Sabtu, 11 Agustus 2018


UNTUK MEMPERMUDAH TUGAS   ( ANALISIS  NOVEL : KALI BEKASI  )

"Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami Terbayang kami maju dan berdegap hati?" Itulah kutipan puisi Chairil Anwar yang berjudul Karawang - Bekasi. Puisi ini menyiratkan sejarah perjuangan panjang Kota Bekasi hingga mendapat julukan Kota Patriot. Tak banyak orang yang tahu, bagaimana heroiknya perjuangan rakyat Bekasi dalam mengusir penjajah. Memang, perjuangan mereka tak sepopuler puisinya Chairil Anwar yang melegenda. Karena itu, tak ada salahnya bila kita kembali mengenang jejak perjuangan mereka.
Setelah Indonesia merdeka, Belanda masih bercokol menguasai Jakarta dan mencoba membentuk negara boneka, yakni Negara Pasundan. Tahun 1950, rakyat Bekasi serentak menuntut keluar dari distrik Jakarta dan menolak masuk ke Negara Pasundan. Mereka hanya ingin bergabung dengan Republik Indonesia Serikat. Rakyat Bekasi pun menjadi patriot di area Kali Cakung, yang merupakan garda terdepan. Nah, jejak perjuangan rakyat Bekasi ini dapat dilihat lewat enam monumen yang dibangun di Bekasi. Monumen pertama ada di area Hutan Kota Bina Bangsa. Di tengah rimbun pepohonan seluas tiga hektar tersebut, berdiri Tugu Perjuangan Rakyat Bekasi. Tugu ini merupakan simbol kegagahan rakyat kala melawan penjajah. Di sana juga terdapat puisi Karawang-Bekasi yang disematkan di salah satu sisi tugu. Selain itu, di monumen ini juga terdapat empat relief. Relief pertama, menggambarkan Bekasi pada masa penjajahan Belanda, saat para tuan tanah banyak berkuasa. Relief kedua mengisahkan masa pendudukan Jepang. Sedangkan relief ketiga dan keeempat bercerita tentang Bekasi setelah kemerdekaan dan pada masa orde baru. Hutan Kota Bina Bangsa merupakan pusat paru-paru kota. Sahabat Sporto bisa datang ke sini untuk bertamasya. Letaknya ada di Jalan Jenderal Ahmad Yani No.1, Kelurahan Kayuringinjaya, Kecamatan Bekasi Barat. Monumen kedua adanya di kawasan Alun-alun Bekasi. Di sana terdapat Monumen Resolusi Rakyat Bekasi. Monumen ini dibangun untuk mengenang perlawanan rakyat Bekasi terhadap Tentara Sekutu dan NICA di tahun 1946. Sedangkan monumen ketiga terletak di Kelurahan Marga Mulya, Kecamatan Bekasi Utara. Nama Monumennya, Monumen Kali Bekasi. Letaknya ada di Jalan Insinyur Haji Juanda. Monumen itu dibuat untuk mengenang perjuangan rakyat Bekasi melawan kependudukan Jepang. Monumen terakhir adalah Monumen Perjuangan, letaknya di persimpangan Jalan Agus Salim dengan Jalan Ki Mangun Sarkoro. Dibangun untuk mengenang perjuangan rakyat Bekasi bertempur melawan Belanda dalam Agresi Militer Belanda II. Perjuangan rakyat Bekasi kala itu hanya menggunakan bambu runcing. Tak ayal, Bambu Runcing pun dijadikan simbil pada tugu yang ada di pertigaan Jalan Warung Bongkok, Desa Suka Danau, Cibitung. (lia joulia)
https://sportourism.id/tourism/menengok-jejak-perjuangan-rakyat-bekasi

INFO BANDUNG - “Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi, tidak bisa teriak ‘Merdeka’ dan angkat senjata lagi.” Petikan puisi Karawang-Bekasi karya Chairil Anwar ini menyiratkan sejarah perjuangan panjang Kota Bekasi hingga mendapat julukan Kota Patriot.
Setelah Indonesia merdeka, Belanda ingin terus bercokol dengan menguasai Jakarta dan membentuk negara boneka, yakni Negara Pasundan. Pada 1950, rakyat Bekasi menuntut keluar dari distrik Jakarta dan menolak masuk ke Negara Pasundan. Mereka ingin bergabung dengan Republik Indonesia Serikat dan menjadi patriot di area Kali Cakung, yang merupakan garda terdepan.
Jejak perjuangan rakyat Bekasi kini menjadi salah satu obyek wisata yang bisa dinikmati wisatawan. Tepatnya berada di area Hutan Kota Bina Bangsa. Di tengah pepohonan rimbun seluas 3 hektare ini berdiri Tugu Perjuangan Rakyat Bekasi yang menjadi simbol kegagahan rakyat kala melawan penjajah. Puisi Karawang-Bekasi pun disematkan di salah satu sisi tugu.
Hutan Kota Bina Bangsa merupakan pusat paru-paru kota yang menjadi tempat favorit untuk bertamasya. Tak hanya di situ, tapi warga juga memiliki alternatif Taman Alun-alun Kota Bekasi yang tak kalah cantik. Apalagi menjelang perhelatan Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX/2016, area taman ini terus dipercantik dan dilengkapi berbagai fasilitas, seperti Wi-Fi, arena permainan anak, dan trek jogging.
Pada September nanti, Stadion Chandrabaga di Kota Bekasi akan menjadi tuan rumah PON untuk menggelar babak kualifikasi sepak bola dan cabang olahraga angkat besi. Karena itu, Pemerintah Kota Bekasi sedang gencar mempersiapkan sarana dan prasarana stadion tersebut.
Bekasi memang terkenal dengan potensi industrinya yang luar biasa. Namun, di balik deretan sentra perdagangan dan pusat perbelanjaannya, terdapat kisah sejarah berbalut wisata alam yang akan menjadi daya tarik Sang Kota Patriot pada ingar-bingar PON XIX/2016.


Diposting oleh Rusliansyah | Label: http://id.wikipedia.org/wiki/Noer_Alie
undefined undefinedundefined
Kiai Haji Noer Alie (lahir di Bekasi, Jawa Barat pada tahun 1914; meninggal di Bekasi, Jawa Barat pada tahun 1992) adalah pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari Jawa Barat dan juga seorang ulama.
Ia adalah putera dari Anwar bin Layu dan Maimunah binti Tarbin. Ia mendapatkan pendidika agama dari beberapa guru agama di sekitar Bekasi. Pada tahun 1934, ia menunaikan ibadahMekkah dan selama 6 tahun bermukim disana.Siapa yang tak kenal puisi Karawang-Bekasi karya Chairil Anwar? Tapi adakah yang tahu mengapa ia menciptakan puisi yang melegenda itu? Mungkin tak banyak yang menduga jika Chairil terinpsirasi oleh seorang warga Bekasi asli bernama KH Noer Alie. haji dan memperdalam ilmu agama di
Hingga kini, nama KH Noer Alie memang belum dikenal luas di pentas nasional. Bahkan, di kalangan masyarakat Bekasi pun, masih ada yang belum mengenalnya. Namun, jika ia bisa menginspirasi seorang Chairil Anwar, pasti ada suatu keistimewaan yang dimilikinya.
Ya, KH Noer Alie memiliki jejak perjuangan yang tak kelah heroiknya dengan pahlawan nasional lain semisal Soekarno, Hatta, Agus Salim, Natsir dan lainnya. Tercatat, dari sekian banyak pertempuran antara KH Noer Alie dan masyarakat Bekasi dengan penjajah, ada dua perlawanan yang melegenda.
Pertama, Pertempuran Sasak Kapuk. Pertempuran sengit itu meletus pada 29 November 1945, antara pasukan KH Noer Alie dengan Sekutu – Inggris di Pondok Ungu. Pasukan rakyat KH Noer Alie mendesak pasukan Sekutu dengan serangan mendadak. Melihat pasukan Sekutu terdesak, mulai timbul rasa takabur pada pasukannya, sehingga ketika pasukan Sekutu mulai berbalik setelah sekitar satu jam terdesak, pasukan rakyat berbalik terdesak sampai jembatan Sasak Kapuk, Pondok Ungu, Bekasi.
Melihat kondisi pasukannya yang kocar-kacir, KH Noer Alie memerintahkan untuk mundur. Tapi, sebagian pasukannya masih tetap bertahan, sehingga sekitar tiga puluh orang pasukan Laskar Rakyat gugur dalam pertempuran tersebut.
Kedua, Peristiwa Rawa Gede. Untuk menunjukkan bahwa pertahanan Indonesia masih eksis, KH Noer Alie memerintahkan pasukannya bersama masyarakat di Tanjung Karekok, Rawa Gede, dan Karawang, untuk membuat bendera merah – putih ukuran kecil terbuat dari kertas.
Ribuan bendera tersebut lalu ditancapkan di setiap pohon dan rumah penduduk dengan tujuan membangkitkan moral rakyat bahwa di tengah – tengah kekuasaan Belanda, masih ada pasukan Indonesia yang terus melakukan perlawanan.
Aksi heroik tersebut membuat Belanda terperangah dan mengira pemasangan bendera merah-putih tersebut dilakukan oleh TNI. Belanda langsung mencari Mayor Lukas Kustaryo. Karena tidak ditemukan, mereka marah dan membantai sekitar 400 orang warga sekitar Rawa Gede.
Pembantaian yang terkenal dalam laporan De Exceseen Nota Belanda itu, di satu sisi mengakibatkan terbunuhnya rakyat, namun disisi lain para para petinggi Belanda dan Indonesia tersadar bahwa di sekitar Karawang, Cikampek, Bekasi dan Jakarta masih ada kekuatan Indonesia. Sedangkan citra Belanda kian terpuruk, karena telah melakukan pembunuhan keji terhadap penduduk yang tidak bedosa.
Siapa sebenarnya KH Noer Alie?
Ia lahir di Desa Ujung Malang, Babelan, Bekasi pada 15 Juli 1914. Noer Alie adalah anak keempat dari sepuluh bersaudara pasangan Anwar bin Layu dan Maimunah binti Tarbin. Tanda-tanda kepahlawanannya sudah terlihat sejak kecil. Suatu saat, ia pernah ditanya, apa cita-citanya di dunia. “Ingin membangun perkampungan surga,” jawab Noer Alie kecil.
Ia memiliki semangat belajar yang tinggi. Di usianya yang masih di bawah lima tahun, ia telah mampu menghapal surat –surat pendek dalam Al-Qur’an yang diajarkan oleh kedua orangtua dan kakaknya. Pada usia tujuh tahun, Noer Alie mengaji pada guru Maksum di kampung Ujung Malang Bulak. Pelajaran yang diberikan oleh gurunya lebih dititikberakan pada pengenalan dan mengeja huruf Arab, menyimak, menghafal dan membaca Juz-amma serta menghafal dasar – dasar Rukun Islam, Rukun Iman, tarikh para nabi, akhlak dan fikih.
Dua tahun kemudian, Noer Alie kecil mendapat guru baru bernama Mughni, masih di Ujung Malang. Ia mendapatkan pelajaran-pelajaran alfiah atau tata bahasa Arab, Al-Qur’an, tajwid, nahwu, tauhid dan fiqih.
Saat beranjak remaja, Noer Alie pindah ke Klender. Ia mondok di sebuah pesantren dan menuntut ilmu pada guru Marzuki. Noer Alie remaja mempelajari kitab kuning (kitab Islam Klasik ) sebagai inti pendidikan. Di samping itu, ia juga belajar cara menunggang kuda dan berburu bajing, hewan pemakan buah kelapa yang dianggap sebagai hama.
Ketika usianya 20 tahun, ia pergi ke Mekkah. Di sana, ia menuntut ilmu di Madrasah Darul Ulum. Semangat belajarnya yang tinggi membuat ia berguru pada beberapa ulama di lingkungan Masjidil Haram, antara lain pada Syeikh Alie Al-Maliki (hadits); Syeikh Umar Hamdan (kutubusittah: hadits yang diriwayatkan oleh enam perawi: Buchori, Tarmizi, Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah ); Syeikh Ahmad Fatoni (fikih, dengan kitab Iqna sebagai acuan); Syeikh Mohamad Amin al-Quthbi (ilmu nahwu, qawati/sastra ), badi’/mengarang, tauhid dan mantiq/ ilmu logika yang mengandung filsafah Yunani, dengan kitab Asmuni sebagai acuan); Syeikh Abdul Zalil (ilmu politik); Syeikh Umar Atturki dan Syeikh Ibnu Arabi (hadits dan ulumul Qur’an).
Selama di negeri orang, ia aktif berorganisasi. Salah satunya, dengan menjadi anggota pelajar Islam dari Jepang, sebagai Ketua Persatuan Pelajar Betawi (PBB), dan aktif di Perhimpunan Pelajar – Pelajar Indonesia (PPPI), Persatuan Talabah Indonesia (Pertindo) dan Perhimpunan Pelajar Indonesai Melayu (Perindom).
Noer Alie muda memutuskan kembali ke Tanah Air pada 1939 setelah mendapat kabar negerinya ditindas kaum penjajah. Sebuah pesan penting disampaikan Syeikh Alie Al – Maliki padanya. “ Ingat, jika bekerja jangan jadi penghulu (pegawai pemerintah). Kalau kamu mau mengajar, saya akan ridho dunia akhirat.” Pesan itu terus terngiang di benaknya hingga tiba di Indonesia.
Ulama Pejuang
Setibanya di Tanah Air, Noer Alie membuat gebrakan dengan mendirikan madrasah. Suami Siti Rahmah binti Mughni itu lalu menghimpun kekuatan umat, di antaranya membangun jalan tembus Ujung Malang – Teluk Pucung pada 1941.
Untuk mempersiapkan diri bila sewaktu – waktu bangsa Indonesia harus bertempur secara fisik, Noer Alie menyalurkan santrinya ke dalam Heiho (pembantu prajurit), Keibodan (barisan pembantu polisi) di Teluk Pucung. Salah seorang santrinya, Marzuki Alam, dipersilakan mengikuti latihan kemiliteran Pembela Tanah Air (Peta).
Saat Rapat Ikada digelar pada pada 19 September 1945 di Monas, Noer Alie datang dengan mengendarai delman. Nama Noer Alie kian dikenal di kalangan pejuang saat Bung Tomo meneriakkan namanya beberapa kali dalam siaran radionya di Surabaya, Jawa Timur.
Pada bulan November 1945, KH Noer Alie membentuk Laskar Rakyat. Seluruh badal (pasukan) dan santrinya diperintahkan menghentikan proses belajar-mengajar untuk mendukung perjuangan. Ia kemudian mengeluarkan fatwa: “Wajib hukumnya berjuang melawan penjajah.” Dalam waktu singkat, Laskar Rakyat berhasil menghimpun sekitar 200 orang yang merupakan gabungan para santri dan pemuda sekitar Babelan, Tarumajaya, Cilincing, Muaragembong. Mereka dilatih mental oleh KH Noer Alie dan secara fisik dilatih dasar-dasar kemiliteran oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Bekasi dan Jatinegara.
Akhir 1945, dibentuk kesatuan bersenjata yang berafiliasi kepada partai politik. Saat itu, Abu GhozAlie sebagai komandan resimen Hizbullah Bekasi (badan pejuangan Partai Majelis Sjuro Muslimin Indonesia/ Masjumi) menunjuk KH Noer Alie sebagai komandan Batalyon III Hizbullah Bekasi.
Setelah Agresi Militer Pertama Belanda pada 1947, KH Noerl Alie mengadakan musyawarah darurat di Karawang. Itu dilakukan karena ia tidak rela melihat negerinya terus dijajah. Hasil musyawarah itu memutuskan untuk mengirim KH Noer Alie bersama lima orang rekannya menemui Panglima Besar Jenderal Soedirman di Jogjakarta.
Sesampai di Jogjakarta, rombongan KH Noer Alie diterima oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohadjo karena Jenderal Soedirman tidak berada di tempat. KH Noer Alie diminta untuk melakukan perlawanan secara bergerilya. Ia kemudian mendirikan Hizbullah - Sabilillah pusat dengan nama Markas Pusat Hizbullah-Sabilillah ( MPHS ) yang diketuai langsung oleh dirinya.
Pada 10 Januari 1948, Mohammad Moe’min, Wakil Residen Jakarta dari pihak Republik Indonesia, mengangkat KH Noer Alie sebagai Koordinator (Pejabat Bupati) Kabupaten Jatinegara. Namun jabatan pemerintahan yang seharusnya dimulai pada 15 Januari 1948 tidak berlangsung lama, karena pada 17 Januari 1948 terjadi Perjanjian Renville yang mengharuskan tentara Indonesia di Jawa Barat hijrah ke Jawa Tengah dan Banten. KH Noer Alie memilih hijrah ke Banten dengan membawa 100 orang pasukan dari Kompi Syukur.
Ketika perlawanan bersenjata mulai mereda, pada 1949 KH Noer Alie memilih berjuang di lapangan sipil. Ia diminta membantu Muhammad Natsir sebagai anggota delegasi Republik Indonesia Serikat di Indonesia dalam konperensi Indonesia – Belanda.
Dalam kesempatan tersebut, KH Noer Alie sempat membahas kelanjutan perjuangan dengan tokoh – tokoh nasional di Jakarta, seperti Muhammad Natsir, Mr. Yusuf Wibisono, Mr. Muhammad Roem, Muhammad Syafe;I dan KH Rojiun, dan kemudian ia diminta untuk menyalurkan aspirasi polotiknya, bergabung dalam partai Masjumi.
Pada Januari 1950, KH Noer Alie bersama teman – teman dan anak buahnya, seperti R. Supardi, Madnuin Hasibuan, Namin, Taminudin, Marzuki Hidayat, Marzuki Urmani, Nurhasan Ibnuhajar, A. Sirad, Hasan Syahroni dan Masturo membentuk Panitia Amanat Rakyat. Pada 17 Januari 1950, Panitia Amanat Rakyat itu kemudian menghimpun sekitar 25.000 rakyat Bekasi dan Cikarang di Alun – Alun Bekasi. Mereka mendeklarasikan resolusi yang menyatakan penyerahan kekuasaan pemerintah Federal kepada Republik Indonesia. Pengembalian seluruh Jawa Barat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dan KH Noer Alie bersama Lukas Kustaryo menuntut agar nama kabupaten Jatinegara diubah menjadi Kabupaten Bekasi. Tuntutan tersebut diterima oleh Perdana Menteri Mohammad Natsir, sehingga pada 15 Agustus 1950 terbentuklah Kabupaten Bekasi di Jatinegara, serta selanjutnya dimasukkan ke dalam wilayah Provinsi Jawa Barat.
Ulama Kharismatik
KH Noer Alie dikenal dengan sebutan “Engkong Kiai.” Jika ia berjalan, tidak ada seorang pun, baik pejalan kaki atau pun yang memakai kendaraan, yang berani mendahuluinya. Mereka lebih cenderung untuk memilih jalan lain atau melompati got sebagai jalan pintas apabila terpaksa harus mendahului Engkong Kiai.
Pada zamannya, tidak ada akses jalan yang rusak di sekitar desa, karena apabila terjadi kerusakan jalan dan diketahui oleh KH Noer Alie, aparat pemerintah akan langsung buru – buru memperbaikinya, mengingat besarnya jasa beliau terhadap pembangunan, terutama di wilayah Bekasi.
Salah satu karya fenomenal yang berhasil diwujudkan oleh KH Noer Alie adalah pembangunan dan pembukaan akses jalan secara besar – besaran di sekitar Desa Ujungharapan Bahagia, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi. Semua warga dengan sukarela dan ikhlas akan mewakafkan tanahnya jika yang meminta KH Noer Alie. Ia pun tak segan untuk turun langsung bergotong-royong bersama warga membangun jalan seperti saat pelebaran Gang Perintis pada 1980.
Jasa-jasanya itulah yang akhirnya membuat ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional dan bintang Maha Putra Adipradana oleh pemerintah Republik Indonesia pada 2006. Penghargaan lainnya adalah dengan menjadikan nama “Singa Karawang-Bekasi” itu sebagai nama jalan di sepanjang Kalimalang menuju Jakarta.
KIAI HAJI NOER ALIE (Alm) TOKOH PEJUANG DARI BEKASI JAWA BARAT Pahlawan Nasional dan Bintang Mahaputera Adipradana Pada tanggal 3 November 2006, atas nama Presiden RI (Kepres RI No. 085/TK/Tahun 2006)menganugerahkan gelar `Pahlawan Nasional` dan `Bintang Mahaputera Adipradana` kepada Alm. Kiai Haji Noer Alie tokoh pejuang dari Bekasi Jawa Barat, atas jasa-jasanya. • Pada tahun 1937 bersama Hasan Basri membentuk organisasi Persatuan Pelajar Betawi dimana KH. Noer Alie sebagai ketuanya. • Tahun 1945 KH. Noer Alie membentuk Laskar Rakyat bekerja sama dengan TKR Bekasi dan Jatinegara untuk memobilisasi pemuda dan santri ikut latihan kemiliteran di Teluk Pucung-Bekasi. • Setelah Agresi Militer I Belanda, KH. Noer Alie mendirikan organisasi gerilya baru dengan nama Markas Pusat Hizbullah Sabulillah (MPHS) di Tanjung Karekok Cikampek. • Pada tahun 1955, Masyumi Bekasi memperoleh suara terbanyak dalam Pemilu dimana beliau sebagai Ketua Cabang Masyumi Bekasi oleh Masyumi Pusat sebagai salah seorang anggota Dewan Konstituante pada bulan Desember 1956.

[[KH. Noer Ali, Putra Betawi yang Menjadi Pahlawan Nasional
“Bukan orang Bekasi namanya kalau dia tidak kenal KH. Noer Ali“. ya itu adalah ungkapan yang sering saya dengar dari para orang tua dulu. Sosok beliau sangat terkenal dimata orang bekasi karena ia menjadi ikon kebanggaan masyarakat betawi (khususnya di Karawang-Bekasi) pada masa revolusi. Beliau terkenal dengan sebutan “Singa Karawang Bekasi” atau ada juga yang menyebutnya “si Belut Putih”.Saya memang tidak banyak tau tentang sejarah beliau. Saya hanya dapat kisahnya dari para orang tua. Beliau adalah seorang ulama dan pemimpin pada zaman revolusi. Kembali ke KH. Noer Ali, selain berjuang melawan penjajah beliau juga memiliki pesantren At- Taqwa yang berpusat di Kampung Ujung Harapan (dulu bernama Ujung malang) . Kini pesantren tersebut sudah memiliki lebih dari 50 Cabang. Dan saya adalah orang yang termasuk salah satu santri dicabangnya (At- Taqwa VIII). Cerita perjuangan beliau begitu banyak yang saya dapatkan baik dari para orang tua maupun guru (ceritanya seperti film-film kolosal ^_^). Ia selalu bisa lolos/menghilang ketika ditangkap belanda (mungkin karena itu kali ya dia berjuluk si belut putih), meriam-meriam belanda yang tidak bisa meledak, murid-muridnya yang kebal peluru karena amalan wirid dan ratibnya, dll. Beliau juga sangat terkenal di mata masyarakat non muslim karena sikap tolerannya, hal itu dibuktikan ketika beliau sangat melindungi masyarakat tiong hoa yang non Muslim dari penjajah Belanda. Alhamdulillah pada 9 November 2006 akhirnya ia diangkat menjadi pahlawan Nasional, pemerintah RI menganugerahi gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Maha Putra Adipradana. Berikut sekilas dari biografinya
KH. Noer Ali “Singa Karawang-Bekasi” Sebagaimana biografi yang ditulis Ali Anwar, Noer Ali lahir tahun 1914 di Kp. Ujungmalang (sekarang menjadi Ujungharapan), Kewedanaan Bekasi, Kabupaten Meester Cornelis, Keresidenan Batavia. Ayahnya bernama H. Anwar bin Layu, seorang petani dan ibunya bernama Hj. Maimunah binti Tarbin. Meskipun ayahnya hanya sebagai petani, namun karena kemauan keras untuk menuntut ilmu, Noer Ali pergi ke Mekah dengan meminjam uang dari majikan ayahnya yang harus dibayar dicicil selama bertahun-tahun. Selama enam tahun (1934-1940) Noer Ali belajar di Mekah. Saat di Mekah, semangat kebangsaannya tumbuh ketika ia merasa dihina oleh pelajar asing yang mencibir: “Mengapa Belanda yang negaranya kecil bisa menjajah Indonesia. Harusnya Belanda bisa diusir dengan gampang kalau ada kemauan!”. Noer Ali pun “marah” dan menghimpun para pelajar Indonesia khususnya dari Betawi untuk memikirkan nasib bangsanya yang dijajah. Ia diangkat teman-temannya menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Betawi di Mekah (1937). Sekembalinya ke tanah air, Noer Ali mendirikan pesantren di Ujungmalang. Ketika Indonesia merdeka, ia terpilih sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Cabang Babelan. Tanggal 19 September 1945 ketika diselenggarakan Rapat Raksasa di Lapang Ikada Jakarta, Noer Ali mengerahkan massa untuk hadir. Dalam mempertahankan kemerdekaan, ia menjadi Ketua Lasykar Rakyat Bekasi, selanjutnya menjadi Komandan Batalyon III Hisbullah Bekasi. Bung Tomo saat itu dalam pidato-pidatonya dalam Radio Pemberontak menyebutnya sebagai Kiai Haji Noer Ali sehingga selanjutnya ia dikenal sebagai K.H. Noer Ali. Peranan pentingnya muncul ketika terjadi Agresi Militer Juli 1947. K.H. Noer Ali menghadap Jenderal Oerip Soemohardjo di Yogyakarta. Ia diperintahkan untuk bergerilya di Jawa Barat dengan tidak menggunakan nama TNI. K.H. Noer Ali pun kembali ke Jawa Barat jalan kaki dan mendirikan serta menjadi Komandan Markas Pusat Hisbullah-Sabilillah (MPHS) Jakarta Raya di Karawang. Saat itu, Belanda menganggap tentara Republik sudah tidak ada. Noer Ali meminta rakyat Rawagede untuk memasang ribuan bendera kecil-kecil dari kertas minyak ditempel di pepohonan. Tentara Belanda (NICA) melihat bendera-bendera itu terkejut karena ternyata RI masih eksis di wilayah kekuasaannya. Belanda mengira hal itu dilakukan pasukan TNI di bawah Komandan Lukas Kustaryo yang memang bergerilya di sana. Maka pasukan Lukas diburu dan karena tidak berhasil menemukan pasukan itu, Belanda mengumpulkan rakyat Rawagede sekitar 400 orang dan kemudian dibunuh. Peristiwa ini membangkitkan semangat rakyat sehingga banyak yang kemudian bergabung dengan MPHS. Kekuatan pasukan MPHS sekitar 600 orang, malang melintang antara Karawang dan Bekasi, berpindah dari satu kampung ke kampung lain, menyerang pos-pos Belanda secara gerilya. Di situlah K.H. Noer Ali digelari “Singa Karawang-Bekasi”. Ada juga yang menyebutnya sebagai “Belut Putih” karena sulit ditangkap musuh. Sebagai kiai yang memiliki karomah, Noer Ali menggunakan tarekat untuk memperkuat mental anak buahnya. Ada wirid-wirid yang harus diamalkan, namun kadang-kadang anak buahnya ini tidak taat. Tahun 1948 Residen Jakarta Raya mengangkat K.H. Noer Ali sebagai Koordinator Kabupaten Jatinegara. Ketika terjadi Perjanjian Renville, semua pasukan Republik harus hijrah ke Yogyakarta atau ke Banten. Ia hijrah ke Banten melalui Leuwiliang, Bogor. Di Banten, MPHS diresmikan menjadi satu baltalyon TNI di Pandeglang. Saat akan dilantik, tiba-tiba Belanda menyerbu. Noer Ali pun bersama pasukannya bertempur di Banten Utara sampai terjadinya Perjanjian Roem-Royen. Dalam Konferensi Meja Bundar yang mengakhiri Perang Kemerdekaan 1946-1949, Noer Ali diminta oleh Mohammad Natsir membantu delegasi Indonesia. Selain itu, ia pun masuk ke luar hutan untuk melakukan kontak-kontak dengan pasukan yang masih bertahan. Ketika pengakuan kedaulatan ditandatangani Belanda, MPHS pun dibubarkan. Jasa-jasanya selama masa perang kemerdekaan dihargai orang termasuk oleh A.H. Nasution, yang menjadi Komandan Divisi Siliwangi waktu itu. Kemudian dimulailah perjuangan K.H. Noer Ali dalam mengisi kemerdekaan melalui pendidikan maupun melalui jalur politik. Pemikiran Noer Ali untuk memajukan pendidikan di negeri ini, sebenarnya sudah dimulai sejak ia mendirikan pesantren sepulang dari Mekah. Setelah merdeka, peluang lebih terbuka. Tahun 1949, ia mendirikan Lembaga Pendidikan Islam di Jakarta. Selanjutnya Januari 1950 mendirikan Madrasah Diniyah di Ujungmalang dan selanjutnya mendirikan Sekolah Rakyat Indonesia (SRI) di berbagai tempat di Bekasi, kemudian juga di tempat lain, hingga ke luar Jawa. Di lapangan politik, peran Noer Ali memang menonjol. Saat Negara RIS kembali ke negara kesatuan, ia menjadi Ketua Panitia Amanat Rakyat Bekasi untuk bergabung ke dalam NKRI. Tahun 1950, Noer Ali diangkat sebagai Ketua Masyumi Cabang Jatinegara. Tahun 1956, ia diangkat menjadi anggota Dewan Konstituante dan tahun 1957 menjadi anggota Pimpinan Harian/Majelis Syuro Masyumi Pusat. Tahun 1958 menjadi Ketua Tim Perumus Konferensi Alim Ulama-Umaro se-Jawa Barat di Lembang Bandung, yang kemudian melahirkan Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat. Tahun 1971-1975 menjadi Ketua MUI Jawa Barat. Di samping itu, sejak 1972 menjadi Ketua Umum Badan Kerja Sama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat. Dalam perkembangan selanjutnya, ia bersikap sebagai pendamai, tidak pro satu aliran. Dengan para kiai Muhammadiyah, NU, maupun Persis, ia bersikap baik.*** - Prof. Dr. Nina H. Lubis, M.S. adalah Guru Besar Ilmu Sejarah Fak. Sastra Unpad/Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Unpad/Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat.

Liputan Khusus

Bekasi, Titik Awal Pemberontakan Jawara Betawi

Yuliawati, Aulia Bintang Pratama, CNN Indonesia | Selasa, 21/06/2016 13:47 WIB
Bagikan :  
Description: Bekasi, Titik Awal Pemberontakan Jawara BetawiTanam paksa di zaman kolonial Belanda. (Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen via Wikimedia CC-BY-SA-3.0)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sistem tanah partikelir yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda pada abad 19, menimbulkan berbagai reaksi pemberontakan dan perlawanan yang dipelopori para para jawara di Betawi.

Pemberontakan yang muncul paling awal tercatat pada 3 April 1869 di Tambun, Bekasi. Ketika itu, Bekasi merupakan bagian dari residen Batavia.

Sistem partikelir membuat masyarakat Bekasi sengsara karena sebagian tanah Bekasi dikuasai para tuan tanah Cina dan Eropa.

“Masyarakat Bekasi termasuk yang paling menderita di mana para tuan tanah memperlakukan rakyatnya sebagai buruh budak yang terus diperas keringatnya,” kata Jenderal Besar TNI (Purn) AH Nasution dalam kata sambutan di buku KH Noer Ali Kemandirian Ulama Pejuang.

Pemberontakan yang terjadi di Tambun dipimpin oleh jawara bernama Bapak Rama. Aksi yang melibatkan ratusan orang ini menewaskan seorang Asisten Residen Meester Cornelis C.E Kuijper, beberapa aparat pemerintah dan tuan tanah. Para pemberontak kemudian dijatuhi hukuman mati dengan eksekusi dilangsungkan di alun-alun Bekasi.
Lihat juga:
Ketika itu, meski Bekasi rawan kekerasan, namun tanah dan airnya tetap menarik investor. Pada 1887 untuk memudahkan kegiatan ekonomi pemerintah Hindia Belanda membangun rel kereta api dari Manggarai, Cakung, Bekasi, Cikarang, Lemah Abang, sampai Kedunggedeh.

Jalur kereta ini malah semakin memperbesar eksploitasi terhadap hasil bumi dan tenanga manusia.

“Hidup masyarakat kian terbebani oleh kenaikan harga yang tinggi, upah buruh yang rendah, serta penarikan berbagai jenis pajak dan pungutan liar,” kata Ali Anwar, penulis buku KH Noer Ali Kemandirian Ulama Pejuang, kepada CNNIndonesia.com, pekan lalu.
Description: https://images.detik.com/community/media/visual/2016/06/21/cd60251a-ee46-4e28-946c-d22b28866a96_169.jpg?w=620Rumah tuan tanah Bekasi. (Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen via Wikimedia CC-BY-SA-3.0)
Saat itu muncul jawara bernama Entong Tolo yang membela kepentingan rakyat namun kerap terlibat dalam perampokan. Pada 1910, Entong Tolo tertangkap dan dibuang ke Menado.

Beberapa tahun kemudian, pada 1913 muncul demonstrasi dari kaum buruh petani yang memprotes upah yang terlalu rendah. Aksi ini dimobilisir oleh Djoemiat Islamijah, perpanjangan tangan Sarekat Islam.
Lihat juga:
“Para petani menuntut kenaikan upah dari 22 sen menjadi 50 sen,” kata Ali. Menghadapi ini, pemerintah Hindia Belanda malah menambah pasukan Marsose yang terkenal kejam pada 1922.

Setelah masa kemerdekaan, para pejuang mempertahankan kemerdekaan dan tak mau dijajah lagi oleh bangsa asing. Beberapa ulama dan para jago yang memimpin perjuangan di antaranya Marzuki Urmaini (dari Gerakan Pemuda Islam Bekasi-GPIB), Kyai Haji Noer Alie, Angkut Abu Gozali, Rijan bersama anaknya, M.Husein Kamaly, dan Gusir.

Berkat perjuangannya Kyai Haji Noer Ali mendapat gelar pahlawan pada 2006.

Haji Darip dan Jaringan Antar Jawara

Tak jauh dari Bekasi, muncul tokoh jawara Betawi asal Klender, Muhammad Arif alias Darip yang dilahirkan pada 1886. Darip yang pernah belajar ke Mekah selama tiga tahun ini dikenal dengan sebutan Haji Darip.
Description: https://images.detik.com/community/media/visual/2016/06/21/3fb54814-dc57-4f26-9549-83944b0b16a5_43.jpg?w=300Haji Darip. (CNN Indonesia/Aulia Bintang Pratama)
Haji Darip ketika bekerja di perusahaan kereta api, pernah terlibat dalam pemogokan jalur kereta api milik Belanda pada 1923. Aksi pemogokan diorganisir Partai Komunis Indonesia dengan mengerahkan serikat buruh kereta api. Catatan mengenai kiprah Haji Darip ini tertulis di antaranya di buku Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949, karangan Robert Cribb.

Masyarakat Betawi mengenangnya sebagai pahlawan dan namanya diabadikan menjadi sebuah jalan di daerah Klender menuju Bekasi. Kisah perjuangan Darip dikenang lewat cerita lisan antar penduduk pribumi.

“Babeh tak menyimpan catatan sejarah mengenai masa perjuangannya,” kata Ahmad Huryani alias Haji Uung, 69 tahun, anak dari Haji Darip, kepada CNNINdonesia.com.

Berkat kepiawaiannya, Haji Darip memiliki wilayah kekuasaan yang luas, membentang dari markasnya di Klender, Pulogadung hingga Jatinegara.

Selama masa revolusi kemerdekaan, Haji Darip membangun jaringan dengan jawara lain seperti Camat Nata (gerombolan di Tambun), Haji Eman, Haji Masum Teluk Pucung, dan Pa’ Macen.

Selain itu, Haji Darip berhubungan dekat dengan Kyai Haji Noer Ali, jago dan ulama asal Bekasi dan Imam Syafi’i seorang tokoh jagoan yang menguasai dunia kriminialitas di daerah Senen.

Kerjasama antar para tokoh jawara berupa pembagian senjata dan kendaraan dari markas tentara Sekutu. Menurut Cribb, Haji Darip pernah mendapat suplai senjata dari pemimpin revolusi di Jawa Timur, Dr Mustopo.
Lihat juga:
Seorang yang pernah menjadi mandor waktu zaman Belanda, Murtadho yang berjuluk Macan Kemayoran juga memberikan bantuan senjata kepada Haji Darip.

“Babeh mencuri senjata dari gudang penyimpanan di Sunda Kelapa dan membawanya ke Pulogadung dengan menyusupinya ke dalam beras,” kata Iwan Cepi Murthado, anak dari Murthado kepada CNNIndonesia.com, Rabu (15/6).

Selain membangun jaringan dengan para jawara lain, Haji Darip bekerjasama dengan kelompok Menteng 31, yaitu kelompak kaum muda terpelajar Indonesia yang terdiri dari para mahasiswa kedokteran. Pada saat berlangsung pertemuan di Lapangan Ikada pada 19 September 1945, Haji Darip mengutus anak buahnya menghadiri pertemuan.

Laskar Rakyat

Pada masa masa revolusi kemerdekaan, muncul perlawanan rakyat dalam bentuk laskar-laskar sipil bersenjata. Haji Darip memimpin Barisan Rakyat (BARA).
BARA membentuk pasukan berani mati yang anggotanya terdiri dari narapidana kasus pembunuhan.
Menurut Amurwani Dwi Lestariningsih dalam Para Penuntut Balas : Jago dan Jagoan Studi Kriminalitas di Jakarta 1945-1950, BARA ini pernah mendapat didikan militer pada masa Jepang. Kelompok ini selain merekrut anggota dari masyarakat biasa, juga menarik para narapidana Cipinang .

BARA membentuk pasukan berani mati yang anggotanya terdiri dari narapidana kasus pembunuhan. "Para penghuni tahanan segan dan menaruh hormat terhadap Haji Darip karena ilmu silat dan ilmu kebal yang dimilikinya," tulis Amurwani.

Beberapa pertempuran yang dihadapi BARA di antaranya serangan pada 20 November 1945, di daerah Jati Petamburan, Karet dan Jati Baru. Pada awal Januari 1946, serdadu-serdadu NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie) membakar rumah-rumah di Jatinegara, Kemuning, dan Gang Ambon.

Kelompok Darip tak kuasa menghadapi perlawanan NICA karena kurangnya persenjataan. Serangan-serangan ini memaksa kelompok Darip bergeser ke luar Jakarta.

Awalnya mereka mundur ke Pulogadung berlanjut ke Cakung, Cikarang, Tambun, Bekasi, Kerawang, Cikampek dan akhirnya mendirikan markas di Purwakarta.
Lihat juga:
Pada 1947, Haji Darip tertangkap oleh pasukan Belanda di Cirebon dan dijebloskan ke dalam penjara Glodok. Ia dijatuhi hukuman selama dua tahun delapan bulan. Pada 1950, Darip dibebaskan kawan-kawan seperjuangannya dalam suasana Republik Indonesia Serikat.

Haji Darip meninggal tahun 1981 dalam usia 84 tahun. “Bapak sakit-sakitan, dia dirawat di Cempaka Putih dan dimakamkan di Tanah Koja,” kata Haji Uung.



http://wisatasejarahbekasi.blogspot.com/2016/10/haji-riyan-pimpinan-perlawanan.html?m=1
Saat jaman Hindia Belanda, Haji Riyan masuk dalam jajaran pimpinan Sarekat Islam (SI) cabang Distrik Bekasi. Organisasi satu-satunya yang berani secara terang benderang melawan kekuasaan tuan tanah dan penindasan pemerintahan Belanda. SI cabang Bekasi bahkan lebih militan dibanding SI lain di wilayah Meester Cornelis. 

Ketika Jepang berkuasa  (1942-1945), Haji Riyan aktif di organisasi AAA (Jepang pemimpin Asia, Jepang cahaya Asia, Jepang pelindung Asia). Keterlibatannya disini karena lembaga ini merupakan lembaga yang membuka pintu untuk tercapainya Indonesia merdeka. Namun seiring waktu tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh kedua belah pihak. AAA pun hanya berusia beberapa bulan saja. Tahun 1943 dibubarkan.

Ketika Jepang kalah dan Belanda berusaha menancapkan kukunya kembali dibumi pertiwi, guru mengaji ini kembali memperlihatkan taringnya. Mengerahkan masa ke lapangan Ikada untuk mendengarkan pidato Bung Karno pada 19 September 1945 merupakan awal. Sidik Kertapati selaku tokoh muda dari Jakarta melakukan konsolidasi gerakan dengan Haji Riyan di Kranji, Guru Noer Ali di Ujung Malang.

Bersama anak-anaknya, serta sejumlah cucunya, dia memimpin perlawanan dengan mengangkat senjata. Dengan didukung Haji Mesir yang juga dari Kranji, mereka saling bahu-membahu. Rumahnya pun dijadikan markas perjuangan dari kesatuan Pelopor dan Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI) yang dipimpin anaknya, M. Husein Kamaly. Tidak hanya itu, rumahnya juga menjadi dapur umum, manakala Kali Cakung masih menjadi garis tapal batas. Itu sebabnya, jalan di sana diberi nama Jalan Banteng.

Peristiwa pertempuran yang cukup sengit dibawah pimpinannya adalah saat tentara Inggris berusaha merangsek ke Bekasi pada 29 November 1945. Bersama sejumlah kesatuan lain dari laskar maupun BKR pimpinan Letkol Moeffreni Moe’min dan Mayor Sambas Atmadinata, mereka mencegat di sekitar rel yang membelah jalan (kini jalan Sultan Agung/sekitar bawah fly over Kranji). Setelah pertempuran jarak dekat, pihak republik pun mengalami kemenangan mutlak. Mereka berhasil memukul mundur Inggris. Ini adalah pertempuran pertama yang Head to Head dan pasukan Republik menang. Sudah sepantasnya di kolong fly over Kranji dibangun sebuah monumen perjuangan. Karena orang Kranji, Bekasi, dan sekitarnya telah mengalahkan sang Pemenang Perang Dunia Kedua, yaitu Inggris.

Akibatnya, Haji Riyan dan Haji Mesir pun masuk dalam data intellijen Belanda sebagai orang yang berbahaya dan dicari. Kalau istilah sekarang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).

Karena menjadi inceran Inggris dan Sekutu, pria kelahiran 1875 ini pun memindahkan markasnya ke Kayuringin. Dan terus berpindah tempat sambil melakukan perang gerilya. Padahal saat itu usianya sudah 70 tahun.

Selama perang kemerdekaan, sebagai tokoh yang kharismatik dan disegani, dirinya sering kali menjadi tempat konsultasi bagi para pejuang. Baik dari laskar maupun tentara.

Setelah Belanda angkat kaki dari bumi Bekasi, Haji Riyan kembali beraktivitas seperti semula. Menikmati hidup yang selama ini diimpikan, menjadi bangsa yang benar-benar merdeka. Tidak dalam jajahan negara manapun.

Ayah dari Husein Kamaly (Ketua DPRD pertama hasil pemilu 1955) ini kemudian meninggal pada 23 September 1957 di usia 82 tahun. Selama hidupnya, dia beserta anak-anak dan cucu-cucunya tidak mengambil uang veteran. Baginya, berjuang itu harus ikhlas. Meskipun begitu Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) tetap menancapkan replika bendera Merah Putih di pusaranya. Hal ini menunjukkan bahwa negara mengakui dirinya sebagai seorang pejuang kemerdekaan 1945-1949.

Sebagai seorang yang berjasa bagi bangsa dan negara, saya sendiri mengusulkan agar beliau diusulkan sebagai Pahlawan Nasional. Ya setidaknya minimal oleh Pemda Kota Bekasi disematkan sebagai Pahlawan Bekasi. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. 

Makamnya terletak di Kompleks pemakaman Mushala Al-Ikhlas, Gang Swadaya, Jalan Banteng, Kranji, Kota Bekasi.

Namun sayang, perannya sebagai seorang pejuang telah dilupakan oleh generasi berikut. Banyak sekali orang Bekasi yang tidak mengenalnya. Jangankan orang Bekasi, orang Kranji atau bahkan yang dijalan Banteng sendiri banyak tidak mengenal siapa beliau. 


BEKASI, 19 Oktober 1945. Senja baru saja akan mencapai ujungnya, ketika Letnan Dua Zakaria Burhanuddin mendapat instruksi penting dari Jakarta: harap membiarkan lewat serangkaian kereta api  memuat 90 anggota Kaigun (Angkatan Laut Jepang) yang akan melintas di Stasiun Bekasi beberapa saat lagi.
“Rencananya tentara Jepang yang telah menyerah itu akan dibawa ke lapangan terbang Kalijati, Subang untuk selanjutnya dipulangkan ke Jepang,” tulis Ali Anwar dalam buku KH.Noeralie: Kemandirian Ulama Pejuang.
Alih-alih membiarkan kereta api tersebut lewat, Wakil Komandan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) Bekasi itu malah memerintahkan Kepala Stasiun Bekasi mengalihkan jalur perlintasan kereta api dari jalur dua ke jalur satu yang merupakan jalur buntu. Akibatnya, lokomotif yang menggandeng sembilan gerbong (termasuk tiga gerbong yang memuat 90 anggota Kaigun) terpaksa berhenti, tepat di mulut Kali Bekasi.
Begitu kereta api berhenti, massa rakyat dan pejuang Bekasi langsung melakukan pengepungan. Suasana mencekam saat Letnan Dua Zakaria dan beberapa pengawalnya naik ke atas kereta api tersebut dan menanyakan surat izin dari Pemerintah Republik Indonesia (RI). “Mereka menunjukan surat jalan dari Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo yang dibubuhi tanda tangan Presiden Sukarno,” tulis Ali Anwar.
Di tengah pemeriksaan, tiba-tiba seorang prajurit Kaigun melepaskan tembakan pistol dari arah salah satu gerbong tersebut. Tembakan itu ibarat komando bagi massa rakyat dan pejuang untuk menyerbu. Maka tumpah ruahlah ratusan orang memasuki kereta api itu dengan membawa berbagai macam senjata. Setelah melalui pertempuran kecil, beberapa menit kemudian, massa berhasil menguasai kereta api. Mereka merampas barang-barang yang ada di dalamnya (termasuk ratusan pucuk senjata) dan memasukan 90 tawanan berkebangsaan Jepang itu ke sebuah sel yang berada di belakang gedung Stasiun Bekasi.
Empat jam kemudian, tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan Komandan Resimen V TKR Mayor Sambas, massa rakyat dan pejuang lantas menggiring para tawanan perang itu ke tepian Kali Bekasi. Satu persatu, serdadu malang itu disembelih dan mayatnya dihanyutkan ke dalam sungai.  “Kali Bekasi sampai berwarna merah karena darah yang keluar dari tubuh para serdadu Jepang itu,” demikian dilukiskan oleh Dullah (89), salah seorang penduduk Bekasi yang sempat menyaksikan kejadian tersebut.
Demi mengetahui peristiwa itu, Laksamana Muda Maeda menjadi berang. Dalam nada sangat marah, Komandan Penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat Tentara Kekaisaran Jepang itu melayangkan protes keras kepada Pemerintah RI. Menanggapi protes keras dari Maeda, Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo bersama seorang staf Departemen Luar Negeri RI bernama Boediarto lantas menghadap Maeda. Dalam pertemuan itu, keduanya harus “ikhlas” menjadi sasaran amarah sang laksamana.
“Kejadian ini dapat menjadi bukti kepada dunia bahwa bangsa Indonesia tidak memiliki pendirian yang teguh!” ujar Maeda.
Kombes Soekanto berusaha tidak terpancing amarah yang dilontarkan Maeda itu. Setelah meminta maaf terlebih dahulu, ia kemudian mengatakan bahwa Insiden Stasiun Bekasi tersebut di luar kemampuan Pemerintah RI. “ Memang benar hanya Pemerintah RI yang memiliki hak melakukan hukuman mati, tapi seperti yang Tuan ketahui, Bekasi merupakan daerah yang belum sepenuhnya tunduk kepada hukum Pemerintah Republik Indonesia,” demikian penjelasan Soekanto seperti dikutip dalam Material on Japanese Military Administration in Indonesia yang dikeluarkan oleh Institut Ilmu Sosial Universitas Waseda, Jepang.
Setelah dilakukan pendekatan politik secara intens oleh Pemerintah RI, Maeda akhirnya dapat dibuat maklum. Namun, ia memberi catatan bahwa kejadian itu harus menjadi yang terakhir dan Pemerintah RI wajib mengantisipasi terjadinya insiden serupa secara serius. “ Jika dibiarkan saja, maka tak mustahil  kejadian di Bekasi itu akan merajalela di mana-mana,” ungkap Maeda.
Sebagai bentuk tanggungjawab terhadap insiden tersebut, pada 25 Oktober 1945, Presiden Sukarno berkunjung ke Bekasi. Di depan rakyat Bekasi, ia memohon agar rakyat menaati setiap perintah yang datang dari Pemerintah RI dan melarang keras para pejuang untuk melakukan lagi upaya-upaya pencegatan kereta api.
Sementara itu, beberapa hari usai insiden penyembelihan tentara Jepang tersebut, masyarakat Bekasi digegerkan dengan isu berkeliarannya arwah penasaran 90 serdadu itu. Menurut Dullah, isu itu sempat mempengaruhi rakyat Bekasi (termasuk anggota TKR dan lasykar) hingga begitu memasuki malam, Bekasi menjadi kota yang sangat sunyi karena setiap orang enggan keluar rumah.
Robert B. Cribb merekam gejala itu dalam bukunya Para Jago dan Kaum Revolusiener Jakarta 1945-1949. Ia menyebutkan pasca kematian menggenaskan para serdadu Jepang itu, hampir tiap malam Bekasi dihantui terror isu arwah penasaran. Diyakini, hantu para prajurit yang terbunuh di Bekasi bangkit kembali menghantui sekitar tempat mereka meregang nyawa.        
 “Mereka disebutkan berbaris dalam formasi dan melintasi jembatan sementara kepala disembunyikan di balik lengan para hantu tersebut…” tulis Cribb.


Mengenal Haji Darip, Panglima Perang Klender Sahabat Bung Karno


Liputan6.com, Jakarta - Perjuangan merebut kemerdekaan di tanah Betawi tak bisa lepas dari peran ulama dan guru agama yang menjadi panutan bagi masyarakat saat itu.
Tak hanya berdakwah dan menyampaikan syiar islam, para ulama bahkan ikut turun ke jalan memimpin perlawanan menghadapi penjajah.

Salah satu ulama yang cukup melegenda yaitu Muhammad Arif atau biasa dikenal dengan Haji Darip. Bagi masyarakat Betawi di Jakarta Timur, khususnya kawasan Klender, nama Haji Darip sudah tak asing lagi. Dia dikenal sebagai ulama sekaligus pemimpin perlawanan terhadap kompeni Belanda dan Jepang.
Baca Juga
Selepas menimba ilmu di Mekah dan Madinah selama beberapa tahun, Haji Darip kembali ke tanah kelahirannya di kawasan Klender untuk berdakwah. Tak hanya menyampaikan syiar Islam, Haji Darip juga mengajarkan ilmu bela diri atau main pukul yang dimilikinya.
Pria asli Betawi kelahiran 1886 itu memulai perjuangan melalui dakwah dari satu musalah ke musalah di kawasan Klender. Karena dakwah dan syiar islamnya itu, murid dan pengikut Haji Darip lambat laun terus bertambah.
Haji Darip tak sendiri, dia mengajak serta ulama lainnya seperti KH Mursidi dan KH Hasbiallah untuk turut berjuang. Lokasi tempat mereka menyebar semangat perjuangan kini telah berubah menjadi sebuah bangunan Masjid, bernama Masjid Al Makmur di kawasan Klender.
Dalam berbagai literatur yang dikumpulkan Liputan6.com disebutkan, Haji Darip pernah berjuang bersama Presiden Sukarno melalui jalur 'bawah tanah' di kawasan Cilincing dan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Baik zaman Belanda maupun Jepang ia tetap berjuang di jalur perang.
Dari perjuangan bersama ulama, Haji Darip sempat membuat Barisan Pejuang Rakyat Indonesia (BPRI) ketika bergerilya  dari Cikarang ke Purwakarta hingga Karawang.
Dalam perjuangannya pasukan Haji Darip menjadi bagian dari perlawanan NICA Belanda yang masuk bersama tentara sekutu. Karena perjuangannya itu, dia pun dijuluki sebagai 'Panglima Perang Klender'. 
Tiga tahun berjuang, Haji Darip tertangkap dan dipenjara di Rutan Grogol yang kini menjadi kawasan Harco.
Perjuangan tak sampai di situ. Setelah bebas dari penjara,  Belanda telah menyerahkan kedaulatan sepenuhnya pada Indonesia, Haji Darip punya tugas lain. Dia kembali mengangkat senjata membersihkan penjajah Jepang dari Jakarta.
1 dari 2 halaman

Berkongsi Dengan Bung Karno

Kemampuan Ilmu bela diri yang dimiliki Haji Darip pun menjadi hal yang ditakuti penjajah. Bahkan tak hanya pandai bersilat, Haji Darip konon mempunyai ilmu kebal dan tidak mempan dibacok. Reputasi Haji Darip di kalangan pejuang makin menjulang.
Reputasinya sebagai 'Panglima Perang' Klender itu pun membuat para tokoh kemerdekaan, seperti Sukarni dan Pandu Kartawiguna datang padanya. Mereka mengajak Haji Darip mengusir Jepang dari Jakarta sebelum Proklamasi dibacakan Soekarno dan Mohammad Hatta.
Apalagi saat itu, isu pasukan Jepang menyerah selepas bom Hiroshima Nagasaki sudah menyebar luas.
Merespons permintaan dua tokoh muda itu, Haji Darip pun mengumpulkan para pengikutinya untuk kembali melawan penjajah. Kali ini misinya mengusir Jepang. Alhasil, Jepang yang berada di Pangkalan Jati, Pondok Gede, dan Cipinang Cempedak berhasil diusir.
Ilmu agama yang didapat dari Mekah dan Madinah itulah yang membuatnya tidak ragu berjuang untuk bangsa.
Ada prinsip yang dipegangnya: mencintai Tanah Air merupakan bagian dari iman. Prinsip itulah yang terus ditanamkan kepada para jemaahnya sehingga tak gentar dalam berjuang.
Sepeninggal pejuang yang tidak mengenal pamrih itu, Haji Darip justru mendapat perlakuan yang kurang baik.
Wartawan senior Alwi Shahab menggambarkan kondisi Haji Darip yang tidak lagi mendapat pensiunan dan tunjangannya sebagai veteran karena dicabut pemerintah. Tak hanya itu, kediaman tempatnya tinggal juga terkena proyek pelebaran jalan dan tergusur.
"Hanya makamnya saja yang kini tersisa di dekat bekas kediamannya," ucap Alwi Shahab. 

Bekasi, Titik Awal Pemberontakan Jawara Betawi

Yuliawati, Aulia Bintang Pratama, CNN Indonesia | Selasa, 21/06/2016 13:47 WIB
Bagikan :  
Tanam paksa di zaman kolonial Belanda. (Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen via Wikimedia CC-BY-SA-3.0)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sistem tanah partikelir yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda pada abad 19, menimbulkan berbagai reaksi pemberontakan dan perlawanan yang dipelopori para para jawara di Betawi.

Pemberontakan yang muncul paling awal tercatat pada 3 April 1869 di Tambun, Bekasi. Ketika itu, Bekasi merupakan bagian dari residen Batavia.

Sistem partikelir membuat masyarakat Bekasi sengsara karena sebagian tanah Bekasi dikuasai para tuan tanah Cina dan Eropa.

“Masyarakat Bekasi termasuk yang paling menderita di mana para tuan tanah memperlakukan rakyatnya sebagai buruh budak yang terus diperas keringatnya,” kata Jenderal Besar TNI (Purn) AH Nasution dalam kata sambutan di buku KH Noer Ali Kemandirian Ulama Pejuang.

Pemberontakan yang terjadi di Tambun dipimpin oleh jawara bernama Bapak Rama. Aksi yang melibatkan ratusan orang ini menewaskan seorang Asisten Residen Meester Cornelis C.E Kuijper, beberapa aparat pemerintah dan tuan tanah. Para pemberontak kemudian dijatuhi hukuman mati dengan eksekusi dilangsungkan di alun-alun Bekasi.
Lihat juga:
Ketika itu, meski Bekasi rawan kekerasan, namun tanah dan airnya tetap menarik investor. Pada 1887 untuk memudahkan kegiatan ekonomi pemerintah Hindia Belanda membangun rel kereta api dari Manggarai, Cakung, Bekasi, Cikarang, Lemah Abang, sampai Kedunggedeh.

Jalur kereta ini malah semakin memperbesar eksploitasi terhadap hasil bumi dan tenanga manusia.

“Hidup masyarakat kian terbebani oleh kenaikan harga yang tinggi, upah buruh yang rendah, serta penarikan berbagai jenis pajak dan pungutan liar,” kata Ali Anwar, penulis buku KH Noer Ali Kemandirian Ulama Pejuang, kepada CNNIndonesia.com, pekan lalu.
Description: https://images.detik.com/community/media/visual/2016/06/21/cd60251a-ee46-4e28-946c-d22b28866a96_169.jpg?w=620Rumah tuan tanah Bekasi. (Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen via Wikimedia CC-BY-SA-3.0)
Saat itu muncul jawara bernama Entong Tolo yang membela kepentingan rakyat namun kerap terlibat dalam perampokan. Pada 1910, Entong Tolo tertangkap dan dibuang ke Menado.

Beberapa tahun kemudian, pada 1913 muncul demonstrasi dari kaum buruh petani yang memprotes upah yang terlalu rendah. Aksi ini dimobilisir oleh Djoemiat Islamijah, perpanjangan tangan Sarekat Islam.
Lihat juga:
“Para petani menuntut kenaikan upah dari 22 sen menjadi 50 sen,” kata Ali. Menghadapi ini, pemerintah Hindia Belanda malah menambah pasukan Marsose yang terkenal kejam pada 1922.

Setelah masa kemerdekaan, para pejuang mempertahankan kemerdekaan dan tak mau dijajah lagi oleh bangsa asing. Beberapa ulama dan para jago yang memimpin perjuangan di antaranya Marzuki Urmaini (dari Gerakan Pemuda Islam Bekasi-GPIB), Kyai Haji Noer Alie, Angkut Abu Gozali, Rijan bersama anaknya, M.Husein Kamaly, dan Gusir.

Berkat perjuangannya Kyai Haji Noer Ali mendapat gelar pahlawan pada 2006.

Haji Darip dan Jaringan Antar Jawara

Tak jauh dari Bekasi, muncul tokoh jawara Betawi asal Klender, Muhammad Arif alias Darip yang dilahirkan pada 1886. Darip yang pernah belajar ke Mekah selama tiga tahun ini dikenal dengan sebutan Haji Darip.
Description: https://images.detik.com/community/media/visual/2016/06/21/3fb54814-dc57-4f26-9549-83944b0b16a5_43.jpg?w=300Haji Darip. (CNN Indonesia/Aulia Bintang Pratama)
Haji Darip ketika bekerja di perusahaan kereta api, pernah terlibat dalam pemogokan jalur kereta api milik Belanda pada 1923. Aksi pemogokan diorganisir Partai Komunis Indonesia dengan mengerahkan serikat buruh kereta api. Catatan mengenai kiprah Haji Darip ini tertulis di antaranya di buku Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949, karangan Robert Cribb.

Masyarakat Betawi mengenangnya sebagai pahlawan dan namanya diabadikan menjadi sebuah jalan di daerah Klender menuju Bekasi. Kisah perjuangan Darip dikenang lewat cerita lisan antar penduduk pribumi.

“Babeh tak menyimpan catatan sejarah mengenai masa perjuangannya,” kata Ahmad Huryani alias Haji Uung, 69 tahun, anak dari Haji Darip, kepada CNNINdonesia.com.

Berkat kepiawaiannya, Haji Darip memiliki wilayah kekuasaan yang luas, membentang dari markasnya di Klender, Pulogadung hingga Jatinegara.

Selama masa revolusi kemerdekaan, Haji Darip membangun jaringan dengan jawara lain seperti Camat Nata (gerombolan di Tambun), Haji Eman, Haji Masum Teluk Pucung, dan Pa’ Macen.

Selain itu, Haji Darip berhubungan dekat dengan Kyai Haji Noer Ali, jago dan ulama asal Bekasi dan Imam Syafi’i seorang tokoh jagoan yang menguasai dunia kriminialitas di daerah Senen.

Kerjasama antar para tokoh jawara berupa pembagian senjata dan kendaraan dari markas tentara Sekutu. Menurut Cribb, Haji Darip pernah mendapat suplai senjata dari pemimpin revolusi di Jawa Timur, Dr Mustopo.
Lihat juga:
Seorang yang pernah menjadi mandor waktu zaman Belanda, Murtadho yang berjuluk Macan Kemayoran juga memberikan bantuan senjata kepada Haji Darip.

“Babeh mencuri senjata dari gudang penyimpanan di Sunda Kelapa dan membawanya ke Pulogadung dengan menyusupinya ke dalam beras,” kata Iwan Cepi Murthado, anak dari Murthado kepada CNNIndonesia.com, Rabu (15/6).

Selain membangun jaringan dengan para jawara lain, Haji Darip bekerjasama dengan kelompok Menteng 31, yaitu kelompak kaum muda terpelajar Indonesia yang terdiri dari para mahasiswa kedokteran. Pada saat berlangsung pertemuan di Lapangan Ikada pada 19 September 1945, Haji Darip mengutus anak buahnya menghadiri pertemuan.

Laskar Rakyat

Pada masa masa revolusi kemerdekaan, muncul perlawanan rakyat dalam bentuk laskar-laskar sipil bersenjata. Haji Darip memimpin Barisan Rakyat (BARA).
BARA membentuk pasukan berani mati yang anggotanya terdiri dari narapidana kasus pembunuhan.
Menurut Amurwani Dwi Lestariningsih dalam Para Penuntut Balas : Jago dan Jagoan Studi Kriminalitas di Jakarta 1945-1950, BARA ini pernah mendapat didikan militer pada masa Jepang. Kelompok ini selain merekrut anggota dari masyarakat biasa, juga menarik para narapidana Cipinang .

BARA membentuk pasukan berani mati yang anggotanya terdiri dari narapidana kasus pembunuhan. "Para penghuni tahanan segan dan menaruh hormat terhadap Haji Darip karena ilmu silat dan ilmu kebal yang dimilikinya," tulis Amurwani.

Beberapa pertempuran yang dihadapi BARA di antaranya serangan pada 20 November 1945, di daerah Jati Petamburan, Karet dan Jati Baru. Pada awal Januari 1946, serdadu-serdadu NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie) membakar rumah-rumah di Jatinegara, Kemuning, dan Gang Ambon.

Kelompok Darip tak kuasa menghadapi perlawanan NICA karena kurangnya persenjataan. Serangan-serangan ini memaksa kelompok Darip bergeser ke luar Jakarta.

Awalnya mereka mundur ke Pulogadung berlanjut ke Cakung, Cikarang, Tambun, Bekasi, Kerawang, Cikampek dan akhirnya mendirikan markas di Purwakarta.
Lihat juga:
Pada 1947, Haji Darip tertangkap oleh pasukan Belanda di Cirebon dan dijebloskan ke dalam penjara Glodok. Ia dijatuhi hukuman selama dua tahun delapan bulan. Pada 1950, Darip dibebaskan kawan-kawan seperjuangannya dalam suasana Republik Indonesia Serikat.

Haji Darip meninggal tahun 1981 dalam usia 84 tahun. “Bapak sakit-sakitan, dia dirawat di Cempaka Putih dan dimakamkan di Tanah Koja,” kata Haji Uung.

Jawara subang dalam pertempuran keranji bekasi

JAWARA SUBANG DI BEKASI....
DALAM PERTEMPURAN KRANJI......
Siang itu di dekat stasiun Kranji, pasukan tank kavaleri FAVO ke 11 tentara Inggris baru saja mulai memasuki wilayah stasiun Kranji.
4 tank Stuart mengawali Konvoi pasukan Inggris yang akan memberi pelajaran pada "Bekasi" ....  Dibelakang sejumlah truk pengangkut pasukan masih jauh tertinggal.
Biasanya kendaraan lapis baja akan mendahului sekaligus menembak untuk membuka jalan.
Rombongan lapis baja Inggris ini berhenti dipalang pintu kereta sebelum stasiun Kranji karena ada sinyal yang menandakan kereta ada lewat.
Sembari menunggu para awak tank ini, santai saja tanpa memperdulikan sekitar mereka, tanpa disadari mereka bahwa sekelompok orang mengawasi gerak gerik tentara Inggris ini.
"Allah hu Akbar!"....  Allah hu Akbar! "...Tiba tiba seruan takbir itu keras terdengar dan bersahutan. Diiringi oleh gerakan orang orang yang tiba tiba naik ke atas tank Inggris seraya mengeluarkan senjata tajam lalu menghujamkan senjata macam golok, keris dan sabit.
Lalu disusul ledakan granat yang dilemparkan mereka ke dalam tank.
Serdadu Inggris tidak siap!..
terkesima, gagap mereka mencoba melawan. Terjadi pertarungan satu lawan satu.
Tentu saja senjata api tidak bisa memainkan peran sama sekali dalam man to man fight ini, dan akhirnya setelah mencoba bertahan.... Konvoi ini mengundurkan diri kembali ke arah stasiun Cakung dengan kerugian besar.
Sedang para laki laki yang menyerang tiba tiba tentara Inggris itu mendapatkan sejumlah senjata api diantaranya 12 karaben dan 10 senapan mesin.
Mereka adalah pendekar silat Subang yang secara sukarela membantu perjuangan di Front Bekasi. 
Pendekar silat Subang ini dipimpin oleh Haji Ama Purwadireja menghadap komandan Resimen Tjikampek untuk meminta ijin berjuang di fornt terdepan. Dengan di bekali sedikit taktik militer oleh pak Moefreni Moe'min, mereka menunjukan "taji" nya dan yang menjadi korban adalah serdadu Inggris.
Dalam perang satu lawan satu ini, dipihak pesilat gugur 6 orang, sedang di pihak Inggris tidak bisa diketahui berapa korban mereka, namun bila dilihat hasil pertempuran itu.. bisa dibayangkan betapa Inggris ketemu batunya.
Pasukan Inggris dari Devisi kavaleri  FAVO ke 11 mungkin "Jawara" perang kavaleri... Apa lagi sebagai pemenang perang dunia II,  tapi di Kranji... menghadapi  golok dan keris... tak pelak... Akan menjadi catatan tersendiri buat Inggris.
Sumber: buku Jakarta Karawang Bekasi diantara gejolak revolusi,  perjuangan Moefreni Moe'min
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0C5iiT65xSclVajTzgVyruME5Ef0bEhdbwLGRm3WtGUZZmkqI9oH5HZnBnDAOILBVElNo0n4v0gHKW0o9exLlGReWjGBxpgugJqFq4gJoNTSbv2rHWLfYFK3-jseTaus0Z0fdO24641w/s640/FB_IMG_1473660624725.jpg
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi3G1qGv1nGLJkMog0xMyoJw6gZVcZFN2QOy5WGkCRUlAKpjbuepl9-7YkNNE6zBDXtW0eIOGOakXSlSWeA4C8aN1nVVozBMeJUmiAzH7aW72oXaEm4lw8kgB2ZBb6t87wNjS_PeaQgCh4/s640/FB_IMG_1473660620971.jpg


NEWS STORY: Kenalin! Engkong Mursal, Jawara Perang Kemerdekaan Asal Bekasi yang Masih Gahar

Randy Wirayudha, Jurnalis · Sabtu 06 Mei 2017 16:04 WIB
  • Share on Facebook
  • Share on Twitter
  • Share on Google
  • Share on linkedin
  • Share on Pinterest
  • whatsapp
  • Share on mail
  • copy link
  • Toggle
Description: https: img-z.okeinfo.net content 2017 05 06 338 1684850 news-story-kenalin-engkong-mursal-jawara-perang-kemerdekaan-asal-bekasi-yang-masih-gahar-oDab0hzoaj.jpg
Engkong (kakek) H Mursal, salah satu veteran Laskar Hisbullah-Sabilillah pimpinan KH Noer Ali yang masih tersisa (Foto: Randy Wirayudha)


KAWASAN Babelan yang berada di pesisir utara Kabupaten Bekasi dekat Laut Jawa, bisa dibilang sebagai kampung petarung selain kampung santri. Tidak hanya banyak jawaranya, tapi juga dikenal jadi tempat banyak bermukimnya eks petarung revolusi fisik 1945-1949.
Engkong (kakek) H Mursal salah satunya. Berangkat dari kenal dekatnya engkong dengan salah satu keponakan ulama ternama serta pahlawan nasional asal Bekasi KH Noer Ali, tak pelak engkong Mursal pun ikut angkat senjata di masa perang kemerdekaan.
BERITA TERKAIT +
Sebagaimana para (mantan) petarung republik di wilayah Pantai Utara (Pantura) Pulau Jawa yang pernah ditemui penulis, engkong Mursal masih nampak “segar” lagi gahar di usianya yang sudah memasuki 89 tahun. Masih galak, masih kuat pula mengembuskan asap rokok kretek yang diisapnya.
Informasi awal tentangnya, didapat dari rekan penggiat sejarah komunitas Front Bekassi yang berprofesi sebagai notaris, Nurkholis Wardi. Blusukan dan pencarian pun dilancarkan bersama rekan dari komunitas yang sama, Beny Rusmawan.
Setelah tanya sana-sini, didapatlah kediaman sang engkong. Kediaman yang asri dengan banyak pohon dan bangunan rumah sederhana dengan halaman yang luas di depan dan di belakangnya yang dihiasi pohon bambu jepang.
“Kalau ngomong sama engkong, yang sabar yak. Kadang suka ngulang-ngulang pertanyaan. Namanya juga udah tua. Kalau rada galak, maafin yak,” cetus Syafei, salah satu putra engkong H Mursal yang ditemui sebelum masuk ke rumahnya.
Sajian kopi hitam panas dan “cemilan” anggur merah pun melengkapi suasana bertamu. Obrolan ringan sembari minta izin menggali kisahnya mengawali perkenalan yang Alhamdulillah, direspons hangat.
Dari yang tadinya tengah rebahan di kasur kapuknya dengan bercelana training dan kemeja yang kancingnya terbuka semua, hingga berkenan duduk sembari mengenakan kacamata tebalnya.
“Dulu pertama kali ikut Kiai (Noer Ali) karena keponakannya yang biasa maen (bergaul) sama saya. Ketika Kiai memobilisasi pemuda kampung untuk ikut laskar, dateng dia 3 kali ke rumah. Pas dapet izin orangtua, baru saya ikut laskar pimpinan Kiai (Noer Ali),” tutur engkong H Mursal kepada Okezone dengan logat Betawi yang kental di kediamannya di Desa Ujung Bahagia, Babelan, Bekasi.

“Kita dilatih sama M Hasibuan yang dari TKR Laut (Tentara Keamanan Rakyat Laut, kini TNI AL) dan tentara TKR (darat) anak buahnya pak Sambas (Atmadinata, Komandan Batalyon V/Bekasi). Setelah itu ditempatkan di asrama pemuda laskar di Pebayuran,” imbuhnya.
 
Engkong H Mursal selepas pelatihan Laskar Hisbullah-Sabilillah pimpinan KH Noer Ali, tak luput dari rolling tugas menjaga garis demarkasi (Inggris-TKR) di sekitar Kali Cakung, medio November 1945.
“Kita ya ganti-gantian jaga, gabungan TKR sama laskar jaga Kali Cakung. Kadang dikunjungi langsung pak Sambas, pak Lukas (Kustaryo, Danyon I Sektor Karawang-Bekasi). Ngerubuhin pohon sengon sama pohon kelapa buat barikade,” lanjut engkong Mursal.
“Tapi yang namanya Belanda mah, alatnya lengkap. Gampang buat mereka minggirin barikadenya,” sambungnya lagi seraya penulis membenarkan bahwa yang disebut Belanda itu adalah tentara Inggris, lantaran buat engkong, semua orang kulit putih disebutnya Belanda.
Inggris merangsek ke wilayah republik pasca-kejadian salah satu pesawat mereka jatuh di Rawagatel, Cakung dan penumpangnya tiada yang selamat. Diyakini, mereka yang selamat dicabut nyawanya oleh oknum-oknum petarung republik.
Pecahlah Pertempuran Sasak Kapuk. Pertempuran di Pondok Ungu yang kalau sekarang, adanya di simpang Jalan Sultan Agung, Kota Bekasi.
“Itu yang meninggal sampai 27 orang. Anak-anak (laskar, TKR dan TKR Laut) pada kagak denger apa kata Kiai. Mereka lihat mortir-mortirnya kagak meledak di persawahan, malah pada maju. Padahal Kiai perintahin buat mundur. Tahu-tahu Belanda datengin pasukan bantuan dari Kranji,” kenangnya.
Engkong Mursal sendiri jadi salah satu pelakunya dan beruntung, dia sempat mendengarkan seruan KH Noer Ali untuk mundur lantaran pasukannya kalah persenjataan dari Inggris.
Di antara sepak terjang pengalamannya yang paling diingat, adalah ketika engkong H Mursal dan kawan-kawannya nyaris menghabisi tiga orang asing yang ditangkapnya. Ini yang bikin penasaran, karena memang pernah ada cerita yang sama tapi beda versi.
Versi dari beberapa literatur, ada orang asing yang ditangkap dan dijadikan mualaf serta salah satunya dinamai Mustofa, tapi asalnya tentara British India. Akan tetapi versi engkong H Mursal, yang ditangkap itu berkulit putih alias bule yang digeneralisasikannya sebagai Belanda.
“Pernah kita lagi patroli, nangkep tiga orang Belanda. Hampir kita habisin tuh. Kita sempat bawa dulu ke Kiai,” cetusnya lagi yang coba diklarifikasi lagi dengan memotong omongannya, soal benarkah yang ditangkap orang Belanda atau Inggris.
Et dah, dengerin dulu gue mau ceritain ini!,” ketus engkong dengan nada meninggi.
Tapi bukannya malah kesal, kami justru tambah antusias melihat dan mendengar kisah engkong yang masih gahar di usia senjanya.
“Dia itu Belanda, orang badannya gede tinggi begitu, kulitnya putih. Ada tiga orang, tapi yang punya kemampuan (militer/angkat senjata) cuma satu. Yang dua enggak bisa dan cuma dijadiin pesuruh aja sama Kiai,” kisahnya lagi.
“Awalnya mau kita matiin itu. Tapi kata Kiai: ‘Dia kan sama-sama manusia seperti kita. Jangankan dibunuh, dicolek aja enggak boleh’. Terus yang satu itu yang punya kemampuan (militer), dijadiin mualaf dikasih nama Mustofa sama Kiai. Selebihnya, kita berantem (berperang/bergerilya) bareng-bareng sama dia itu,” tandas engkong Mursal.
Engkong Mursal walau hanya berstatus laskar di masa perjuangan, setidaknya masih dapat tunjangan veteran bulanan, sebagaimana para pejuang lainnya asal Babelan berkat H Wardi, salah satu keponakan KH Noer Ali yang berkenan mengurus tunjangan mereka.
Perpisahan serasa tak lengkap kalau tidak berfoto dengan salah satu penyabung nyawa demi negara kita yang sudah merdeka ini. “Et dah, masak foto sama orang tua,” cetusnya saat kami minta berfoto dengannya.

Lha iya, kong. Justru sama pejuang petarung begini kita senang dan bangga bisa berfoto bareng,” timpal Beny seraya mengancingkan kemeja engkong H Mursal jelang berfoto.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar