammadiyah cepat berkembang di Sumatra Barat?
Itu karena orang Minangkabau sudah lama berdebat soal pembaruan agama. Sejak 1900 mereka sudah berdebat soal ini. Akibatnya, ajaran Muhammadiyah mudah benar masuk ke dalam benang orang Minangkabu. Nah, dalam mukatamar itu dibuat keputusan Muhammadiyah bukan organisasi politik. Dan, ini bertentangan dengan organisasi Muhammadiyah di Sumatra Barat yang berpolitik. Adanya putusan, orang-orang Muhammadiyah yang berpolitik menyatakan ke luar dari organisasi ini.

Mereka yang keluar itu mendirikan Perhimpunan Muslimin Indonesia (Permi) dengan ideologi Islam dan kebangsaan. Permi menjalankan kebijakan nonkooperasi dengan Belanda dengan tujuan Indonesia merdeka dan mulia. Nah, Permi ini menguasai perpolitikan di Sumatra Barat, Tapanuli Selatan, dan Aceh Selatan. Mereka 'berteman baik' dengan Partindo. Maka sejak itulah, yakni pada 1930, Bukittinggi menjadi pusat pergerakan politik. Pada periode itulah novel-novel yang bersifat politik terbit. Ini, misalnya, novel Meraih Sukma dan Tamar Jaya.

Di sini kemudian lahir, misalnya, Rasuna Said, Mukhtar Lutfi, dan Rasmilah Ismail. Permi juga mendirikan sekolah-sekolah. Tapi pada 1933, tokoh-tokoh Permi, seperti Muchtar Lutfi, Iljas Jakub, dan Djalaludin Thaib dibuang ke Digul, Papua. Gafar Ismail sedikit beruntung tidak dibuang ke Digul, tapi dibuang di Jawa.

Situasi perjuangan di Bukittinggi terus meluas hingga tiba zaman Jepang. Saat itu, Indonesia dibagi dalam tiga komando. Sumatra dan Tanah Semenanjung (Malaysia) berada dalam satu komando, di samping dua lainnya, yakni komando Jawa dan Indonesia bagian timur. Nah, yang dijadikan pusat komando di Sumatra dan Tanah Semenanjung itu adalah Bukittinggi. Letak Bukittinggi dipilih kan lebih strategis. Beda dengan Padang yang gampang diserbu dari arah laut. Apalagi, letaknya di tengah Pulau Sumatra. Peninggalan Jepang masih tersisa dengan adanya gua pertahanan (gua Jepang).

Bagaimana peran Bukittinggi pada zaman revolusi kemerdekaan?
Pada waktu awal revolusi, ibu kota Sumatra memang masih di Padang. Tapi ketika diserbu, ibu kotanya pindah ke Bukittinggi yang saat itu statusnya hanyalah sebagai residen. Pada 1948 atau Agresi Belanda I, dalam satu kunjungannya Kota Prapat sebagai pusat Provinsi Sumatra, Bung Hatta memutuskan memindahkan pusat provinsi ke Bukittinggi. Keputusan ini dilakukan setelah melihat Medan dikuasai Belanda. Jadi, praktis semenjak 1948 itu Bukittinggi menjadi ibu kota Sumatra.

Maka, di Bukittinggi saat itu berkumpul semua pejabat Pemerintah Provinsi Sumatra (kelak kemudian Sumatra dibagi menjadi tiga provinsi). Maka, sejak itulah (Agresi Belanda I) Bukittinggi menjadi salah satu pusat pemerintahan. Apalagi, Bung Hatta tinggal juga di situ. Beliau tinggal di sebuah rumah besar selama beberapa bulan (rumah itu kini dikenal sebagai Istana Bung Hatta).

Memang sejak Perjanjian Renvile, Bung Hatta sudah melihat bahwa sewaktu-waktu posisi Indonesia yang saat itu berpusat di Yogyakarta akan repot bila diserang Belanda. Oleh karena itu, Bung Hatta tinggal beberapa waktu di Bukittinggi untuk mempersiapkan Bukittinggi menjadi ibu kota negara bila Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Jadi, persiapan kota ini menjadi ibu kota negara sudah dilakukan sejak awal 1948. Perkembangan politik nasional memang bergerak sangat cepat dan dinamis. Maka, Bung Hatta melakukan antispasi bila muncul situasi terburuk.

Bung Hatta mempersiapkan Bukittinggi sebagai ibu kota negara RI berlangsung hingga menjelang Agresi Belanda II. Jadi, waktu itu Bung Hatta bolak-balik Yogyakarta-Bukittinggi. Nah, pada saat akhir menjelang Agresi Belanda II, menteri Sjafruddin Prawiranegara datang. Karena situasi Yogyakarta genting, Bung Hatta dipanggil pulang ke Yogyakarta. Maka, tinggal lah Sjafruddin sendirian di Bukittinggi.

Tak lama setelah Bung Hatta sampai di Jogja, kota itu pun diserang Belanda (Agresi Belanda II dimulai 19 Desember 1948). Dan pada hari yang sama dengan penyerbuan di Yogyakarta, Bukittinggi juga diserbu Belanda. Rupanya, Belanda tahu bahwa kota ini akan dijadikan ibu kota negara bila situasi memburuk.

Akibat penyerbuan itu, para pejabat negara seperti Sjafrudin mengungsi ke pedalaman Sumatra Barat, yakni sekitar wilayah Halaban. Nah, karena Bukittinggi sudah diserbu, Sjafruddin pada dua hari kemudian, 21 Desember 1949, mengumumkan berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Pengumunan ini sangat penting karena Yogyakarta sudah jatuh ke tangan Belanda dan pejabat penting, seperti Presiden Sukarno dan Wakil Presiden ditangkap.

Pada saat itu, Panglima Angkatan Perang Belanda Jenderal Spoor sudah mengatakan Republik sudah tidak ada. Tapi, tiba-tiba muncul pernyataan dari orang-orang yang datang untuk mengungsi dari Bukittinggi ke Halaban, yang mengumumkan bahwa Republik Indonesia masih ada. Jadi, ketika Yogyakarta sudah diduduki, PDRI langsung berdiri. Jadi, begitu Yogyakarta jatuh, Bukittinggi tampil. Dan, antisipasi ini sudah dipersiapkan cukup lama oleh Bung Hatta.

Mengapa sejarah Bukiitinggi sebagai ibu kota negara sepertinya hilang dari ingatan bangsa Indonesia?
Saya kira itu tidak hilang, tapi dilupakan saja. Dalam hal ini saya sering mengkritik. Pertama kali kritikan saya ini dikatakan di luar negeri dan dimuat sebuah majalah berbahasa Inggris di sana. Saat itu saya katakan: Demokrasi Terpimpin ala Sukarno itu dan Orde Baru ala Soeharto itu adalah cerminan dari sebuah negara yang serakah (greedy state). Jadi, negara yang tidak puas hanya sekadar melakukan penguasaan secara ekonomi dan politik, tapi juga ingin melakukan penguasaan ingatan kolektif atas sebuah kesadaran. Untuk itulah, demokrasi terpimpin melakukan indoktrinasi Manipol Usdek.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Pak Harto beberapa tahun kemudian setelah dia berkuasa. Indoktrinasi ala Orde Baru ini dilakukan dengan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Jadi, di dua pemerintahan itu dengan mengatasnamakan negara, maka merekalah yang menentukan mana yang harus diingat dan mana yang harus kita lupakan. Ini, misalnya, rakyat hanya diminta mengingat peristiwa 11 Maret dan 1 Maret, yakni ketika Pak Harto dilantik jadi presiden dan serangan umum ke Yogyakarta. Sedangkan, peristiwa pembunuhan di sekitar tahun 1965 dilupakan.

Nah, untuk PDRI baru diperingati pada akhir 1990-an. Bahkan, pada buku sejarah resmi peristiwa PDRI hanya ditulis dalam dua kalimat. Ini karena bagian sejarah itu dikuasai oleh Nugroho Notosusanto, kepala sejarah TNI.

Jadi, hilangnya ingatan atau dilupakan sejarah Bukittinggi dan PDRI ini dari sikap negara yang serakah. Memang tidak menghilangkan sejarah, tapi melupakannya dari ingatan publik. Biasanya sikap mengingat kembali apa yang telah dilakukan setelah terjadinya pergantian kekuasaan. Jadi, jangan sekali-kali melupakan sejarah, apalagi sampai menghilangkannya!